Devano merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia menghela napasnya yang panjang.
“Kasus macam apa ini? Orang apa yang bisa merencanakan semua ini dengan luar biasa liciknya. Semua yang ia perbuat tak meninggalkan jejak. Apa ini lebih satu orang? Apa ini berkelompok?" gumam Devano. “Hah!”
Dia tak habis pikir, orang macam apa yang melakukan ini semua. Motif apa yang melatar ini semua?
“Dahlah, mandi saja dulu. Capek banget aku,” gumamnya.
Devano pun malam itu memutuskan untuk istirahat cepat. Dia selalu teringat semua hal yang dilalui dia dan temannya, membuat otaknya berpikir lebih keras yang mana membuat mereka lelah.
***
Keesokan harinya, Devano terbangun di jam seperti biasa. Dia perlahan membuka matanya, menatap langit-langit kamarnya. Dia menghela napas panjang lagi.
“Yok, semangat.” Devano beranjak dari tempat tidurnya. Dia melangkah keluar kamarnya. Melihat Mamanya yang berjalan menuju dapur.
“Ma.” Devano menyapanya.
Mamanya pun menoleh ke arahnya.
“Iya, Dev,” jawab mamanya.
Devano malah tersenyum. Mama adalah penyemangatnya setiap pagi, sehingga dia selalu melakukan hal yang sama setiap harinya agar dia siap menalani hari yang begitu melelahkan bagi dia. Devano berjalan bersamaan denngan mamanya yang ingin ke dapur. Dia ke sana untuk minum, sedangkan mamanya menyiapkan makanan.
“Papa pulang jam berapa semalam?” tanya Devano.
“Sudah malam, Dev. Proyeknya lagi amburadul, makanya Papa akhir-akhir ini pulang telat,” jawab mamanya.
“Loh, karena faktor apa?” tanya Devano seraya mengernyitkan dahinya.
“Bagian keuangan kantor Papamu lagi membawa uang milyaran rupiah, Dev. Baru nanti Papa mau melaporkan dia ke kantor polisi. Papa juga baru menyadari itu, kemarin.”
“Astagfirullah. Kok bisa? Bukannya keuangan kantor Papa yang kerja teman lama Papa sendiri? Beliau bukannya sudah lama juga kerja di sana?”
“Nah, makanya. Papa juga lambat menyadari karena yang kerja teman Papa yang mana juga sudah menjadi pegawai Papa sejak dulu. Siapa yang nyangka, jika dia bakal nusuk seperti ini. Awalnya setiap pendanaan yang diinginkan Papa itu selalu diulur-ulur oleh dia. Papa juga selalu berpikir positif banget, hingga hampir semingguan dia nggak masuk, hal itu baru terbongkar. Dia nggak tahu pergi ke mana dan ternyata selama ini teman Papamu sudah tak menempati rumahnya sejak dua bulan yang lalu.”
“Ya Allah. Kenapa? Di jual?” tanya Devano.
“Iya, rumah itu terjual jauh sebelumnya. Di tanya ke tetangganya, mereka nggak ada yang tahu teman Papamu itu pindah ke mana.”
Devano hanya diam. Dia tambah pusing mendengar kasus ini. Dia yang disulitkan oleh kasus hilang dan penemuan mayat, malah di hadapkan masalah keluarga yang membuat moodnya amburadul.
“Pagi, Dev, Ma.” Papanya pun datang menyapa mereka. Beliau duduk tepat di samping Devano.
“Pagi, Pa. Papa ada masalah kenapa nggak cerita?” tanya Devano yang langsung menyodorkan pertanyaan.
“Bukannya Papa nggak mau cerita, tetapi Papa baru tahu kemarin. Entah, bukannya melapor kepolisian, justru Papa datang ke rumah pelaku itu. Sampai sana ternyata rumah itu sudah di tinggali pemilik baru. Tetangga pan, di tanya juga bilang nggak tahu dia pergi ke mana beserta anak dan istrinya.” Papa Devano mampu cerita dengan tenang, meski masalah berat menghampirinya.
“Ada saja masalah hidup, ya. Salut sama Papa dan Mama yang begitu tenang menghadapinya. Terutama Papa itu, apalagi dihadapkan sama teman sendiri yang menjadi penghianat. Papa memang hebat, doakan aku bisa memiliki sikap sepertimu apapun yang terjadi,” pinta Devano.
“Iya, Nak. Jadi orang yang jujur, bekerja yang baik. Apalagi kerjamu berperan dengan masyarakat. Kau harus bisa dijadikan contoh untuk mereka. Berperilaku adil, tegas dan baik.” Papanya memberikan nasehat ke Devano.
Mereka pun berbincang-bincang di sana sembari menemani mamanya yang sedang memasak. Cukup lama mengobrol, akhirnya Devano memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya.
“Aku mau beres-beres dulu, Pa, Ma.” Devano beranjak dari tempat duduknya, kemudian melangkah menjau dari dapur.
“Iya,” jawab Papanya.
“Dia sendiri saja masalahnya numpuk. Semalam, rumah kita ada yang melempar batu yang mana di batunya diberikan ikatan tali yang ada suratnya. Di cek Devano melalu cctv pun, tak tampak di mana pelaku pelemparan itu. Belum lagi, akhir-akhir ini banyak laporan warga yang hilang. Yang aneh, korban yang hilang berusia dewasa. Lebih kurang hampir sama dengan usia Devano sendiri,” ujar Mama Devano memberitahukan.
“Hah? Korban hilang seusia Devano? Itu bukannya hilang, tapi menjurus pelarian diri,” sanggah papanya.
“Kalau satu orang bisa berpikir seperti itu, Pa. Lah ini, lumayan banyak di kota ini yang kasusnya belakangan ini kehilangan anggota keluarga yang berusia dewasa. Apalagi, jenis kelamin mereka laki-laki juga, loh.”
“Aneh banget kasus di dunia ini, ya. Motifnya apa begitu?”
***
Di lain tempat, Jesica sudah bersiap-siap untuk berangkat. Dia menyiapkan semua hal yang perlu ia bawa ke kantor pagi ini. Tidak lupa, kotak kado yang berisikan foto itu ia bawa.
“Jes,” panggil Nando.
“Iya, apa?” jawabnya.
“Elu berbarengan sama gue?” tanya Nando.
“Enggak, aku nanti dijemput sama Devano. Kenapa?” tanya Jesika balik.
“Cie, langgeng banget, ya. Gue mau berangkat dulu, soalnya pagi ini ada pasien yang lumayan genting,” ujar Nando.
“Iya, elu berangkat duluan saja,” jawab Jesica sembari menenteng tasnya hendak keluar kamar. “Ah elah, elu apa masih di depan kamar gue.”
“Astaga, ngomong saja baru selesai bisa-bisanya elu kaget lihat gue berdiri di sini,” ujar Nando.
Mereka berjalan berdampingan turun ke lantai dasar.
“Elu bawa kotak itu kerja?” tanya Nando lagi.
“Iya, gue mau lihat sidik jari yang menempel di sana. Siapa tahu, salah satu bukti terdapat di sana.”
“Gila, kan ada sidik jari gue, elu sama tukang ojek itu,” ujar Devano.
“Nah, makanya itu. Biar bisa datengin tukang ojek itu untuk di mintai keterangan,” jawab Jesica.
Nando dan Jesica duduk di meja makan. Di sana baru mereka berdua yang duduk di sana. Tak berselang Papa dan Mamanya pun datang hampir bersamaan.
“Ngapain bawa kotak kado, Jes?” tanya Papanya.
“Buat barang bukti siapa yang neror aku dan teman-temanku. Papa dan Mama juga berangkat awal?” tanya Jesica.
Papa dan Mamanya adalah dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama. Papanya spesialis bedah, sedangkan Mamanya dokter spesialis anak. Mereka mendirikan klinik yang berada tak jauh dari rumahnya.
“Dari penggemar rahasianya itu mungkin, Pa. Buktinya isidari kotak itu foto dia dan Devano, itu. Ada yang cemburu atau tak trima mungkin jika Devano dan dia pacaran,” ejek Nando.
“Siapa juga yang pacaran. Mengada-ngada Kakak, itu.” Jesica cemberut.
“Dahlah, kalian cepat makan.” Mamanya menghentikan pertengkaran yang selalu terjadi saat mereka di pertemukan.
Satu-persatu dari mereka pun selesai untuk menyantap makananya. Papa dan Mama Jesica berangkat terlebih dahulu, sedangkan Nando walaupun sering mengejek adiknya, tak tega dia untuk menunggu.
“Berangkat bareng gue saja, yuk. Telepon saja Devano,” pinta Nando.
“Enggak, Kak. Elu berangkat duluan saja, lu kata sibuk. Gue nggak apa-apa, kok. Ini juga lagi telepon Devano.”
“Nggak apa-apa, yu. Lu nggak apa-apa sendirian?” Nando sebenarnya khawatir kepada Jesica. Apalagi setelah mendengar kasus yang sedang mereka dalami saat ini.
“Iya, nggak apa-apa, kok. Lagian ada Mbak juga di dalam. Kerja lu beda arah itu, buruan berangkat Kakakku sayang,” ujar Jesica.
Nando pun mengusap kepala adiknya terlebih dahulu. “Baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, telepon gue. Gue tahu elu mandiri dan bisa apapun, tapi ingat elu tetap adik mungil bagi gue. Gue nggak mau jika ada yang sampai ngelukain atau membahayakan elu.”
“Iya, Kak. Makasih, ya.” Jesica tersenyum ke arah Nando.
“Buruan telepon, Devano. Gue berangkat duluan, ya.” Nando melambaikan tangannya seraya masuk ke dalam mobil. Jesica pun melambaikan tangan saat melihat Nando perlahan jauh dari sana.
Jesica pun segera menghubungi Devano.
“Halo, jadi jemput guekan?” tanya Jesica saat teleponnya tersambung dengan Devano.
“Iya, ini sudah hampir sampai di rumah Elu,” jawab Devano. Di saat bersamaan, mobil Devano pun terhenti. “Jes.”
“Oke, bentar,” jawab Jesica. Dia kembali masuk ke dalam. “Mbak, jangan lupa di kunci pintunya, ya. Kalau ada orang yang mencurigakan di area rumah, fotokan ke aku, ya. Aku berangkat dulu.”
“Iya, Mbak Jes. Hati-hati,” ujar asisten rumah tangga Jesica.
Dia pun kembali keluar untuk menghampiri Devano. Devano pun membantu membukakan pintu untuk Jesica. Saat masuk, Jesica melihat kotak putih yang berisikan batu.
“Heh, elu bawa apaan itu? Batu?” tanya Jesica.
“Iya, masuk saja dulu. Gue ceritain smabil jalan,” ujar Devano.
Jesica pun masuk, kemudian di susul oleh Devano. Dia melajukan mobilnya secara perlahan.
“Kenapa?” tanya Jesica.
“Semalam, rumah gue ada yang lempar batu. Lihat, ada kertas yang diikat di batu itu.” Devano memberitahukan. Jesica pun menoleh ke arah batu itu lagi. “Lu tahu nggak, saat gue lihat cctv nggak ada orang yang tertanggap di cctv. Ngelempar batu segede itu nggak mungkin dari kejauhan. Apalagi rumah gue bagian samping. Kayak mustahil banget begitu, loh.”
“Eh, yang bener. Jangan-jangan ada yang nyusup ke rumah elu.” Jesica menduga-duga.
“Nah ini yang jadi pertanyaan gue. Apa jangan-jangan ada yang nyusup? Asli, ketar-ketir gue, itu. Pas gue tidur, tiba-tiba ada yang nikam gue kan nggak lucu,” ujar Devano.
“Heh, amit-amit, deh. Mulut lu jangan asal ngomong begitu weh. Ada malaikat lewat, kekabul tahu rasa, lu,” ujar Jesica.
“Heh, amit-amit jangan sampai.”
“Apa isi surat itu?” tanya Jesica lagi.
“Gue belum buka, sengaja buka pas ada kalian saja di kantor. Mana kasus di keluargaku lagi ribet juga.”
“Kenapa?”
“Bagian keuangan kantor Papa gue menggelapkan uang proyek barunya. Mana pelakunya teman dekat Papa sendiri. Gue juga nggak tahu yang mana orangnya, tapi kata Papa sih begitu. Elu tahu sendiri, seumur-umur gue belum pernah ke kantor.”
“Musuh di dalam selimut. Yang sabar, ya.” Jesica menepuk bahu Devano. Dia pun lantas tersenyum ke arah Jesica.
“Iya, Jes. Makasih, ya. Pas kita hadapi kasus yang serius ini, malah ada saja kasus yang silih berganti datang ke kita. Semoga diberi kekuatan pada keluarga kita begitu, ya.”
“Iya.”
Tak berselang lama, mereka pun sampa. Baru mobil mereka yang datang, sedangkan kedua teman mereka belum terlihat di sana.
“Belum datang Riko sama Adnan.” Jesica menenteng kota kado itu sembari keluar mobil.
“Belum, ini masih pagi banget. Kita tunggu saja di sini, bentar lagi juga dateng, noh.” Devano pun mengambil kotak yang berisikan batu.
“Pagi, Bu, Pak,” sapa anggota kepolisian yang sudah datang di sana.
“Pagi juga.” Mereka berdua pun dengan ramah menjawabnya.