Bab 7. Teror rumah Devano

1056 Kata
"Yang ngantar tukang ojek online juga, sih. Tadi, datangnya barengan saka punyaku. Ya, gue kira emang pesanan Jesica gitu awalnya. Nah, setelah gue antar ke kamar si dia, noh. Malah bilang nggak pesan apa-apa." Nando memberi kejelasan. "Ojek? Masih ingat motor, atau nomor kendaraan nggak? Atau ciri orangnya juga boleh," tanya Devano. "Nah, sayangnya tidak. Kutrima ya sudah gitu doang," jawab Nando. "Memangnya kenapa, sih? Urgen bangetkah?" tanya Nando penasaran. "Enggak juga, sih. Ya sudahlah, Kak. Sini ponsel gue. Lanjutin sono makannya," pinta Jesica sembari meraih ponselnya. Dia kembali melangkah menuju kamarnya kembali. Jesica duduk di lantai, menyandarkan tubuhnya di ranjangnya. "Eh, Jes. Rumah elu ada cctv kan? Noh, coba cek sana," ujar Riko. "Ngecek apaan? Elu tahu sendiri, cctv gue nggak sampai seberang jalan. Dia cuma sampai depan rumah, noh. Mau cadi tahu soal abang ojeknya lu maksud?" jawab Jesica. "Iya, juga sih, ya. Di kertasnya nggak ada tulisan atau apa gitu?" tanya Riko lagi. "Eh, bentar. Coba gue cari, siapa tahu ada." Jesica kembali buka kotak kado berusaha mencari siapa thu ada surat kecil seperti yang tertulis di kado milik Riko. "Nggak ada, sih. Cuma di kotak kadonya kayak ada coretan nomkr enam belas gitu," ujar Jesica. "Ya, siapa tahu itu cuma coretan doang, Jes. Kotak kado bekas di gunain buat kirim elu kan bisa. Bukan tanda itu, mah," jawab Riko. "Kita tunggu teror apa yang datang ke Adnan. Nggak adil kalau cuma dia tang aman tentram, damai sentosa. Apa iya, ini gara-gara kita mengulik kasus ini sehingga penculik atau pembunuhan ini, mencari tahu tentang kita sehingga meneror kita. Mungkin, dia ingin kita mentalnya terganggu karena hal kayak gini, sehingga nyerah lanjutin kasus itu?" Riko menduga-duga akan hal itu. "Bisa jadi gitu, sih," sahud Adnan. "Kalau gitu, bisa jadi ini suatu hal untuk mengecoh kita agar tak fokus dengan kasus yang akhir-akhir ini terus melunjak. Tapi, yang jadi masalah cepat banget dia cari informasi kan, ya. Kasus ini kalian tahu sendiri baru berapa hari, tapi bisa nyari tempat tinggal kita dengan mudah," sahut Devano. "Entahlah, bingung gue. Besok kita bawa ke kantor, siapa tahu ada sidik jari menempel di sana. Punya elu juga bawa Riko. Kita udahan dulu, ya. Mau mandi gue," ujar Adnan. "Iya, kita udahan, ya. Bye-bye," ujar Jesica, lalu dia memutuskan panggilannya. Dia meletakkan ponselnya di atas kasur. Kemudian, dia beranjak mengambil baju yang hendak dibuatnya ganti. Namun, baru satu langkah ponsel itu kembali berdering. "Astaga, mereka mau apa lagi?" Jesica meraih ponselnya. Saat menatap layar ponselnya, terlihat nomor tak di kenal yang sama dengan yang menelponnya tadi. "Halo," jawab Jesica. Dia yang mendapat perintah dari teman-temannya untuk segera menjawab pun dilakukannya. "Saya sampaikan dengan cepat. Mohon dengarkan ini. Kalian harus berhati-hati, terutama kamu. Dia terlalu terobsesi dengan kamu sehingga semua orang yang dekat denganmu akan dimusnahkannya. Aku tak ada waktu untuk bilang, hanya itu yang ingin saya katakan. Selebihnya, semoga kamu baik-baik saja." Penelpon itu mengatakan itu dengan sangat cepat. "Dia seperti ap ...." Jesica belum selesai bertanya, penelpon itu kembaki memutuskan panggilannya. "Apa penjahat itu sangat dekat dengan penelpon ini?" Jesica bertanya-tanya. Dia tak bisa berbuat apa-apa, sebab jika menelponnya kembali atau mengirim pesan singkat justru membahayakan dirinya. Dia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Mencoba menenangkan pikirannya dengan berendam air hangat di bathtub kamarnya. Mencoba menikmati suasana yang langka terjadi akhir-akhir ini. Terdengar beberapa kali berdering ponselnya, tapi dengan sengaja Jesica abaikan. *** Di lain tempat, Devano duduk termenung di teras rumahnya. Dia mencoba menyimpulkan semua hal yang bersarang di dalam otaknya. "Dev, kenapa?" tanya mamanya yang ikut duduk di sampingnya. "Enggak apa-apa, Ma. Lagi, ruwet banget." "Semoga dilancarkan semua halnya, ya. Kalian berempat diberikan perlindungan, keselamatan, dan bisa menuntaskan apa yang menjadi kewajiban kalian. Kalian hebat pasti bisa memecahkan ini semua," ujar mamanya mencoba menyemangati Devano. Prang!! Baru saja mereka terdiam, tiba-tiba tersengar suara pecahan kaca di samping runahnya. "Apa, Dev?" tanya mamanya. "Mas!" teriak asisten rumah tangganya yang ada di dalam rumah. Devano dan mamanya lantas berlari ke arah sumber suara. Terlihat asisten rumah tangganya berdiri di dekat kaca jendela yang hancur karena sesuatu yang di lempar ke sana. "Kenala, Mbak?" tanya Devano. "Itu." Asisten rumah tangganya menunjuk sesuatu. Terlihat batu yang mana di sana terlihat secarik kertas yang diikat menggunakan tali. "Bentar aku ambil sarung tangan dulu, ya. Mbak sama Mama jangan pegang itu." Devano berlari menuju kamarnya. Dia mengambil sarung tangannya. Dia berharap, ada sidik jari di sana agar mempermudah dia dan teman-temannya menuntaskan kasus ini. Devano meletakkan batu itu di dalam kotak. Dia hendak membawa ke kamarnya. "Mbak, minta tolong bersihkan, ya. Hati-hati," ujar Devano. Asisten rumah tangganya pun mengiyakan. Sedangkan mamanya hanga mendekat ke arah Devano mengamati batu itu yang tertempel kertas. "Ada suratnya, nggak kamu buka?" tanya Mama Devano. "Enggak, Ma. Biarkan besok saja kubawa ke kantor. Sekarang kita menuju ruang cctv, yuk. Aku ingin tahu, orang seperti apa yang melakukan ini," jawabnya. Mamanya pun menganggukkan kepala. Mereka berdua menuju ruang cctv untuk melihat siapa pelakunya. "Ma, tadi melihat orang yang terlihat aneh atau mencurigakan nggak gelagatnya?" tanya Devano ke mamanya. "Enggak, sih. Semuanya baik-baik saja seperti biasanya." Devano melihat cctv itu. Tepat di samping runah tak begitu jelas, sebab cctv berada di depan rumah dan belakang. Sengaja bagian samping tak diberi. Dari cctv di rumah Devano yang mengarah ke samping rumah pun tak menjangkau semuanya yang ada di luar rumah. Dia melihat yang mampu dijangkau oleh cctv, tetapi satu pun di sana tak menunjukan kedatangan orang asing. "Kenapa tak ada satu pun cctv yang menangkap kedatangan orang asing di sini? Seharusnya, jika dia datang dari arah jalanan, maka cctv depan akan menangkap ke dagangan orang itu. Nah, kalau batu ini di lempar sehingga mengenai jendela samping maka ...." Devano menggantung ucapannya. "Maka dia masuk ke area rumah ini," sahut mamanya. "Nah, lalu dia masuk dari mana? Dari rumah tetangga?" Devano semakin bertanya-tanya. "Dev, temboknya kita ini tinggi, loh. Kayak mustahil gitu." Mamanya Devano juga ikut bingung perihal ini. "Huh, sialan!" Devano memegang kepalanya. "Loh. Jaga ucapannya, sayang. Yok, kalian bisa." Mama Devano tetap memberikan semangat keada anaknya. "Maaf, ma. Sumpah, pusing aku," jawab Devano. " Ya sudah, istirahat aja dulu. Kamu bersih-bersih badannya. Semoga sehat selalu ya, Nak." Mama Devano membelai kepala anaknya yang sudah dewasa itu saat ini. Devano pun beranjak dari tempat duduknya, sembari membawa kotak iyang berisikan batu itu. Dia membawanya ke kamar, lalu meletakkannya ke meja kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN