Bab 21 Pertarungan Dimulai

1081 Kata
Sella mengamati hasil dari penilaian yang dilakukan Selfia. Hasilnya sesuai dugaan. Dua tulisan itu merupakan hasil coretan dari orang yang sama. Walaupun feeling-nya tepat. Namun, tanpa disangka rasa kecewa dalam dirinya tetap saja sukar dihilangkan. Dia berharap bahwa itu semua hanya mimpi. "Padahal kau sering cerita, kalau dia sahabatmu sejak SMA," ujar Selfia seraya meletakkan secangkir kopi untuk Sella. "Dia berada di pihakku saat itu," ungkap Sella dengan tatapan berkaca-kaca. "Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini." "Aku merasa seperti dipecundangi, Fi. Saat itu aku begitu bersyukur, karena masih ada orang yang memercayaiku dan selalu membelaku di hadapan orang banyak. Aku merasa sangat berhutang budi, sampai-sampai setelah lulus, apapun kulakukan untuknya agar mendapat pekerjaan yang layak. Meskipun aku yang harus mengalah dalam beberapa hal. Aku merasa sangat bahagia, memiliki seseorang yang menjadi tempatku menumpahkan segala tangisan, saat tidak satupun orang yang mau memercayai aku. Tapi ternyata ...." Sella menyeka air matanya dengan jemari tangan. Patah hatinya terhadap kebohongan Rosy melebihi saat menyadari bahwa Moris berkhianat padanya. Luka yang ditorehkan sahabat yang dianggapnya paling baik itu begitu menyakitkan. "Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Sell?" tanya Selfia, menunjukkan ekspresi sangat datar. "Apa kau masih akan berpura-pura tidak mengetahui kejahatan yang dia lakukan terhadapmu?" Dia paham bahwa hal-hal seperti ini memang kerap kali terjadi, karena semakin dekat seseorang itu di dalam hidup, maka potensi untuk berubah menjadi sosok yang paling melukai sangat besar. "Entahlah. Aku belum memikirkannya. Tapi yang pasti, mulai sekarang aku tidak akan terpedaya lagi dengan segala kepalsuan yang ada pada dirinya," jawab Sella mantab. "Aku suka caramu menghandel masalah, Sell," puji Selfia terdengar lega. "Kau terlihat sangat tenang dan bisa mengendalikan emosimu." "Makasih atas bantuanmu ya, Fi." "Tidak masalah, Sella." Selfia mengangguk sambil tersenyum. "Aku pamit pulang. Lain kali aku akan datang untuk mengunjungi princess kita." "Soal kepindahan ke unit sebelah kamarku ... aku harap kau benar-benar mempertimbangkannya," ujar Selfia. Perempuan itu mengantarkan Sella keluar. Berjalan bersisian lalu menunjukkan letak kamar yang dimaksud barulah mereka menuju ke arah lift. Sella mengangguk, memastikan akan membicarakan ini juga dengan Erick. Entah kenapa, beberapa waktu ini, pendapat pria itu begitu penting bagi pertimbangannya. "Kenapa kau memikirkan tentang peluang aku pindah? Kau membuatku merinding saja," goda Sella, setelah keduanya telah mencapai lobi. "Entahlah, aku mengatakan itu hanya berdasarkan feeling saja. Seperti Selfia yang kau kenal biasanya," sahut perempuan yang memiliki tinggi badan di atas Sella itu seraya merangkul pundaknya. "Ih, kau mengingatku pada seseorang saja. Sama-sama memiliki insting yang misterius," tukas Sella, membayangkan bagaimana Erick juga sama persis dengan Selfia. "Oya? Jangan kau bilang dia itu si Moris?" Selfia tertawa, tentu saja Sella bisa melihat bagaimana perempuan satu ini begitu tidak menyukai Moris. Alasan kenapa dia tidak begitu mendengarkan nasihat Selfia, karena Moris melarangnya menemui Selfia lagi. "Maaf, gara-gara Moris, aku jadi menjauhimu." Tatapan mata Sella menunjukkan penyesalan. "Is okay. Kau telah memberikan hak asuh atas perawatan Melisa, dan itu tentu saja membuatku bahagia," ungkap Selfia jujur. "Kau tahu, aku begitu berat melepaskannya," sahut Sella tertawa. Dia mengingat kembali, kisah awal dulu mereka berdua dipertemukan oleh hewan kecil nan imut itu di belakang Toserba. Kucing lemah yang dibuang pemiliknya. Sella dan Selfia sama-sama ingin merawat hingga diputuskan untuk bergantian seminggu sekali. Itulah, kenapa mereka bisa dekat. Namun, begitu hubungan itu ketahui Moris, akhirnya Sella memilih menurut perintah pria itu dengan membiarkan Melisa dirawat Selfia. Begitupun saat Rosy mengetahui dirinya memiliki hubungan pertemanan di luar. Perempuan itu cemburu dan marah karena merasa Sella telah melupakan persahabatannya. Selfia pun mengalah. Namun, beberapa kali memperingatkan Sella untuk tidak seratus persen mempercayai bentuk hubungan aneh yang diberikan Moris dan Rosy untuk mengekang kehidupan sosial Sella. "Jaga baik-baik dirimu, Sella. Kau terlalu berharga untuk orang-orang yang mencintaimu dengan tulus," ucap Selfia seraya melambaikan tangan. Perempuan itu kembali ke dalam lobi, sementara Sella berjalan ke luar area apartemen menuju ke halte bus. Kini, dia telah memiliki bukti yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mempertanyakan motif R0sy di masa itu. Mengapa tega melakukan tindakan itu, sedangkan dulu mereka berstatus sebagai sahabat. Sella mengecek ponselnya. Terdapat dua buah pesan dari Erick dan tiga kali panggilan tidak terjawab. Ada pula panggilan dari Rosy dan Moris. Bagian yang membuat mood Sella hancur, sehingga memasukkan ponsel itu kembali ke dalam tas. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sepulang kantor tadi memang dia langsung ke apartemen Selfia, tidak terasa dia menghabiskan waktu empat jam di rumah temannya itu. Bila mengingat betapa dia dipaksa agar tidak bisa berhubungan baik dengan orang di luar Moris dan Rosy, Sella merasa sangat bodoh karena menuruti kemauan itu hanya demi menjaga kenyamanan dua penghianat itu. "Betapa takutnya aku kehilangan kalian, sampai-sampai aku rela kehilangan hakku untuk hidup," batin Sella merenung. Saat ini dia sudah duduk di halte bus. Menunggu kendaraan umum yang akan membawanya pulang ke rumah. Bila mengingat terakhir kalinya dia hidup di tahun 2024, saat dirinya kabur dari rumah sakit karena takut sekarat sendirian di sana. Air mata Sella meleleh tanpa bisa ditahan. Malam di mana dia membongkar semua pengkhianatan yang dilakukan Moris dan Rosy. Itulah kenapa, Sella merasa bersyukur karena semesta telah memberikan keadilan baginya. "Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membuka kedok kalian," gumam Sella sambil berdiri. Ditatapnya kedatangan bus dari ujung jalan. Sella segera masuk saat kendaraan besar itu berhenti di depannya. Kondisi bus cukup lengang, tidak banyak penumpang sehingga dia bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Sella turun di halte tidak jauh dari tempat tinggalnya. Hanya cukup berjalan lima puluh meter, sampailah dia di depan rumah. Namun, langkahnya langsung terhenti tatkala melihat dua buah mobil sedang terparkir di halaman. Kondisi rumah yang tidak memiliki pagar memungkinkan semua tamu bisa memasukkan kendaraannya ke area dalam, sehingga tidak menyebabkan kemacetan di area gang luar rumah. Sella bergerak lagi untuk menghampiri. Dia merasa sangat penasaran, apalagi saat dari kejauhan Oma Yati menyusul ke arah kedatangannya. "Sejak pukul enam sore mereka menunggumu, Sella," ujar Oma Yati, memberikan informasi padanya. "Oh, iya, Oma." Sella mengangguk pelan, tetapi kode matanya meminta nenek itu untuk tidak mengikutinya ke rumah. Dia tidak ingin membahayakan keselamatan si nenek. Sella berlari kecil saat memasuki halaman. Terdapat empat pria bertubuh tinggi besar berdiri masing-masing di samping mobil yang terparkir. Penampakan mereka mengingatkan Sella pada seorang yang bekerja sebagai pengawal orang-orang kaya. "Selamat malam, Nona Marsella Hare," sapa salah satu dari keempat pria itu seraya berjalan mendekat. Tidak lupa juga pria itu menundukkan kepalanya dengan sopan saat berhadapan langsung dengan Sella. "Siapa kalian?" tanya Sella, mencoba untuk bersikap tenang dan waspada. Tangannya secara spontan menarik ponsel dari dalam tas, lalu menghubungi nomor Erick dari jejak panggilan tidak terjawab.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN