Bab 19 Mengalah untuk Menang

1223 Kata
Sella terpaku di tempatnya. Begitu kaget melihat kemunculan Moris, entah dari mana pria itu datang. Apalagi, gayanya sok membela Rosy, benar-benar membuat hati Sella menjadi panas. "Kenapa kau memperlakukan sahabatmu seburuk itu?" cecar Moris lagi pada Sella. Dia tidak tahan saat menyaksikan sikap Sella begitu menyudutkan Rosy. Dia sebenarnya telah beberapa kali menjadi tempat berkeluh-kesah oleh sahabat kekasihnya itu. Alasan itu pula yang membuat Moris merasa, tokoh jahat di dalam hubungan mereka adalah Sella. "Sepertinya kau lebih mengenal Rosy, daripada aku yang telah berteman sejak sekolah SMA," tukas Sella dengan nada ketus. Dia memilih membalikkan badannya lalu meninggalkan Moris dan Rosy begitu saja. Dia malas berdebat, apalagi terdapat Moris di tengah-tengahnya. Mau bagaimanapun, perasaannya pada Moris tidak serta-merta berubah beku. Dia butuh waktu untuk membiasakan diri, meyakinkan kalau Moris memang tidak layak untuk dijadikan tempat patah hati. "Sella! Tunggu dulu! Bukan begitu maksudku," cegah Moris, seraya berjalan menyusul kepergian Sella. Dia tidak ingin perempuan yang masih dianggapnya sebagai kekasih itu malah jadi salah paham. Dia hanya berharap dua perempuan itu bisa kompak lagi seperti dulu. Tidak berselisih seperti sekarang. Kepergian Moris tentu saja membawa rasa kesal dalam diri Rosy. Tangan perempuan itu terkepal erat, merasa kalah dari Sella karena laki-laki itu masih saja mengejar Sella. Harapan agar bisa segera merebut perhatian Moris pun kian membuncah. Dia tidak rela melihat Sella dikelilingi orang-orang baik, terutama pria seloyal Moris. *** Sella kini sudah berada di ruangan uji sampel bagian produksi. Untung saja, Erick segera memanggilnya untuk ikut ke gedung ini. Kalau tidak, kemungkinan besar celotehan Moris tentang bagaimana dia harus bersikap kepada Rosy membuat kepalanya pusing. Berada di ruangan ini merupakan tempat pelarian yang paling aman bagi Sella tentunya. Karena tidak ada yang boleh masuk, kecuali orang yang berkepentingan. "Komposisi parfum ini sangat unik," ucap chemical fragrange yang menguji sampel milik Sella. Pria itu tersenyum santun lalu membiarkan Sella mengambil kertas sampel lalu merasakan kesegaran formula yang diraciknya. "Aromanya lembut dan ringan." Sella begitu menyukai aroma parfum yang terbaru ini. "Kau akan jadi perfumer yang luar biasa," kata pria itu, memberikan semangat. "Andaikan bisa, aku akan mendedikasikan waktuku untuk ini," sahut Sella terkekeh. "Akan ada perbedaan aroma setelah pemakaian satu jam?" tanya Erick, begitu selesai menyimak berkas yang diserahkan pria itu padanya. "Apakah jadinya berubah buruk?' Wajah Sella menunjukkan sebuah ketegangan. "Sama sekali tidak, tapi malah bisa menjadi keunggulan produknya. Semakin lama, akan menciptakan aroma baru yang segar dan itu tergantung suhu udara," jelas pria itu, terlihat sangat bangga dengan penemuan baru itu. "Oke, aku akan membawa hasil ini ke dalam rapat secepatnya," ujar Erick dengan wajah serius. Sella pun tidak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. Sella dan Erick kembali ke ruangan kantor dengan hati puas. Itu artinya peluncuran produk baru perusahaan bisa segera dilakukan. Harapan Sella agar bisa menjadi salah satu parfumer yang ada di perusahaan ini begitu kuat. Erick pun paham, apa impian perempuan satu ini. "Apakah peluncuran produkku akan tetap dikolaborasikan dalam paket penjualan dengan milik dua orang itu?" tanya Sella, dengan nada yang cukup menyimpan emosi yang tinggi. "Ternyata kau memang melewatkan sesuatu, Sella," jawab Erick dengan wajah datar. Sella memperlambat langkahnya. Mencoba meresapi setiap kalimat yang diberikan Erick setiap kali mereka bertemu. Kalimat 'melewatkan sesuatu' yang belum dia tebak, apakah itu. Otak Sella rasanya begitu buntu. "Jangan hanya berfokus untuk menghentikan upaya mereka memperbaiki kinerja dan karier, Sella. Amati juga bagian apa yang membuat mereka bisa menggantikan posisimu," nasihat Erick sambil menghentikan pula langkahnya. Dia memutar tubuhnya agar bisa melihat ekspresi wajah Sella dengan jelas. Sella langsung tersenyum lalu mengangguk. Namun, bukannya kembali melangkah agar bisa berjalan bersandingan dengan Erick lagi, perempuan itu malah berpamitan dan meminta Erick kembali ke kantor lebih dulu. Erick hanya bisa menghela napas berat lalu melanjutkan perjalanannya tanpa bertanya tujuan kepergian Sella lebih jauh. Sella berjalan menuju ke arah gudang. Di dalam sana dia cukup bingung, apa yang akan dilakukannya. Sebuah bayangan adegan yang masih segar dalam ingatan tiba-tiba muncul, dan Sella meyakinkan diri bisa mengubah alurnya agar terjadi perubahan yang nyata pada prosesnya. "Kau di sini?" tanya salah satu rekannya, ketika melihat Sella ada di dalam ruangan gudang. "Iya," sahut Sella terlihat agak gugup. "Aduh!" Perempuan itu menjatuhkan sebuah kardus yang dibawanya. Bertumpuk sebanyak dua buah dan itu cukup menyulitkan perempuan itu untuk membawanya ke luar. "Kau tidak apa-apa?" tanya Sella merasa cemas. "Ah iya. Isinya kertas HVS, terlalu berat untuk aku bawa sendiri," ujar perempuan itu kesakitan saat kakinya tertimpa kardus yang terjatuh. "Aku akan bantu bawakan," sahut Sella, segera mengambil karton dari lantai, lalu berjalan meninggalkan perempuan itu ke luar. Dia tidak mau kalau sampai ditolak, karena jawaban atas pertanyaannya tadi ternyata dijawab dengan keberadaan perempuan itu di sana. "Oh, terima kasih banyak!" Sella tersenyum saat mendapati perempuan yang dia bantu sudah berjalan di sampingnya. Mereka berjalan berbarengan menuju ke ruangan kantor. Sella jadi memiliki alasan agar bisa berpura-pura membuat barang milik Sella terjatuh secara alami. Membayangkan itu saja, jantung Sella terasa berdebar-debar. "Ok, target sudah terlihat," batin Sella seraya melangkah lebih cepat, dia sengaja melewati samping kubikel tempat R0sy duduk. Kebetulan di lorong lain tampak ramai, sehingga opsi itu terlihat tidak mencurigakan. Apalagi rekan kerja Sella pun mengikuti langkahnya di belakang. Braakk! Sella sengaja menabrak buku-buku yang berada di pinggiran meja Rosy dengan menggunakan ujung kardus. Akibatnya, beberapa di antaranya berjatuhan di lantai. Tidak ketinggalan, target buku catatan yang diinginkan Sella. Bila dulu, dia hanya bisa melihat dengan gelisah buku itu, tetapi sekarang Sella mampu membuat barang itu terjatuh di depan sepatunya. "Kau ini!" Wajah Rosy memberengut kesal bukan main. Namun, setelah melihat Sella yang melakukan itu, bibir yang awalnya terbuka untuk memaki, berubah jadi menganga tanpa mampu mengeluarkan sepatah katapun. Sella hanya bisa berdeham, tidak juga berinisiatif untuk meminta maaf. "Rosy! Dipanggil pimpinan divisi untuk rapat!" teriak Nena, berjalan melewati meja Rosy, tidak lupa mengedipkan sebelah matanya saat Sella menoleh pada perempuan itu. Sella tersenyum dalam hati, karena mau bagaimanapun, Rosy harus bergegas untuk menyusul. "Kau bisa tolong rapikan mejaku?" pintanya dengan suara rendah. Rosy berlari kecil, menyusul Nena dan Moris yang sudah lebih dulu masuk ruangan Erick. Tidak lagi menunggu jawaban Sella yang sejak tadi hanya mematung melihat ke arahnya. "Maaf gara-gara aku," ucap rekan kerja Sella, terlihat sangat merasa bersalah. "Tak apa. Hanya masalah kecil. Aku akan menyusul setelah merapikan meja Rosy," sahut Sella ramah, tidak lupa menambahkan senyuman simpul saat menoleh pada perempuan itu. Sepeninggal Rosy, Sella segera meletakkan karton itu lalu beralih menjumputi buku-buku milik Rosy yang terjatuh. Tidak ada yang mencurigakan, bila dipandang dari segala sisi rekan-rekan kerjanya. Itulah kenapa, Sella merasa biasa saja saat membuka satu buku yang isinya berupa catatan tulisan tangan. Sella memastikan dia mendapatkan kertas yang isi catatan yang ditulis tidak begitu penting. Lalu menyobek satu halaman penuh lalu menyelipkannya pada saku bajunya. "Weldone, Sella," batinnya puas. Sella segera meraih kembali karton lalu membawanya ke ruangan fotocopy tempat perempuan tadi menjalankan tugasnya di divisi ini. Setiba di meja kerjanya lagi, Sella segera mencocokkan dua buah kertas yang ada di hadapannya. Sebuah coretan yang dirasa mirip, meskipun tidak serupa. Sella yakin, dia bisa membuktikan bahwa Rosy memang dalang dari segala kekacauan hidupnya di masa lalu. "Aku tahu, harus membawa barang ini ke mana," batin Sella, seraya mengalihkan pandangannya ke ruangan Erick di mana perempuan itu terlihat sedang mempresentasikan ulang proposalnya. "Jadi, apa yang sebenarnya telah aku lewatkan, Erick?" gumamnya penasaran. Sella segera menundukkan wajahnya, saat terciduk sedang mengamati pria itu dari meja kerjanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN