Hallo! Eva lagi :)
masih bergelut dengan waktu tapi aku berusaha hadir.
Semoga kalian tidak terlalu lama menunggu, ya.
Selamat membaca :)
PART-4. JUST STAY HERE.
Sunday mengucapkan terima kasih pada spa therapist dan dokter yang baru saja merawatnya begitu mereka berpamitan. Ia melahap sarapan dengan enggan lalu meminum obat yang sudah ditinggalkan oleh dokter. Dalam hati Sunday bertanya-tanya, kemana perginya Brandon. Apa yang sedang dilakukan oleh pria itu dan siapa yang mengirim orang-orang ini? Apakah dia akan dikenakan biaya tambahan untuk semua layanan ini? Atau seseorang memang sengaja mengirim mereka kemari karena alasan tertentu?
Mengabaikan isi kepalanya yang berisik, Sunday memilih kembali ke tempat itu. Harus diakui tubuhnya terasa jauh lebih rileks setelah perawatan barusan. Sunday menarik selimut untuk menutup tubuhnya yang sedikit menggigil. Demamnya sudah turun dan kepalanya kini tak lagi terasa sepusing sebelumnya. Ia menguap beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur dan tidak lagi memikirkan Brandon. Sunday yakin saat ini Brandon berada di suatu tempat yang aman. Atau mungkin dia sedang bekerja. Ini bukan akhir pekan di mana semua orang bisa bersantai. Tak sampai lima menit, kini ia telah berpindah ke alam mimpi.
Tiga jam kemudian Sunday terbangun dengan sendirinya. Tempat itu tidak terdengar berisik meski di luar ombak-ombak membuat suara gaduh dan burung-burung berkicau dengan riangnya. Sunday mengucep mata beberapa kali, menguap, dan terakhir menarik selimut untuk menutup tubuhnya yang sedikit kedinginan.
Saat pandangannya menangkap sosok pria yang kini duduk di sofa, Sunday sontak memanggil pria tersebut. "Hei," katanya.
Pria itu menoleh. "Apa aku membangunkanmu?"
"Tidak," Sahut Sunday tenang. Ia bangkit perlahan lalu bersandar di kepala ranjang. "Dari mana kau?"
"Aku tidak mau mengganggu waktu istirahatmu. Jadi kuputuskan untuk keluar-"
"Ah, kau pasti bekerja, kan?" potong Sunday. Untuk sesaat dia melihat Brandon menelengkan kepalanya.
"Ah, iya."
"Bagaimana pekerjaanmu? Apakah semuanya lancar?"
"Tentu." Brandon mengedikkan bahu dengan acuh. "Bagaimana kondismu saat ini? Apa kau merasa lebih baik?"
Sunday tersenyum tulus. "Kau pasti yang memanggil mereka. Terima kasih."
"Kau bahkan tidak menjawab pertanyaanku."
"Berkatmu, aku jauh merasa lebih baik. Jika sore ini kepalaku tidak lagi pusing, aku akan segera pulang. Aku tidak mau terlalu lama di sini. Kau pasti tidak nyaman denganku." Sunday melihat Bradon cukup terkejut dengan ucapannya. Meski begitu dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. "Sekali lagi terima kasih, Brandon. Aku tidak tahu bagaimana hidupku jika aku tidak bertemu denganmu. Jika bukan dirimu, aku mungkin tidak akan bertahan sampai sejauh ini."
"Artinya kau ingin mengatakan kalau kau ingin mengakhiri hidupmu?"
"Bukan begitu," Sunday menggeleng. "Jika bukan dirimu, mungkin saja orang yang aku temui bukanlah orang baik-baik. Bisa saja aku dijual atau organ-organku tubuhku yang dijual. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, kan? Di dunia ini ada begitu banyak kejahatan yang bahkan mungkin tidak pernah terlintas di benak kita."
Brandon mengangguk-anggukan kepala. "Kukira kau ceroboh. Rupanya kau cukup hati-hati."
Pujian itu membuat Sunday terharu. "Dari sekian banyak hal yang pernah kulalui, aku cukup bisa mengandalkan diriku sendiri. Namun beberapa tahun belakangan aku benar-benar melakukan hal yang sangat bodoh. Kemarin aku juga melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Kau mau tahu apa?"
"Apa?" Brandon tampak tertarik dengan pertanyaan Sunday.
"Mempercayai dirimu. Bukankah tidak seharusnya aku mempercayai orang asing?"
"Kau terdesak."
"Tetap saja, itu tidak dibenarkan."
"Satu hal yang harus kau tahu, aku tidak akan melukaimu. Aku hanya ingin membantu. Itu saja. Jika yang datang kemarin bukan kau, aku tetap akan melakukan hal serupa. Pada siapa pun itu."
"Kenapa kau bersikap baik seperti ini bahkan pada orang asing? Apa kau tidak taku seseorang melukaimu?"
Dengan cepat Brandon menggeleng. "Tidak. Bisa dibilang aku tidak takut pada siapa pun. Aku bisa bela diri, asal kau tahu saja."
"Bela diri saja tidak cukup, Brandon."
"Kau benar." Brandon beranjak dari sofa. Ia mengambil gelas kosong lalu mengisi gelas tersebut dengan air mineral. "Namun orangtuaku tidak akan diam saja. Jika terjadi sesuatu padaku, mereka akan segera mencariku."
"Bagaimana jika mereka tidak bisa menemukanmu?"
"Mereka selalu bisa menemukanku. Jadi tidak ada yang perlu kukhawatirkan." Pria itu berjalan menuju ranjang Sunday. "Minumlah! Kau pasti haus."
"Percaya diri sekali," Sunday meneguk habis air pemberian Brandon. Pria itu masih berdiri di tempatnya. "Terima kasih."
"Gelasnya," ujar Brandon datar.
"Oh." Sunday tersipu . Dia pikir Brandon hendak mengucapkan sesuatu yang...
"Ngomong-ngomong, aku sudah menyuruh temanku mengurus gaun pengantimu. Mungkin akan selesai dalam tiga jam. Apa kau bisa menunggu?"
"Tentu. Aku akan memulihkan tenagaku. Begitu pulih aku akan segera pergi dari sini." Sunday memandangi lautan yang terbentang luas di hadapannya. Seumur hidupnya, ini kali pertama dia bisa menikmati pantai dan laut seperti sekarang. Tidak ada yang menuntutnya untu memakai pakaian yang tidak dia inginkan. Tidak ada yang menyuruhnya berpose saat dia hanya memandangi lautan dengan puas. Juga tidak ada laki-laki yang selalu menyuruh seenak hatinya seolah dia hanyalah pelayan bagi pria itu.
Jika diingat-ingat kembali, hubungannya dengan Noah memang tidak terlalu baik. Selama ini hanya dia yang berjuang. Namun Sunday terlalu dibutakan oleh cinta. Dia tidak menyadari kebodohannya sejak awal.
"Hei," tiba-tiba Sunday teringat mobil yang membawanya kemari. Dia hampir lupa dengan kendaraan itu. "Brandon, apa kau melihat mobilku? Astaga, aku hampir melupakannya."
Brandon menggeleng. "Aku tidak memeriksanya. Setelah kau merasa lebih baik, kita bisa pergi ke tempat parker dan melihat mobilmu."
Sunday mendadak cemberut. "Itu bukan mobilku. Kami menyewanya. Harusnya kukembalikan kemarin. Sial! Seandainya saja aku tidak menikah, mungkin aku tidak akan mengalami kesialan bertubi-tubi seperti sekarang."
"Sebentar." Sunday melihat Brandon mengambil ponsel dari saku celananya. Hari ini pria itu memakai pakaian kasual. Dengan celana pendek serta kaus berwarna hitam. Semakin diamati, Brandon justru terlihat semakin jauh dari kesan 'pelayan'. Dia justru tampak seperti pengangguran yang tidak memiliki beban hidup. "Apa aku salah menilainya?" gumam Sunday pada dirinya sendiri.
*
Setibanyadi luar, Brandon mengangkat telepon dari Kale. "Ada apa?"
"Aku mengirim pesan padamu. Kau sudah membacany?"
"Belum."
"Ada dua orang ingin mengambil mobil yang dibawa wanita itu. Mereka dari pihak penyewaan mobil."
"Kau yakin mereka yang berhak atas mobil itu?"
"Aku sudah memeriksanya. Tidak ada yang salah. Sunday memang seharusnya mengembalikan mobil itu hari ini. Mereka pikir Sunday berniat menjual mobil mereka. Jadi mereka menyusulnya kemari. Sepertinya mereka mencium hal yang tidak beres di sini."
Brandon mengamati Sunday lewat tembok kaca rumah yang kini mereka tinggali. "Haruskah kubeli mobil itu?"
"Tidak." Kale menjawab cepat. "Jangan ikut campur, Brandon. Kau hanya pelayan di sini, bagaimana kau akan membelinya?"
"Jadi?"
"Jika memungkinkan, ajak Sunday bicara dan bawa dia ke sini."
"Baiklah. Tahan mereka, Kale! Aku akan segera ke sana." Setelah memutus sambungan telepon, Brandon bergegas menghampiri Sunday. Wanita itu tengah berbaring sembari meratapi nasib buruk yang menimpanya. "Maaf mengganggumu waktumu, kurasa kau harus keluar."
"Ada apa?"
"Orang-orang dari penyewaan mobil datang. Mereka ingin membawa mobil itu."
"Sekarang?" Tanya Sunday tidak percaya.
"Jika memungkinkan, kau bisa temui dan berbicara dengan mereka."
"Aku memang harus bertemu mereka." Sunday menyibak selimut lalu turun dari ranjang. Ia berdiri dengan sempoyongan hingga nyaris terjatuh. Beruntung Brandon dengan sigap memegangi tubuhnya yang nyaris terjatuh di lantai.
"Hati-hati!" perintah Brandon. "Jangan buru-buru, mereka bisa menunggu."
Sunday mengembuskan napas kesal. "Aku memang harus buru-buru. Mereka tidak bisa membawa pergi mobil itu begitu saja. Hanya mobil itu yang bisa kupakai untuk kembali ke rumah. Sial!"
Setelah menggerutu panjang lebar, Sunday dan Brandon akhirnya keluar dari rumah dan berjalan dengan tergesa menuju tempat parker. Suasana pantai mulai dipenuhi dengan pengunjung yang baru saja berdatangan. Sunday tidak sempat memperhatikan mereka satu per satu. Dia hanya focus pada mobil yang kini akan diambil oleh pemiliknya.
Butuh kurang dari lima menit untuk sampai di tempat parkir. Setibanya di sana, Sunday melihat beberapa orang berkerumun di dekat mobil sewaannya. Ia mengenali dua orang yang kini menunjuk wajahnya.
"Hei, kau! Akhirnya kau sampai juga. Kami ingin membawa mobil kami. Kau seharusnya mengembalikannya kemarin! Kenapa kau malah membawanya kemari? Kau-"
"Aku memamg berniat mengembalikannya tapi ada kesalahan teknis. Jadi-"
"Kami tahu. Pernikahanmu gagal karena kau ketahuan berselingkuh dan memiliki banyak hutang. Mereka bilang kau bermasalah jadi kami melacak mobil ini dan benar saja, kau membawanya kemari. Tempat ini terlalu jauh dari tempatmu seharusnya berada. Sekarang kami akan membawa mobil ini. Tolong singkirkan orang-orang ini! Mereka sejak tadi menghalangi pekerjaan kami!" ucap salah satu dari mereka.
Brandon melihat Sunday mendadak pucat pasi. Ada banyak orang yang baru saja berdatangan, perhatian mereka teralihkan karena kegaduhan yang disebabkan oleh orang-orang yang mencari mobil mereka. Saat itu Brandon hendak menggunakan kuasanya untuk membungkam mulut kedua pria itu. Namun dia tidak ingin mengambil langkah gegabah. Dia tidak akan terlalu ikut campur terlalu dalam. Juga tidak mau Sunday mengetahui siapa dirinya. Sudah cukup Sunday menganggapnya 'pelayan'di pulau milik ayahnya sendiri.
Sementara itu, Sunday kehabisan kata-kata setelah penghinaan yang baru saja dia dapatkan. Tenggorokannya tercekat, Sunday nyaris tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dia sama sekali tidak menyangka akan dipermalukan seperti ini. Sunday juga tidak tahu bagaimana bisa mereka mengatakan hal-hal yang sama sekali tidak benar. Semua yang diucapkan oleh mereka adalah kebohongan semata. Di sini, dirinyalah korbannya. Namun mengapa mereka justru menganggap dia adalah penjahat?
"Biarkan mereka membawanya!" ujar Brandon dengan bijak.
Brandon lalu menggandeng tangan Sunday dan membawa wanita itu menjauh dari sana. Siapa pun pasti akan sangat malu dan terkejut jika dipermalukan seperti itu. Sama seperti yang Sunday alami. Brandon tidak ingin Sunday dipermalukan lebih dalam. Dia juga tidak mau Sunday mendengar kata-kata kasar yang ditunjukkan orang-orang itu padanya.
"Dasar jalang! Dia pergi meninggalkan hutang pada calon suaminya!"
"Dia sungguh tidak tahu malu."
Hanya dengan kata-kata itu, kepala Brandon mendidih dibuatnya. Meski saat ini yang berdiri di sisinya bukan Sunday, Brandon akan tetap membela orang itu. Dia benci orang-orang yang sok tahu. Dengan hati yang kini dipenuhi amarah, Brandon mempercpat langkahnya.
"Jangan dengarkan mereka!" ia berkata dengan ketus.
"Aku sudah mendengarnya."
Tanpa menoleh ke arah Sunday, Brandon menautkan jemari mereka. "Berjalan dapat meredakan kemarahan. Ayo kita berjalan sampai kaki kita hampir putus dan kemarahan kita menguap dengan sendirinya. Jika kau lelah, berhentilah! Tapi jika kau masih marah, jangan coba-coba untuk berhenti."
"Bagaimana jika yang mereka katakana benar? Bagaimana jika kau salah mempercayai orang?"
"Jika yang mereka katakana benar dan kau memang berbuat salah, aku akan menyuruhmu memperbaiki kesalahanmu hingga tak satu pun orang berani merendahkanmu seperti tadi. Sekarang fokuslah pada langkahmu!"
Sunday memandangi kedua manik mata Brandon. "Dan jika aku benar?"
"Maka permalukan mereka. Buat mereka merasakan sakit yang kau rasakan." Brandon memusatkan pandangannya pada wanita itu. "Tinggalah di sini sampai kau siap menghadapi mereka! Aku tidak suka ada orang yang terlihat bodoh saat ditindas."
"Aku tidak bodoh!"
"Buktikan padaku kalau kau memang tidak bodoh!"
"Aku kulakukan." Sunday mengeratkan pegangannya pada tangan Brandon. "Aku kita berjalan sampai kaki kita putus!"
Di bawah teriknya sinar matahari, Brandon dan Sunday setengah berlari menyusuri garis pantai. Ombak yang saling berkejaran menjadi saksi bisu awal kisah sederhana mereka.