PART-5. FRIENDS.
SAAT sore menjelang, Brandon dan Sunday memandangi matahari yang menghilang di bawah garis cakrawala. Cahaya keemasan menyiram tubuh mereka dengan begitu indahnya. Brandon menengok sekilas pada Sunday yang kini tampak jauh lebih baik dari sebelumnya. Hati kecilnya berkata kalau dia sangat bangga pada Sunday. Meski dalam keadaan sulit, gadis itu masih bertahan. Meski menahan semua rasa sakit sendiri, dia tidak gentar. “Bagaimana perasaanmu?”
“Aku kelelahan setelah berlari bersamamu tapi aku senang kaki kita tidak benar-benar putus.” Jawab Sunday tanpa menoleh ke arahnya.
“Bukan itu yang kutanyakan.” Brandon menimpali. Di sini dia bisa melihat betapa terlukanya hati Sunday. Namun dia tidak serta-merta menunjukkan semua itu. Sunday tidak ingin dikasihnya, bahkan saat dia sedang tidak punya siapa-siapa.
“Berkatmu aku jauh merasa lebih baik.”
“Masih pusing?”
Sunday menggeleng. “Tidak. Obat dan perawatan mereka bekerja dengan baik padaku. Lagi-lagi berkatmu.”
“Syukurlah.” Brandon kembali memandangi langit yang kini berwarna jingga. “Aku senang kau melihatmu seperti ini. Sejujurnya yang aku takutkan kau akan mengakhiri hidupmu.”
“Haruskah kulakukan itu?”
Kini giliran Brandon yang menggeleng. “Tentu saja tidak. Aku sering berpikir, kenapa orang-orang mengakhiri hidup mereka? Kira-kira seberat apa beban yang mereka pikul? Apakah mereka seputus asa itu hingga akhirnya memilih mati? Jika boleh jujur, aku ingin membantu semua orang yang berada di posisi itu. Atau setidaknya aku bisa mendengar keluh kesah mereka agar mereka punya tempat untuk bercerita. Meski tidak mengenal semua orang yang memutuskan bunuh diri, aku selalu merasa hancur dan sakit tiap kali mendengar berita seperti itu. Kini, kau ada di hadapanku. Kau dalam keadaan tidak baik-baik saja. Jika kehadiranku, bisa sedikit meringankan bebanmu. Aku akan sangat senang. Aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu sampai kau merasa jauh lebih baik.”
“Kenapa kau melakukan itu? Padahal kau bisa saja membiarkan aku pergi.”
“Meski bukan dirimu, aku akan tetap melakukannya. Terlalu menyakitkan melihat kematian sia-sia dari manusia yang seharusnya bisa hidup bahagia. Setelah badai menerjang, bukankah akan terlahir kembali menjadi sosok yang lebih baik?”
“Itukah yang kau pikirikan?”
“Hmbb…” Brandon mengakui.
“Hidupmu pasti indah sekali sampai kau tidak pernah merasa kesakitan.”
“Kau benar.” Brandon mengangguk-anggukan kepala. “Aku hidup dengan sangat baik selama ini. Kau tidak akan bisa membayangkannya.”
“Jadi apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Bangkit.” Sahut Brandon tenang. “Buktikan pada dunia bahwa kau bisa melewati semua ini. Bahwa setelah apa yang menimpamu, kau akhirnya menjadi pribadi yang lebih baik. Bukahkah itu mudah?”
Sunday terkekeh kecil. “Seharusnya itu hal yang mudah untuk dilakukan. Namun bagaimana aku bisa bangkit di saat tidak ada siapa pun yang mendukungku? Aku bahkan tidak punya teman lagi. Satu-satunya temanku telah mengkhianati aku. Bukankah itu miris?”
“Aku akan menjadi temanmu.”
“Hah?”
“Ya. Aku akan menjadi temanmu jika memang itu yang kaubutuhkan. Aku akan menjadi apa pun yang kau butuhkan sampai kau merasa lebih baik.”
Lama Sunday terdiam. Dia mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Brandon. “Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan.”
“Kau mengerti apa yang barusan aku katakan. Hanya saja kau tidak ingin memahaminya.”
Mendengar itu, mau tidak mau Sunday tertawa. “Baiklah. Baiklah. Mari kita serius.” Ia menatap lekat-lekat manik mata Brandon, berusaha mencari kebohongan di sana.”Saat Sunday hendak membuka mulut, Brandon lebih dulu menyela.
“Aku tidak sedang berbohong.”
“Kalau begitu, jadilah temanku. Jadilah teman yang bisa membantuku melewati semua ini. Jadilah teman yang selalu ada di saat aku membutuhkanmu. Hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Saat aku berhasil melewati semua ini, aku berjanji akan menjadi orang yang jauh lebih baik. Aku ingin menjadi seseorang sepertimu.”
“Aku?” ulang Brandon tidak mengerti.
“Ya. Kau.”
“Ada apa denganku?”
“Aku pun ingin menjadi ‘penyelamat’bagi orang lain. Sama sepertimu. Apa yang kau lakukan padaku saat ini sangat berarti untukku. Terima kasih.”
“Buktikan padaku bahwa kau bisa melakukannya.”
“Iya. Ayo berjanji untuk berteman sampai mati.”
“Good girl!” Brandon memuji sikap tegar Sunday.
Mereka kembali memandangi lautan yang gelap. Keduanya terdiam cukup lama, seolah tengah sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Debur ombak memecah kesunyian di antara mereka. Semilir angina menerka tubuh keduanya. Di sisinya, Sunday menggigil karena ulah angina-angin yang terus mengusik mereka.
“Kau kedinginan,” ujar Brandon sembari menoleh pada gadis itu. “Mau kembali sekarang?”
Sunday mengangguk. Saat Brandon bangkit, ia mengikuti langkah pria itu. “Arght!” gadis itu meringis.
Brandon masih berdiri di tempatnya. Ia menelengkan kepala sembari mengamati Sunday. “Kau baik-baik saja?”
“Kakiku keram.” Keluh Sunday. “Sepertinya ini terjadi karena aku tidak pernah berolahraga.” Gadis itu mengulurkan tangan dan langsung disambut oleh Brandon. “Bantu aku berdiri!”
“Hari-hati!” Ia masih memegang tangan Sunday bahkan saat gadis itu berhasil berdiri. “Padahal kau masih muda tapi baru berlari sejauh ini kau sudah mengeluh. Tubuhmu bahkan layak disebut jompo.”
Mendengar itu Sunday terkekeh geli. “Kuakui itu. Aku nyaris tidak punya waktu untuk berolahraga. Aku bekerja keras bisa mengumpulkan uang. Ternyata ini yang terjadi jika aku tidak pernah berolahraga.”
“Perhatikan tubuuhmu, jika lelah kau juga harus beristirahat! Jika dibiarkan seperti ini kau bisa mati muda.” Brandon melepas tangan Sunday saat gadis itu terlihat lebih baik. “Sebaiknya kita segera kembali sebelum gelap.”
Sunday berjalan beriringan dengan Brandon. Ia berusaha mengikuti langkah pria itu. Setelah beberapa saat berjalan kakinya kembali sakit. Akhirnya Sunday menyerah. “Pergilah lebih dulu! Aku akan menyusul.”
“Kau memintaku meninggalkanmu sendiri? Di sini?”
“Aku akan baik-baik saja.”
Brandon mengambil napas dalam-dalam. Ia berjongkok di hadapan Sunday. “Naiklah ke punggungku!”
“Ha?”
“Naik ke punggungku, Sunday. Jika aku meninggalkanmu di sini sendiri, kau mungkin bisa dimakan oleh hantu.”
“Jangan gila! Aku tidak percaya hantu.” Sunday menunduk, hampir naik ke punggung Brandon. “Kau yakin akan menggendongku? Apa kau tidak lelah?”
“Jangan banyak bicara dan naiklah!”
“Baiklah!” Sunday akhirnya naik ke punggung Brandon. Ia memegang bahu pria itu dengan sekuat tenaga, takut jika sewaktu-waktu Brandon terjungkal. “Aku takut kalau kau menjatuhkanku.”
“Kau meragukanku?” Brandon berjalan perlahan sembari menggendong Sunday. “Apa yang akan kaulakukan setelah ini? Kau mungkin punya rencana.”
Sunday terdiam selama sesaat. “Tentu saja kembali ke rumah. Aku akan kembali bekerja meskipun rasanya pasti memalukan.”
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kau punya rumah.”
“Tidak.” Sunday menertawakan diri sendiri. “Hanya apartment yang kontraknya akan segera berakhir. Besok, jika keadaanku sudah jauh membaik aku akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku dan bagaimana aku bisa sampai di sini.”
Brandon mengangguk-anggukan kepalanya. Sebenarnya meskipun Sunday tidak bercerita, dia sudah tahu apa yang menimpa gadis itu. Kini Brandon khawatir dengan Sunday. Apa yang akan terjadi jika Sunday mengetahui apa yang terjadi setelah dia kabur dari pernikahannya sendiri? Akahkah gadis itu bisa menerima kenyataan bahwa calon suaminya justru menikah dengan orang lain?
“Kau punya pekerjaan?”
“Tentu saja! Aku bukan pengangguran!” Sunday terdengar tersinggung. “Berapa lama kau bekerja di sini?” Sunday menyenderkan kepala di bahu Brandon. Ia menguap sampai beberapa kali sembari berusaha keras menahan kantuknya.
“Jangan tidur dulu! Kau harus mandi dan makan. Setelah itu kau bisa tidur nyenyak. Semalam aku melihatmu tidur cukup nyaman bahkan setelah kau terdampar di sini.”
“Kurasa karena aku kelelahan.”
“Kau bisa tetap tidur meski stress?”
“Ya.”Aku tidur dengan sangat baik apalagi saat malam.”
“Aku bangga padamu.” Brandon mempercepat langkahnya. Mereka hampir sampai di rumah tempat mereka tinggal selama dua hari ini. “Sebagian besar orang kesulitan tidur saat mereka memiliki masalah. Kepala mereka akan terdengar sangat berisik saat tubuh mereka sudah berada di atas tempat tidur. Tapi sepertinya itu tidak berlaku padamu.”
“Memang tidak.” Sunday menimpali. “Turunkan aku! Aku sudah bisa berjalan sendiri.”
Sesuai perintah Sunday, Brandon pun menurunkan gadis itu begitu saja. Alhasil, tubuh Sunday yang belum siap meluncur di atas pasir dengan posisi terlentang. Brandon berbalik untuk melihat wajah Sunday. Gadis itu tampak baik-baik saja meski ada sedikit kemarahan di manik matanya. “Ayo!”