Bab 20 Menyatukan Bala Bantuan

1254 Kata
Dulu bagi Sella, hidup dengan menyenangkan hati orang lain, meski itu artinya harus merelakan kebahagiaannya sendiri merupakan tindakan yang paling sempurna agar hidupnya aman. Namun, saat mengetahui bahwa tidak ada imbal balik, rasa yang sama, justru apa yang dilakukannya dianggap sebagai kewajiban dan rawan dikecewakan, maka saat itu pula Sella mulai memperbaikinya. Dia tidak akan berbuat jahat, tetapi meminimalisir niat orang jahat agar tidak memanfaatkan kebaikannya. "Kalau saja kau tidak ada pikiran untuk merebut Moris dan tega mencelakaiku, aku tidak akan berbuat seperti ini untuk menyelamatkan masa depanku, Ros," batin Sella seraya menghela napas berat. Sekilas Sella menoleh ke arah pintu ruangan kepala divisi. Terdengar ramai oleh rekan kerja yang baru keluar setelah beberapa jam rapat. Dia tahu, kemungkinan besar membahas proposal milik Moris dan juga Nena. Dilihat dari raut wajah Rosy dan Moris, tentu saja Sella bisa menebak sebagian besar hasilnya. Nena terlihat biasa saja, tetapi jelas dari senyuman simpul saat bertatapan dengannya, Sella menebak proposal rekannya itu juga diterima. "Kau memang keren, Rosy!" Moris menepuk pundak Rosy, seolah kebahagiaan membuncah kuat hingga melupakan bahwa dirinya sedang berjalan melewati kubikel tempat Sella duduk. Rosy langsung mengelus-elus lengan Moris, sikapnya sangat manja. Sella bahkan paham, saat ini Rosy sedang melemparkan bara api kepadanya. Memberi kode bahwa Moris akan selalu di pihaknya. Mengetahui clue seperti itu, Sella hanya bisa tersenyum sinis dalam hati. Tentu saja, dia tidak akan patah hati, karena memang itu bagian dari alur cerita yang dia harapkan. Sella pun kembali sibuk. Tidak memerhatikan Moris dan Rosy lagi. Biarlah mereka bahagia dengan cara mereka sendiri. Toh, Sella percaya bahwa Erick lebih tahu apa yang mereka berdua lakukan di belakangnya. Sore harinya, sepulang kerja Sella sengaja tidak langsung ke rumah. Dia mampir dulu ke pet shop. Sella sengaja membeli pakan kucing dengan merk terbaik, hingga vitamin untuk menjaga kesehatannya. Tidak lupa menyelipkan produk kebersihan yaitu shampo dan sabun setelah beberapa jam lalu mengecek sebuah akun medsos temannya. Sella berharap, oleh-olehnya bisa membantu mengambil hati sang pemilik anabul yang sering diposting di media sosialnya. Gadis yang hidup sebatang kara setelah orang tuanya meninggal sejak usia remaja itu pun naik taksi menuju ke sebuah apartemen, tempat tinggal temannya. Sesampainya di lobi, dia menelepon perempuan bernama Selfia itu, lalu menunggunya di sana. Tentu saja, seperti biasa, dia membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk menunggu. "Hm, tidak ada yang berubah," gumamnya seraya mengecek ponselnya lalu menelepon ulang ke nomor Selfia. "Hoi, aku kelamaan, ya?" sapa perempuan yang tengah dihubungi Sella itu, muncul dari sebuah lorong yang terdapat lift di bagian paling ujungnya. "Hm, kalau bukan karena Melisa, aku tidak sudi ke sini," ujar Sella dengan tatapan kesal. Namun, jelas sikap itu terbiasa didapatkan Selfia setiap kali dirinya datang ke sana. "Idih, tunda dulu marahnya. Yuk, masuk!" Selfia segera menarik tangan Sella, meraih satu karton berisi oleh-oleh yang dibawa temannya itu dengan satu tangan yang lain. Mereka berdua segera menuju lift lalu masuk dan dilanjutkan ke arah unit apartemen di mana Selfia tinggal. "Udah empat bulan kau tidak datang ke sini untuk menemui Melisa," omel Selfia seraya menyipitkan matanya. "Kukira sudah lupa sama satu-satunya keluargamu." Ocehan Melisa hanya ditanggapi Sella dengan cengiran. Lift berhenti dan begitu terbuka pintunya, Sella dan Selfia langsung berjalan ke arah kamar. Sepanjang jalan itu pula dia mengamati lorong yang memisahkan antara unit satu dengan lainnya. Baginya, tempat ini cukup nyaman juga sebagai opsi tempat tinggal baru. "Kau tidak berencana pindah ke sini? Tinggal bertetangga denganku dan juga Melisa?" toleh Selfia, begitu masuk unit apartemen miliknya. Sella hanya mengendikkan bahunya. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Namun, saat melihat betapa ketatnya pengamanan bagi tamu yang ingin berkunjung ke sini, rasanya Sella mulai memikirkan ulang bagian itu demi keselamatannya. "Mungkin, akan aku pikirkan lagi," sahut Sella tersenyum. "Jadi, kau ke sini dalam rangka apa? Menyogok dengan barang-barang menyenangkan seperti ini, pasti kau punya misi mengerikan. Iya, 'kan?" Perempuan itu meletakkan karton ke atas Buffett, lalu berjalan ke arah kitchen untuk mengambil minuman kaleng dari dalam kulkas berserta satu kotak kue. Sella merebahkan tubuhnya pada sandaran sofa. Menoleh pada ruangan yang ditata bak istana yang berada di pojokan. Tentu bisa ditebak, di sanalah kamar majikan Selfia. "Mana princess Melisa?" tanya Sella, mengalihkan pembicaraan. Dia enggan menanggapi omelan Selfia mengenai barang-barang yang dibawanya. Tentu, dia tahu kalau perempuan itu sedang menggerutu karena permintaannya susah ditolak kalau sudah membawa barang keramat itu. "Sedang patah hati," jawab Selfia murung. Perempuan itu meletakkan minuman dan kue ke atas meja. Tidak lupa membukakan khusus untuk Sella agar temannya itu bisa segera menikmati jamuannya. Dia ikut menoleh ke arah ruangan khusus untuk kucingnya lalu tersenyum saat melihat hewan peliharaannya yang lucu menggemaskan itu keluar dari istananya. "Aku kira cuma manusia yang bisa patah hati," sahut Sella sambil tertawa. "Pacarnya pindah bersama pemiliknya dari sini. Unit kamar sebelah. Makanya, aku tawarkan ke kamu, mana tahu kepikiran buat beli apartemen juga. Ya, biar kita bisa rawat princess kita bareng-bareng." Selfia mengedipkan sebelah matanya. Melisa, si kucing imut itu pun langsung naik ke atas pangkuan Sella. Dia bermain-main dan itu membuat Sella merasa kegelian. Sungguh, dia sangat menyukai hewan menggemaskan satu ini. Kalau bukan karena Moris sangat membenci kucing, kemungkinan besar dia pasti merawat sendiri anabul satu ini, dan tidak akan membiarkan Selfia memonopoli hak asuh atas Melisa. "Kau patah hati, ya?" oceh Sella seraya memeluk Melisa, tangannya mengelus-elus bulunya yang tumbuh lebat dan lembut. "Uluh, kasihan." "Jadi, kau ke sini karena merindukan aku dan Melisa, atau ...." "Kau memang seorang analisis yang handal!" sindir Sella, menampakkan wajah penuh selidik. Tentu saja, perempuan itu langsung terkekeh-kekeh geli. "Kau ada masalah dengan Moris? Seperti yang aku peringatkan sejak dulu untuk tidak—" "Yap, sekarang aku baru sadar," potong Sella seraya melepaskan Melisa, kucing itu seolah tahu kalau keduanya sedang ingin berbincang serius. Melisa bergerak ke ujung sofa lalu bermalas-malasan di sana. "Oh, akhirnya!" teriak Selfia terdengar lega. "Tapi, aku ke sini bukan untuk membahas Moris. Aku ingin minta bantuan untuk ini," ujar Sella seraya menarik tasnya lalu mengambil lipatan kertas dari dalam. Sella menyerahkan kertas itu kepada Selfia dan membiarkan perempuan itu membuka isinya sendiri. Tampak kening perempuan itu berkerut, mendapati satu lembar terselip di dalamnya. Catatan luar yang tidak dipahami sebelumnya, untuk apa Sella memberikan padanya. Namun, saat membaca kertas kusut yang ikut diselipkan, Selfia pun menghela napas berat. "Ini ... tulisan tangan siapa?" Mata Selfia berkedip tidak percaya dengan isi tulisannya. Atas nama Sella, tetapi dia tahu itu bukan hasil coretan temannya itu. "Aku hafal pola tulisan tanganmu." "Apa kau bisa bantu aku untuk mencocokkan, sebagai pembuktian bahwa tulisan tangan dua kertas itu dibuat oleh orang yang sama?" tanya Sella, menatap mata Selfia dengan harapan yang sangat besar. "Aku tidak ingin membuat tuduhan fitnah. Aku butuh penilaianmu sebagai grafolog." Selfia menghela napas berat, mengamati kekhawatiran pada wajah Sella dan itu membuatnya tersenyum. Kehati-hatian temannya itu dalam melakukan sebuah tindakan, tentu saja selalu membuatnya kagum. "Apa aku boleh tahu, kertas catatan siapa ini?" tanyanya untuk memancing kejujuran dalam diri Sella. "Itu, buku catatan Rosy." "Astaga, tidak seperti yang aku sangka. Bukankah kalian bersahabat." Bibir Selfia tertarik ke samping. Sebuah sinisme yang membuat Sella menundukkan wajahnya. "Aku bisa lihat karakter tulisannya, dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Namun, dia oportunis dan membenci kekalahan." "Aku hanya ingin tahu, apakah dua kertas itu ditulis oleh orang yang sama?" desak Sella lagi, berharap Selfia bisa membantunya. "Tulisan tangan setiap orang pasti akan berubah-ubah, tergantung kondisi emosional, Sell. Suasana hati berubah-ubah saat menulis termasuk temporer. Meskipun begitu, pola indikasi permanen akan tetap sama," terangnya membuat hati Sella menjadi sedikit lega. "Tolong, bantu aku, Fi," pinta Sella lagi, dengan tatapan penuh harap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN