PART-3. TWO STRANGERS.

1479 Kata
PART-3. TWO STRANGERS. Setelah perkenalan singkat mereka dan malam semakin larut, akhirnya keduanya memutuskan untuk kembali ke dalam rumah. Sunday memandangi ruangan di mana hanya terdapat satu tempat tidur. Ia melirik Brandon sekilas lalu mengembuskan napas. “Rupanya hanya ada satu tempat tidur.” “Tidurlah di sana, aku akan tidur di sofa.” “Biar aku saja yang tidur di sofa. Kau lebih berhak atas tempat ini.” “Aku tidak mau bersikap sok romantis di hadapanmu. Aku juga tidak mau repot-repot memindahkanmu dari sofa ke tempat tidur setelah kau tidur. Jika kau memang berpikir aku lebih berhak atas tempat ini, maka lakukan apa yang kuminta. Sederhana, kan?” Sunday memutar bola mata. “Baiklah. Aku tidak bisa berharap banyak kalau begitu.” “Satu lagi,” Brandon mengambil selimut dari lemari. “Aku pria baik-baik. Aku mengijinkanmu tinggal di sini karena kasihan padamu tetapi aku juga tidak akan memanfaat kesempatan yang ada untuk melakukan hal-hal m***m padamu. Kuharap dengan begini kau bisa tenang.” “Terima kasih.” Sunday melepas sandal lalu berbaring di atas tempat tidur. Ia menutup tubuhnya dengan selimut. Tak lama kemudian lampu di ruangan itu padam. Menyisakan lampu tidur remang-remang yang menjadi saksi bisu perkenalannya dengan Brandon. Pria asing yang telah membantunya hingga sejauh ini. Harusnya Sunday bersyukur karena Tuhan telah mengirim pria sebaik Brandon padanya hari ini. Namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Hatinya masih sangat sakit jika mengingat pengkhiatan calon suami dan sahabatnya. Satu jam berlalu dengan cepat, Sunday masih tidak bisa tidur. Ia ingin berteriak demi meringankan beban yang ada di hatinya tetapi untuk saat ini Sunday tidak bisa melakukannya. Tiba-tiba air matanya mengalir cukup deras. Sunday terisak dengan sangat pelan. Selama bertahun-tahun ia membuat dirinya pantas di hadapan sang kekasih. Sunday melakukan yang terbaik demi bisa membuat laki-laki itu nyaman bersamanya. Dia tidak pernah menuntut apa-apa dari pria itu. Bahkan demi pernikahan mereka, Sunday rela menghabiskan seluruh tabungannya. Sementara pria itu sama sekali tidak mengeluarkan sepeser pun. Di titik ini Sunday merasa seperti orang bodoh. Bagaimana bisa dia terjebak dalam hubungan yang tidak sehat seperti ini? Dalam hubungan mereka, hanya dirinya yang bertahan dan berusaha sebaik mungkin. Sementara laki-laki itu, dia bahkan tidak peduli apakah Sunday masih hidup atau tidak. Kenyataan pahit itu lagu-lagi menghancurkannya. Sunday semakin terlihat bodoh dan tidak berguna. Kini dia tidak punya apa-apa dan juga tidak punya siapa-siapa. Padahal sebelumnya dia selalu merasa beruntung karena memiliki kekasih dan sahabat yang selalu ada untuknya serta mendukungnya. Berjam-jam berlalu begitu saja. Sunday masih sibuk menghapus air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Sungguh, dia tidak ingin seperti ini. Hatinya mungkin sakit tetapi dia tidak boleh lemah seperti sekarang. Sunday harus bisa bertahan dan membangun hidupnya kembali. Sampai saat ini, dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Ayolah, jangan menangis dan beristirahatlah! Sunday membujuk dirinya sendiri dengan sisa-sisa kekuatan yang datang entah dari mana. * Sama seperti Sunday, Brandon pun tidak bisa tidur. Ia terus memandangi punggung yang bergerak naik-turun itu. Brandon menduga sepertinya Sunday sedang menangis. Dia menghela napas panjang, berusaha untuk tidak menanyakan bagaimana keadaan Sunday sekarang. Pasti sulit bagi wanita itu menghadapi situasi saat ini. Jika tidak sedang bersamanya, mungkin Sunday akan berteriak atau menghancurkan barang-barang yang ada di ruangan ini. Di sini Brandon merasa kalau dia sudah cukup jahat dengan menahan wanita itu. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Pikir Brandon. Selama berjam-jam Brandon terus menerka-nerka. Apa yang terjadi pada wanita itu hingga dia tampak sangat frustasi. Brandon melirik jam di nakas. Sudah pukul tiga dini hari. Wanita itu juga masih menangis. Hal itu cukup mengganggunya. Mustahil baginya tidur dalam situasi seperti ini. Dua jam lagi berlalu dengan cepat. Brandon tidak lagi melihat punggung wanita itu bergerak naik turun. Sepertinya dia sudah tidur. Ia menguap beberapa kali sebelum akhirnya jatuh tertidur dengan sendirinya. Hingga berjam-jam kemudian, saat sinar matahari yang cukup terik menyilaukan pandangannya, Brandon mendengar suara bersin yang dia yakini berasaln dari Sunday. Ia membuka mata perlahan. Posisi Sunday masih sama seperti terakhir dia melihatnya. Brandon memiringkan kepala, menerka-nerka apakah Sunday sudah bangun atau belum. Setelah lama menunggu akhirnya dia memutuskan untuk turun dari sofa. Pungungnya terasa sakit karena semalaman dia harus meringkuk di sofa. Dia tidak terbiasa hidup seperti itu, hati kecilnya menjerit karena harus berbagi tempat tidur dengan orang asing. “Kau sudah bangun?” tanyanya begitu tiba di sisi Sunday. “Ya.” “Syukurlah. Aku sempat khawatir kau kabur dari sini.” Sunday menggeleng. “Hei, kau baik-baik saja?” “Ya.” Jawab wanita itu singkat. Suaranya serak, Brandon menduga dia terkena flu karena berenang di malam hari. Demi mengobati rasa penasarannya, Brandon akhirnya mendekati wanita itu. Ia dengan hati-hati menyentuh dagu Sunday. Benar dugaannya, Sunday mengalami demam. “Kau demam. Seperinya kau terkena flu.” “Tidak. Aku hanya tidak bisa tidur. Aku akan membaik setelah berbaring sebentar lagi.” “Berbaringlah sampai kau merasa lebih baik. Aku akan keluar mencari udara segar.” Setelah mengucapkannya, Brandon benar-benar keluar dari tempat itu. Suasana pantai kembali seperti semula. Beberapa pengunjung mulai memenuhi area tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah pasangan kekasih yang ingin menikmati momen-momen romantic di tempat itu. Brandon melihat Kale sudah menunggunya di dekat pantai. Pria itu melambai dengan tangannya yang kekar. Kale, pria yang berusia tak jauh darinya. Dia bisa sampai di sisinya karena keluarganya juga mengabdi pada ayah Brandon. “Kau baru bangun?” tanya Kale dengan nada santai. “Aku nyaris tidak bisa tidur. Wanita itu menangis.” “Kau mengenalnya?” “Tidak. Awalnya kukira dia hendak bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut. Ternyata dia hanya berteriak. Karena sudah malam aku menampungnya di sini.” “Dan kau malah dianggap pelayan olehnya.” “Begitulah.” Brandon mengembuskan napas lewat mulutnya. “Kau sudah menyelidiki siapa dia?” Kale mengangguk. “Sesuai perintahmu.” “Sebelumnya, tolong kirimkan dokter, makanan, dan spa therapist ke kamarku. Sepertinya dia sakit.” Kening Kale mengerut dalam. “Kenapa kau sangat peduli dengannya?” “Aku hanya kasihan. Sepertinya dia baru saja melewati hari yang buruk.” Ekspresi Kale sulit ditebak. Ia tidak merespon ucapan Brandon. Kale mengambil ponsel dari saku celana lalu menghubungi orang kepercayaannya untuk menyediakan apa yang dibutuhkan oleh tamu Brandon. Setelah instruksinya dipahami oleh orang tersebut, Kale menutup sambungan telepon. “Sudah.” “Terima kasih, Kale. Jika kau bertanya kenapa aku peduli padanya, aku melakukannya atas dasar rasa kemanusiaan. Itu saja.” “Kukira kau jatuh cinta pada pandangan pertama.” “Aku tidak ingin mengelak karena tidak mau termakan ucapanku sendiri.” Kale terkekeh. “Astaga, bisakah kau sesekali berbasa-basi untuk menyenangkan lawan bicaramu?” “Tidak.” Jawab Brandon acuh. “Jadi, siapa dia?” Kale membuka ponsel lalu mempelihatkan foto-foto Sunday. “Kurasa namanya Sunday. Jika aku salah, mungkin info yang aku dapatkan semalam tidak akurat.” “Namanya memang Sunday.” “Dia bekerja di rumah sakit sebagai perawat. Aku melihat foto-foto pre-weddingnya. Kemarin adalah hari pernikahannya tapi kurasa ada yang salah dengan pernikahannya. Dia kemari memakai mobil rental. Hari ini pihak rental mengambil mobilnya. Mereka melacak mobil itu dengan GPS.” “Jadi dia menikah?” “Aku akan mencari tahu apa yang terjadi padanya.” “Jika dia memang menikah, seharusnya dia tidak di sini sendirian.” “Kau benar. Ada yang salah dengan pernikahan yang seharusnya digelar kemarin. Mungkin dia memang sengaja kabur karena tidak mau dipaksa menikah dengan orang yang tidak dia cintai.” “Aku sudah memeriksa social medianya. Aku juga sudah meretas akunnya. Kurasa laki-laki yang harusnya menikah dengannya selingkuh dengan sahabatnya. Teman-temannya mengirim DM dan mengatakan kalau Johny justru menikah dengan Rose di tempat Sunday seharusnya menikah. Mereka turut berduka atas apa yang menimpa Sunday.” “Apakah Sunday tahu hal ini?” “Ponselnya berada di lokasi pernikahan Johny dan Rose. Kurasa dia belum tahu.” “Kasihan sekali.” Brandon berjalan menyusuri area pantai. “Apa yang akan kau lakukan jika berada di posisi Sunday?” Kale berdeham, “I will kill my ex. Not the best best idea…” “Aku memintamu menjawab, bukan bernyanyi.” “Itu lagu yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Tolong jangan memprotes.” “Baiklah. Terserah kau saja.” Kale memandangi langit yang cerah. “Apa yang akan kau lakukan padanya sekarang?” “Membiarkan dia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Kami tidak saling mengenal, jad]I aku tidak harus tahu apa yang dia lakukan setelah ini. Aku bahkan tidak berhak mencampuri urusannya.” “Kau akan membiarkannya pergi, Brandon?” “Sekali lagi, aku tidak berhak menahannya, Kale.” Kale mengangguk. “Ya. Mari kita lanjutkan hidup kita masing-masing dan biarkan dia juga melanjutkan hidupnya.” Brandon berpikir sejenak, ia bertanya-tanya dalam hati. Apakah Sunday bisa bertahan setelah ini? Dia bahkan menghabiskan semalaman untuk menangis. Lalu sisi lain dari dirinya berkata, Jangan pedulikan dia. Kalian hanya dua orang asing yang tidak sengaja bertemu saat senja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN