RANDITA
Apa aku terlalu berlebihan? Menginap beberapa hari di apartemen Santi hanya demi untuk menghindari Revano. Seandainya setelah malam itu perasaanku baik-baik saja, mungkin aku nggak akan melakukan ini. Sejak malam itu, kepalaku nggak pernah berhenti memikirkan Revano. Ini bagiku sudah nggak benar. Nggak masuk akal, bagaimana mungkin anak remaja itu bisa mencuri hatiku dengan mudah? Jadi, keputusanku untuk mengungsi sementara dari apartemen, beralasan kan?
"Lelaki yang jemput lo waktu itu? Serius dia masih SMA?"
Aku hanya mengangguk lemah. Santi sampai nggak percaya saat aku bercerita padanya. Revano itu memang beda. Selain postur tubuhnya yang tidak seperti remaja pada umumnya, dia itu memiliki pembawaan yang sangat tenang. Tidak cengengesen seperti remaja lainnya.
Aku menghindarinya bukan karena kesalahan yang ia buat. Tapi lebih karena ingin menjaga hatiku sendiri agar perasaan tertarikku padanya tidak berkembang lebih jauh lagi. Segala panggilan dan chatt darinya benar-benar aku abaikan. Padahal aslinya kadang tangan ini gatal ingin membalas chat-chat darinya.
"Kalau gue jadi lo sih, no problem pacaran sama dia. Brondongnya ganteng begitu, gimana gue nggak meleleh."
Sinting. Ya kali gue pacaran sama anak sekolahan.
"Udah deh, Ran. Mending lo balik ke apartemen lo sana. Temui itu si Revano dan bilang, gue bersedia jadi pacar lo."
Ngaco! Santi semakin kurang waras.
"Lumayan dapat brondong ganteng. Lagian kalau lo jalan sama Revano, nggak bakal ada yang tau kalau ternyata lo itu lebih tua dari dia. Percaya deh sama gue."
"Lo jangan coba-coba provokasi gue ya, San. Sama Pak Kevin aja gue masih mikir seribu kali, apa lagi Revano," delikku gemas.
"Gue nggak tahu masalah lo sama Pak Kevin apa, yang bikin lo alergi sama si bos. Tapi, sama Revano alergi lo apa selain umurnya yang lebih muda dari lo?"
Apa ya? Aku juga nggak tahu. Aku sih seneng-seneng aja dekat sama dia. Mungkin masalahnya memang cuma karena faktor usia. Revano itu pahlawanku, malah itu yang terpatri di kepalaku.
"Nggak ada kan? Selama memang lo nyaman, ya jalani aja kali, Ran. Apa salahnya dicoba?"
Tuh kan? Gara-gara Santi pikiranku rada oleng. Bayangan wajah Revano yang sedang tersenyum terus-menerus berkeliaran di atas kepalaku.
"Ini apartemen sudah lama kosong ya?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Eh? Kenapa gitu?"
"Atau lo jarang tinggal di sini?"
"Gue emang kadang pulang ke rumah bokap nyokap sih."
"Oh, pantas saja."
Santi tersenyum tipis. Lagi-lagi aku merasa Santi sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
***
Revano? Langkahku sempat melambat saat mataku menangkap keberadaannya. Jangan bilang dia sedang menungguku. Aku baru saja keluar dari lift bersama Pak Kevin. Kami akan mengunjungi kantor cabang distribusi. Bisa gawat
urusannya kalau dia melakukan sesuatu. Dari gelagatnya, sepertinya dia akan menghampiriku. Aku mempercepat langkah sampai Pak Kevin heran.
"Kok, cepet banget jalannya, Ran?"
"Semakin cepat semakin baik, Pak. Ayo."
"Coba kalau kamu jawabannya kayak gini pas aku ajak nikah, Ran."
"Jangan aneh-aneh deh, Pak."
Pak Kevin terkekeh. Dia nggak tahu kegundahanku.
"Randita!"
Suara Revano memanggil, aku pura-pura tak dengar saja.
Aku semakin mempercepat langkahku dan bersyukur sudah sampai ke pintu lobi, ingin cepat-cepat masuk ke mobil saja. Namun, belum sempat aku melewati pintu, lenganku dicekal dari arah belakang dengan cepat. Sehingga aku bisa melihat kini Revano tepat berada di depan mataku. Ya Tuhan, mau anak ini apa?
"Randita, kamu nggak mendengarku?"
"Revano aku sedang bekerja." Aku mencoba melepas celakannya. Namun, sulit.
"Aku tahu. Aku hanya ingin mastiin kamu baik-baik saja."
"Aku baik."
"Apa kamu marah padaku?"
"Revano, aku harus segera bekerja."
"Jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu marah?"
"Enggak."
"Lalu, kenapa kamu menghindariku?"
"Aku beneran harus kerja."
"Randita, ada apa ini?!"
Runyam! Pak Kevin yang tadi keluar lebih dulu kembali lagi. Terang saja, mungkin dia kehilanganku di depan lobi.
"Kamu siapa?" tanya Pak Kevin memandang Revano. Aku seperti melihat tanda tanya besar di atas kepalanya. Revano tidak langsung menjawab. Dia menatap Pak Kevin dengan mata menyipit. Aku berkomat-kamit dalam hati. Agar Revano tidak bertindak bodoh di depan Pak Kevin. Darah remaja itu lebih mudah bergejolak. Aku takut dia tidak bisa mengendalikan diri.
Revano melepas cekalannya. Lalu dia menatapku. "Kita bicara nanti. Angkat teleponku," ucapnya dan berlalu begitu saja meninggalkan lobi.
Di luar dugaanku. Aku pikir dia akan mengamuk tak terkendali. Rupanya pikiranku terlalu berlebihan. Lagi-lagi aku lupa kalau Revano itu beda.
"Siapa dia Randita?" tanya Pak Kevin membuat atensiku tertuju padanya.
Ah! Aku lupa, masih ada seseorang yang harus aku beri penjelasan masuk akal tentang bocah yang tiba-tiba datang mencekalku.
"Dia... temanku."
"Teman?"
"Iya. Sama seperti Santi dan Garan begitu. Ayo, Pak. Kita sudah harus berangkat keburu sore."
Aku kembali melangkah, mengabaikan tatapan aneh Pak Kevin. Tidak mau dia bertanya lebih lagi mengenai Revano. Aku akan kesulitan menjawabnya nanti.
***
Tepat pukul tujuh malam panggilan telepon dari Revano berdering. Apa aku harus mengangkatnya kali ini? Dipikir-pikir ternyata aku sendiri yang kekanakan. Memilih menghindari dia daripada menghadapinya. Mungkin Santi benar, seharusnya aku bicara sama dia. Tidak harus lari seperti ini.
"Halo?"
"Kamu pulang jam berapa? Aku jemput."
"Nggak perlu. Aku sudah di jalan."
"Begitu ya? Kalau gitu aku akan menunggu di sini."
Haduh, bagaimana ini? Setelah menutup panggilan dari Revano, aku langsung menghubungi Santi.
"San, Revano sedang menunggu kepulangan gue. Apa yang harus gue bilang setelah menghilang beberapa hari ini?"
"Hadeh, Ran, Ran. Lo itu suka banget bikin riweh. Ya bilang aja terus terang kalau lo nginep di apartemen gue. Repot amat."
"Tapi kalau dia tanya kenapa?"
"Ya karena gue minta ditemenin. Astaga, jangan bikin gue empet deh, Ran. Lo tuh lagi ngadepin anak SMA. Bukan mau interview sama presiden."
"Tetep aja gue ngerasa deg-degan."
"Deg-degannya ntar aja pas lo ciuman sama dia. Gue jadi pengin tahu rasanya gimana ciuman sama anak sekolah."
"Sinting lo!"
Santi tergelak di sana. Ngeselin banget tuh orang.
'Sayaaang, air hangatnya udah siap nih.'
Sayup-sayup aku mendengar suara lain di sana. Siapa yang sedang bersama tuh cewek?
"Siapa San?" tanyaku.
"Bukan siapa-siapa. Udah dulu ya, Ran. Gue ada urusan. Jadi, malam ini lo nggak ke apartemen gue nih?"
"Kayaknya engga deh."
"Ok. Gue tutup dulu ya. Bye."
Belum juga aku bilang salam sudah main tutup saja. Lupakan soal Santi. Sekarang giliranku. Aku harus memikirkan apa yang akan aku lakukan di depan Revano. Apa aku diam saja? Nggak perlu bicara apapun kalau nggak ditanya. Aha! Sepertinya itu ide yang bagus. Mungkin memang lebih baik aku diam dan pasang muka datar.
Taksi yang membawaku sudah berhenti di depan tower apartemen. Aku turun ogah-ogahan setelah membayar argo. Tidak terlalu bersemangat kembali ke apartemen sendiri karena tahu ada yang sedang menungguku di sana.