RANDITA
Aku menaiki lift dengan d**a yang berdegup kencang. Sampai aku khawatir jantungku akan loncat dari rongganya. Apa lagi saat lift tiba-tiba terbuka karena sudah sampai ke lantai tujuanku. Dengan segenap deg-degan, aku melangkah keluar dan mulai berjalan di koridor. Pelan-pelan saja, tidak ada siapa pun di sini juga. Sampai mataku melihatnya bersandar di depan pintu unitku. Ternyata Revano benar menungguiku di sana. Dia langsung menegakkan tubuhnya begitu melihatku. Untuk beberapa saat mata kami bertemu, sebelum aku kembali berjalan pura-pura tidak peduli.
"Kamu udah lama menunggu?" tanyaku sambil lalu ketika sampai di depannya dan tanpa melihat wajahnya. Aku memilih menekan nomor kombinasi dan membuka pintu.
"Nggak sih, baru sekitar sepuluh menitan."
"Masuk."
Aku menyuruhnya masuk. Tunggu, sepertinya baru kali ini dia menginjak ke dalam unitku.
"Beberapa hari ini aku menginap di tempat teman. Jadi, sorry agak berantakan." Aku bersyukur banget karena bisa mengatasi kecanggunganku. Dipikir-pikir percuma juga aku jadi seorang marketing kalau menghadapi Revano saja canggung.
"Kamu mau minum apa?" tanyaku menuju dapur. Revano sedang berkeliling ruangan. Entah apa yang dia cari.
"Apa aja," jawabnya menoleh sesaat lalu fokusnya kembali pada dinding-dinding yang kebanyakan penuh dengan hiasan fotoku.
Ada beberapa minuman kaleng yang masih bersegel di dalam kulkas. Aku belum sempat mengisi kulkas lagi. Deadline kerjaan menyita banyak waktuku untuk sekadar belanja keperluan sehari-hari. Aku meletakkan minuman isotonik kaleng ke meja depan tv. Lalu menghempaskan diri sembari membuka kaleng.
"Kamu ternyata beneran seorang selebgram ya. Foto-foto kamu instagramable semua." Revano terlihat berjalan menghampiriku. "Tapi aku belum lihat postingan IG mu terbaru. Hanya, beberapa kali melihat, storymu. Miris sih, kamu sempat buat story tapi tidak sempat membalas pesanku."
Revano duduk di sebalahku setelah sebelumnya mengambil minumannya.
"Aku sibuk, dan mungkin saja yang buat Story itu bukan aku."
"Memang ada orang lain yang mengakses IGmu juga?"
"Ada. Biasanya orang-orang yang ingin menggunakan jasa endorse-ku akan menghubungi dia."
"Oh, ada adminnya."
"Semacam itu lah."
"Jadi,Randita." Revano mengubah posisi duduknya menghadapku. Aku mulai pasang kuda-kuda. Sepertinya dia mulai tampak serius.
"Kenapa kamu menghindariku beberapa hari ini? Apa aku punya salah? Aku minta maaf jika memang itu benar."
Aku menelan ludah gugup.
"Kamu marah soal ciuman itu? Aku minta maaf, waktu itu aku hanya terbawa suasana. Aku nggak bermaksud buruk padamu. Maaf sekali lagi karena nggak bisa mengendalikan diri. Tapi aku mohon jangan hindari aku lagi."
Speechless. Revano dengan mode seperti itu malah membuatku semakin nggak nahan ingin menerjang dan memeluknya. Tapi aku harus bisa menahan diri.
"Dan soal aku yang memintamu menjadi pacarku. Lupakan saja jika itu mengganggumu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman."
Ya Tuhan, kenapa dia manis banget sih? Apa aku harus mengamini ucapan Santi untuk mencoba menjalani hubungan dengan Revano dan melupakan soal umur yang terpaut jauh di antara kami?
"Revano... Soal itu...."
Aku menggantung ucapanku membuat Revano semakin lekat menatapku seolah ingin tahu apa yang ada di kedalaman mataku.
"Setelah beberapa hari ini, aku berpikir untuk mencobanya."
"Apa?"
"Y-ya, tidak ada salahnya kita mencoba."
"Maksudnya kamu mau jadi pacarku?"
Aku bisa melihat binar bahagia di matanya. Aku mengulum senyum dan mengangguk.
"Astaga! Serius?!"
Revano berdiri, mukanya memerah sangkin bahagianya. Dan sejurus kemudian aku terpekik kaget karena tiba-tiba saja dia mengangkat tubuhku dan membawaku berputar-putar. Ya Tuhan, Revano! Dia berseru kegirangan membuatku tertawa.
"Yiha! Akhirnya Randita mau jadi pacar gue!"
Sekali bocah tetep saja bocah. Adakalanya ya tingkahnya seperti ini. Tapi aku ikut bahagia melihat dia bahagia.
***
"Kamu udah makan?" tanya Revano. Saat ini dia sedang berbaring di atas sofa sementara aku berada di atasnya, merebahkan kepala di dadanya.
"Belum."
"Mandi juga belum kan? Pantas bau."
Apa? Aku mendelik dan segera menjauhkan badanku, lalu menghidu aroma tubuhku sendiri. Apa yang aku lakukan malah membuat Revano tertawa.
"Aku nggak bau kok! Biar pun belum mandi."
"Iya, iya, Sayang. Kan aku cuma bercanda. Kamu mandi aja, nanti kita cari makan di luar," ujar Revano dengan tatapan lembutnya dan itu bikin hatiku rasanya nyess. Sumpah, aku sudah seperti orang yang baru pertama kali jatuh cinta. Kapan terakhir kali kali aku pacaran? Dua tahun lalu. Pantas rasanya sekarang terlalu manis. Ternyata sudah lama juga aku tidak disayang-sayang.
Kami makan di sebuah kafe dengan pasta sebagai menu andalannya. Meski sudah lewat dari jam makan malam. Perutku yang kelaparan tidak mungkin aku biarkan kosong sampai pagi.
"Kamu sering ke sini?" tanyaku, sepertinya ada beberapa pegawainya yang kenal betul dengan Revano tadi.
"Ini kafe milik teman Kak Iza. Saat Kak Iza masih di Jakarta, aku memang sering ke sini."
"Kakakmu memang di mana sekarang?"
"Dia di luar negeri ikut suaminya bertugas di sana."
"Ooh,"
Mataku tiba-tiba melihat iklan baliho di jalan dan itu mengingatkanku pada pekerjaanku yang aku tinggal di apartemen Santi.
"Van, habis ini kita ke apartemen Santi ya. Aku ketinggalan sesuatu di sana."
"Oke, habiskan saja makanmu ya."
Sepertinya aku bakal lembur malam ini. Rasanya waktu 24 jam itu nggak akan cukup buatku. Makan malam yang terlambat membuatku dan Revano sampai ke apartemen Santi sekitar pukul setengah sepuluh malam. Semoga saja dia belum tidur. Kalau pun sudah, aku hanya perlu masuk saja karena aku tahu angka kombinasi unitnya. Revano kubiarkan menunggu di lobi sedang aku naik ke atas. Begitu sudah di depan unit Santi, aku langsung masuk setelah sebelumnya membuka pintu dengan password.
Gelap. Mungkin Santi sudah tertidur. Aku langsung menuju ke ruang tengah, lampunya juga mati. Tidak ada tanda kehidupan. Aku terus saja berjalan menuju kamar Santi. Karena selama ngungsi di sini, aku memang tidur di kamarnya. Namun belum sempat sampai ke kamar, aku mendengar suara-suara aneh. Kupasang telingaku baik-baik dan menyelipkan helaian rambut ke balik telinga. Memastikan suara itu bukan berasal dari seseorang yang berniat jahat. Astaga! Orang jahat? Iya, apa mungkin ada perampok di apartemen Santi? Bayangkanku terlalu menyeramkan.
Suara yang tadinya hanya samar-samar kini semakin tertangkap jelas di telingaku. Itu seperti suara orang yang sedang beraktivitas dan itu berasal dari kamar Santi. Aku semakin mendekatkan diri. Desahan dan erangan yang bersahutan itu membuatku merinding seketika. Santikah itu? Tapi dengan siapa dia di dalam?
"Kamu selalu hebat, Sayang. Akhh... "
Mataku kontan melotot. Suara itu sangat familiar. Mulutku membuka lebar. Tapi segera aku tutup dengan kedua telapak tanganku. Suara desahan Santi juga terdengar begitu jelas.
"Setiap hari kamu nyaris membuatku gila. Teruskan Sayang. Kamu benar-benar candu buatku. Aku nggak akan pernah bosan."
"Tekan yang dalam lagi, Gar."
Aku semakin kencang membekap mulutku sendiri agar jangan sampai menimbulkan suara. Kemudian aku melangkah mundur, tidak mau berlama-lama lagi dan melupakan tujuanku ke sini. Biarlah aku kena marah Pak Kevin besok. Dua orang yang saling mendesah dan mengerang di dalam sana adalah Santi dan Garan. Tidak ada hal yang lebih membuatku syok selain mengetahui kenyataan ini sekarang. Aku nggak nyangka beneran. Jadi, selama ini mereka ada hubungan. Sekadar teman tidur atau memang pacaran? Entahlah, aku ingin segera turun dari sini saja. Suara pergumulan mereka masih terngiang. Sial.