Bab 6 Kotak kado

2024 Kata
Tak berselang lama mereka berdua pun sampai tepat di depan rumah Jesica. “Makasih ya, Dev. Jadi ngerepotin kamu, ini. Mapir dulu, yuk,” ajak Jesica. “Iya, sama-sama. Oh iya, gue langsung pulang dulu ya, Jes. Capek banget mau istirahat, biar besok gue jemput,” ujar Devano. “Oke, hati-hati, ya.” Jesica mengatakan itu seraya turun dari mobil. “Iya, gue pulang dulu,” Devano melambaikan tangan, kemudian secara perlahan dia melajukan mobilnya menjauh dari sana. Jesica pun juga melambaikan tangan ke arahnya. Namun, saat mobil Devano pergi dari sana, di seberang jalan yang gelap terlihat seperti ada seseorang yang sedang mengawasi dirinya. Jesica pun memicingkan matanya mencoba memfokuskan pandangan. Saat dia mengalihkan pandangannya sebentar, dengan cepat sosok itu pun sudah tak ia lihat kembali. “Loh, aku yang salah lihat apa bagaimana?” gumam Jesica. Tepat di depan rumah Jesica terdapat pohon di pinggiran jalan dan rumah tetangganya yang kebetulan beberpa hari ini di tinggal penghuninya ke luar kota. Jarak jalan yang begitu lebar, sehingga membuat antar tetangga depan rumah pun terasa jauh. Tepat di depan sana pun gelap, sebab tak ada lampu yang menyala, kecuali tepat di teras rumah itu saja. Jarak teras dan jalanan yang jauh, sehingga siapapun yang berdiri di sana pun tak tampak jelas, hanya terlihat keberadaannya dengan dibantu sorot lampu yang menjangkanya. “Dahlah, mungkin efek kecapekan jadi halusinasi.” Jesica pun berbalik badan, kemudian melangkah masuk ke dalam halaman rumahnya. Dia yang ke mana-mana membawa kunci cadangan, memudahkan dia untuk masuk tanpa menunggu orang di dalam rumah membukakan untuk dirinya. “Assalamualaikum.” Kata pertama kali yang diucapka Jesica saat masuk ke dalam rumah. “Waalaikumsalam.” Terlihat Nando duduk di ruang tamu, sembari memainkan ponselnya. “Eh, kaget gue. Ngapain, tumben duduk di sana?” tanya Jesica ke kakaknya. “Tunggu pengantar makanan dateng. Laper gue,” jawab Nando. “Ah elah. Gue baru pulang, kenapa elu nggak nitip gue Abang? Punya Kakak gini banget sumpah,” gumam Jesica yang ikut duduk di dekat Nando. “Lu, ngapain duduk di sini, oneng? Ya, siapa tahu kalau elu bakal pulang. Kukira pulangmu masih nanti, bisa pingsan gue tunggu elu datang,” jawab Nando. “Memang Bunda nggak masak?” “Masak, tapi lagi ingin jajan di luar saja, sih. Dahlah sana, elu belum mandi bau. Kenapa juga elu selonjoran di sini ikut gue?” Jesica hanya tersenyum kala melihat kakaknya marah-marah terhadapnya. “Perasaan gue nggak enak, nih. Elu mau apa, heh?” Nando menatap adiknya dengan mengernyitkan dahinya. “Bunda, ini anak perempuanmu pulang.” “Ih, pengadu.” Jesica pun beranjak dari tempat duduknya. *** Krisnando Setiawan, pria tampan berusia dua puluh delapan tahun. Dia berprofesi sebagai dokter spesialis dalam. Dia merupakan anak pertama dari struktus keluarganya. Dia merupakan kakak laki-laki dari Jesica. Mereka yang berjarak hanya tiga tahun, membuat hubungan Nando dan Jesica begitu lekat, meski pertengkaran sebuah candaan sering terjadi di dalamnya. Ayah dan bundanya pun seorang dokter, hanya Jesica saja yang memilih untuk berbeda profesi dengan mereka. Dia anak perempuan yang tangguh. Keinginan dan tekad dia, yang membuat orang tuanya selalu mendukung apa yang menjadi cita-cita anaknya. *** “Sudah makan belum?” sahut bundanya saat datang menghampiri mereka berdua. “Sudah kok, Bunda. Tadi aku sama yang lain makan dulu sebelum pulang.” “Eh, Jes. Gue kok nggak dengar mobil elu berhenti, ya? Kau tak bawa balik mobil kamu, kah?” sahut Nando. “Enggak, tadi aku tinggal di rumah Riko. Tadi, aku pulang diantar sama Devano, mau minta elu jemput bawel duluan pasti,” jawab Jesica. “Lihat itu, Bun. Alasan dia saja, biar bisa deket dianterin kekasihnya itu,” ejek Nando. “Ih, apaan, sih? Bunda, suruh nikah anak lakinya, biar nggak galau mulu.” Jesica melirik dengan tajam ke kakaknya. “Sudah-sudah, kamu cepat bersihin badan, lalu istirahat,” ujar Bundanya. Jesica pun melangkah menuju kamarnya. Dia meletakkan barang bawaannya di dekat, ranjang kemudia dirinya merebahkan diri di atas kasur. “Uh, capeknya. Semoga semua dipermudah, biar nggak berlarut,” gumamnya. Walaupun di rumah pun di dalam pikirannya membawa semua kasus yang ia hadapi saat ini. Tok! Tok! Pintu Jesica pun terdengar ada yang mengetuknya. “Iya,” jawab Jesica, namun tetap dalam posisi rebahan. “Ada yang kirim bingkisan buat elu, ini. Gue letakan di depan pintu, ya,” ujar Nando memberitahukan. “Bingkisan? Gue nggak pesan apa-apa, itu?” Jesica bertanya-tanya. “Gue kagak tahu. Pokonya gue taruh sini, ya.” Nando meletakkan bingkisan itu di depan kamar Jesica, kemudian dia pergi menjauh menuju kamarnya sendiri. “Huh, bingkisan apa lagi? Hah.” Jesica, kembali bangun untuk mengambil bingkisan yang Nando maksud. Saat dia membuka pintu, benar saja terlihat kotak kado yang sama persis dengan milik riko tetapi yang membedakan tidak ada bunga yang di letakkan di atasnya. “Hah, kotak ini?” Jesica bergegas meraih dan membawanya masuk ke dalam kamar. “Mana ponsel gue?” Jesica mencari ponselnya. Dia hendak menghubungi Riko untuk mengabarkan akan hal ini. Dia segera menghubungi Riko, namun Riko tak kunjung menjawabnya. “Elu di mana, sih?” Jesica tetap mencoba menghubungi Riko, hingga panggilan ketiga baru dijawabnya. “Elu ke mana saja, heh?” Jesica marah-marah saat pertama kali Riko menjawabnya. “Gue baru selesai mandi? Kenapa? Kangen?” Riko malah mengejeknya. “Lama kali kau ini. Gue dape kotak kado macam punyamu tahu. Cuma di atasnya nggak ada bunga itu.” Jesica langsung memberitahukan. “Hah. Demi apa, lu?” tanya Riko. “Demikian dan terima kasih.” Jesica justru kali ini yang asal berbicara. “Nahkan, giliran gue serius, elu nyeliwur. Dasar perempuan, gue ngeyel pun ntar tetap salah. Siapa juga yang bikin undang-undang kalau wanita tak pernah salah. Dan jika salah, kembali ke peraturan satu wanita tak pernah salah. Heh, muak kali gue, bah.” Riko ngomel semaunya. “Hahahaha. Elu kayak emak-mak arisan yang ngomel-ngomel ya, say. Baru dapat gue, tapi belum gue buka, sih. Tadi Kakak gue yang nerima,” ujar Jesica memberitahunya. “Ya sudah, beralih video call buruan. Kita unboxing ya gaes. Sambungin ke Adnan dan Devano sekarang!” pinta Riko. Jesica pun tanpa menjawab segera mengalihkan panggilannya ke Video call. “Mana, Jes? Gue lihat dulu,” pinta Riko lagi. “Itu, lihat. Sama persis kayak kotak yang di kirim ke elu, kan? Kenapa gue mikir ini pengirimnya orang yang sama.” Jesica menduga-duga. “Buruan telepon anak-anak dulu, deh. Kita buka isinya apaan punya elu,” ujar Rko memerintahnya. Jesica pun segera menghubungi dua temannya yang lain. Saat sudah terhubung semua, Jesica segera bicara apa yang ia inginkan. “Hai, gaes. Gue dapet kirimian berupa kotak kado sama dengan milik Riko. Besarnya pun sama, tapi bedanya nggak ada bunga di atas kotak itu.” Jesica langsung to the poin memberitahukan. “Kapan kamu dapatnya?” tanya Devano. “Baru banget, yang kirim siapa gue juga nggak tahu soalnya yang nerima Kakak gue,” jawab Jesica. “Coba tanya Kak Nandi, yang ngirim siapa. Siapa tahu ada petunjuknya, ciri orangnya, atau kendaraannya begitu.” Adnan memberikan usulan. “Dia masih makan, sih. Apa kita buka saja dulu? Nanti setelah itu baru panggil Kak Nando,” ujar Jesica. “Boleh juga, hati-hati bukanya.” Devano khawatir dengan Jesica. Jesica meletakkan ponselnya di atas kasur yang mana kameranya menghadap ke dia. Dia di layar ponsel terlihat terbelalak seperti melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. “Woi, Jes. Kenapa, lu?” tanya Riko. “Kenapa, Jes? Kok raut wajah lu berubah?” tanya Devano. Jesica terpaku melihatnya, lalu perlahan mengangkat ponselnya kembali. Dia mengarahkan kameranya ke isi kotak kado itu. Terliat beberapa lembar foto di dalamnya. Yang mana terlihat di pinggirannya di letakkan bunga yang sama dengan milik Riko. “Ini, bukannya gambar kita barusan?” tanya Devano. “Iya, tahu nggak. Pas tadi mobil lu ngejauh dari rumah gue, di seberang jalan gue itu ngelihat orang yang berdiri di bawah pohon. Tapi, waktu sekelebat gue ngalihin pandangan, dia sudah nggak ada. Ya sudah, gue mikirnya yang gue lihat itu hanya halusinasi. Tapi, setelah dapet ini, kok gue ngerasa memang itu ada orang yang mata-matain kita. Kok gue jadi parno gini, sih.” Jesica celingukkan. “Coba buka fotonya satu persatu,” pinta Devano. Jesica pun melakukan apa yang diperintahkan. Foto itu berjumlah lima lembar. Yang mana semua gambar itu terlihat sejak kedatangan mobil Devano. “Loh, gambar mobil yang jauh sekitar beberapa meter dari rumah elu kan? Berarti, orang itu sudah berada di sana sebelum kita datang dong?” Devano menduga-duga. “Ada benernya juga itu, Devano. Mungkin, dia awalnya ingin memata-matai kamu, tapi malah kamu pulang sama Devano. Duh, makanya sengaja kirim itu ke elu, tuh,” ujar Adnan. “Hei, tapi apa hubungannya sama gue, njiir. Kalau Jesica sama Devano sih, its oke misal ada orang cemburu sama mereka. Tapi kalau gue? Idih, ogah gue diribetin gegara Jesica doang. Devano noh, harusnya,” sahut Riko. “Bentar-bentar, yang jadi pertanyaan kenapa orang ini tahu alamat kalian berdua? Kalau hanya kenal lewat sosial media nggak mungkin dia tahu alamat kalian berdua weh. Apa jangan-jangan ....” Devano menggantung ucapannya. “Jangan-jangan apa? Teman deket kita sendiri? Hayoloh, mungkin Afnan bisa jadi terduga,” jawab Jesica. “Hei, kenapa gue?” Adnan spontan protes. “Cuma elu yang nggak ada sangkut pahutnya sama ini. Jangan-jangan elu yang selama ini bikin ulah, ya?” tuduh Jesica. “Enak saja, kurang kerjaan banget. Devano juga nggak ada hubungannya, noh. Kenapa harus gue?” Adnan cemberut kala mengatakan itu. “Oh. Tidak bisa. Devano ada hubungannya sama semua ini. Lihat noh, nggak mungkin Devano yang memotret dirinya sendiri kemudian di kirim ke sini. Nggak sehebat itu saudara-saudara.” Jesica tersenyum kala mengatakan ini. “Dih, gue nggak punya kekuatan ilang juga buat sekelebat tiba-tiba nggak ada. Kalau itu gue, pasti kalian tahu kedatangan guelah. Di nalar saja, elu sama Devano pamit duluan. Ya kali, gue pakai pintu ke mana saja cepet sampai rumah elu,” sanggah Adnan. “Iya, juga, ya. Terus gue harus bagaimana?” tanya Jesica. “Coba kamu panggil Kak Nando dulu. Kita cari tahu dulu siapa yang kirim,” pinta Adnan. Jesica pun meletakkan ponselnya kembali dengan posisi tetap menyala, sedangkan Jesica mencoba memanggil kakaknya yang berada di kamar. “Canti-cantik otaknya suka ketinggalan ya, ini. Ponsel itu dibawa kan ya bisa. Kenapa juga ditinggal. Memang kurang kerjaan ini bocah,” gumam Riko. “Yang sabar. Hahahaha.” Devano tertawa terbahak-bahak. Tok! “ Kak, aku masuk, ya?” tanya Jesica saat di depan kamar Nando. “Iye,” jawabnya. Ceklek! Jesica pun masuk ke dalam kamar kakaknya. Tetlihat dia sedang duduk yang mana di hadapannya terdapat beberapa makanan di sana. “Astagfirullah. Elu makan dari tahun kemaron belum kelar juga? Kapan elu selesai makan bambang?” tanya Jesica dengan ketus. “Entar, tahun depan. Kenapa datang-datang ngomel?” tanya Nando. “Ada yang mau diomongin sama anak-anak ke elu. Noh, mereka lagi video call, nyariin elu,” jawab Jesica. “Mana ponselnya? Biar ngomong di sini saja,” jawab Nando. “Oh iya, gue tinggal di kamar. Gue ambil dulu, ya,” jawab Jesica. Nando hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat adiknya yang terkadang tingkahnya random seperti itu. Dia meraih ponsel serta kotak kado itu hendak di bawa ke kamar kakaknya. “Jes.” Riko memanggilnya. “Ape?” jawabnya. “Otakmu ketinggalankah?” tanya Riko sengaja ingin mengejeknya. “Heh, maksud elu apaan, hah?” jawab Jesica dengan ketus. “Elu tadi bawa sekalian kan bisa, jadi nggak perlu bolak-balik” Riko protes. “Sengaja saja, sih. Biar ada kerjaan begitu walau mondar-mandir,” jawab Jesica. “Alibi ya gini. Suka-suka kaulah,” jawab Riko. Jesica menyerahkan ponselnya ke Nando. “Hai, kenapa nyariin gue?” tanya Nando ke mereka bertiga. “ Hai, Kak. Calon ipar gue, ini,” ejek Riko. “Ogah gue sama elu, heh. Mengada-ngada lu,” sahut Jesica. Jesica pun menjelaskan perihal kotak kado itu. Dia memperlihatkan isinya yang berupa kotak lima lembar foto Devano dan dirinya. Dia juga menjelaskan perihal kotak kado yang ada di rumah Riko saat ini. Dia kata jika semua itu mungkin berkesinambungan dan bisa saja orang yang sama yang mengirimnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN