Bab 17: Gara-Gara Lagu

1055 Kata
POV ADAM Akhirnya aku membuang semua rasa jaim dan ego. Aku tak bisa terus menerus memendam rasa, dan memutuskan memberitahu Naura secara gamblang perasaanku. Seperti ketika kulihat lagi Naura dan Billy saling pandang. Naura di depan kamarnya, dan Billy di anak tangga. Pemandangan yang tak menyenangkan itu membuatku akhinya memanggil Naura dengan kata 'Sayang' secara lantang dan lugas. Sekilas kulihat Billy menoleh ke arahku dengan ekspresi datarnya sebelum kembali melangkah dan entah mengapa, sedang Naura sendiri hanya menyahutiku dengan kening berkerut dan tatapan heran yang bertanya-tanya. Bodo Amat! Dia kan istriku! Lagi, kulihat Naura duduk di meja dapur dengan Billy. Mereka berdua sedang menikmati minuman hangat, ketika aku bergabung, Billy menawariku tapi aku menolaknya. Aku menanyakan soal keberadaan Rizal dan Billy bilang Rizal lagi tidur di atap. Aku bilang bahwa aku nitip bilang terima kasih karena sudah diijinkan menginap di rumahnya kepada Billy dan mengajak Naura pulang sekarang juga, tapi kali ini Naura menolak dan ingin menunggu Rizal, ia bilang tak enak jika pergi tanpa pamit ke pemilik rumah. Aku mengalah karena Naura ada benarnya. Nyatanya setelah Naura mengatakan hal itu, ia berdiri dan mempunyai inisiatif buat nasi goreng untuk sarapan. Seperti dugaanku, Billy tak beranjak dari dapur dan malah membantu Naura membuat nasi goreng. Melihat keduanya sangat lihai dan akrab saat membuat nasi goreng membuat dadaku memanas. Tatapanku masih intens ke arah Naura dan Billy yang seolah hal yang mereka lakukan bersama seperti ini adalah sebuah kebiasaan mereka. Naura tertawa saat Billy hampir saja salah mengambil gula yang dikira adalah garam karena wadahnya yang sama. Billy pun menertawai kekonyolannya sendiri. Melihat mereka seperti itu rasanya seperti melihat film-film romantis. Suara telapak kaki yang sedikit berlari menuruni tangga membuatku menoleh. Rizal dengan senang dan semangatnya menyapa kami dengan memuji aroma masakan Naura. Setelahnya ia bergabung bersama kami, duduk di sebelahku melihat Naura dan Billy yang sibuk menyiapkan sarapan. Tawa Billy dan Naura menghiasi dapur, jujur aku muak dan tak suka. Ingin rasanya aku menarik tangan Naura dari dapur dan pergi kemana saja asal tak ada lagi sosok Billy diantara kami. Saat memikirkan hal itu, entah mengapa Rizal nyeletuk saja mengatai Naura dan Billy "Best partner" saat di dapur. Belakangan aku tahu, mereka bertiga koas bersama , Naura dan Billy paling suka menyediakan makanan bagi teman-teman Koas lainnya. Hal itu semakin membuatku ingin segera pulang dari rumah Rizal, panas sekali dadaku hingga aku memilih minum air dingin yang sekali teguk langsung tandas. Setelahnya, Naura menyiapkan makanan yang dalam tempo cepat aku menghabiskannya tanpa menimpali apapun yang mereka bicarakan. Setelah itu aku beranjak dan mencuci piringku. Sengaja aku mendekati Naura dan berbisik di telinganya, mengucapkan terima kasih dan menyebutnya dengan 'sayang'. Ah, aku tidak lagi peduli bagaimana reaksi Naura, yang jelas aku ingin menekankan kepada Rizal dan Billy bahwa aku ini suami sah Naura secara agama dan negara. Sekitar sejam kemudian aku dan Naura berpamitan kepada Rizal untuk pulang. "Thanks banyak, ya Zal, lo boleh mampir dan nginep kapanpun di rumah gue." kataku kepada Rizal yang ditanggapi dengan anggukan dan senyuman. Setelahnya aku menjabat tangan Billy dengan senyuman. Naura berpamitan juga, setelah selesai berpamitan aku sengaja memegang tangannya menuju mobil. Sekilas bisa kulihat wajah gemasnya itu menatapku heran dan bertanya-tanya, tapi ia tak berontak, tetap diam dan menurut. Sepanjang perjalanan ke rumah, kami hanya saling diam satu sama lain. Untuk menghilangkan rasa bosan di diri kami, Naura memutar musik yang membuat kami menoleh heran dan saling pandang untuk sesaat lamanya. Lagu Naff- Tak Seindah Cinta Yang Semestinya. Lagu itu benar-benar mewakilkan seluruh perasaanku hingga aku tertegun memandang Naura untuk beberapa saat. Buru-buru Naura mematikan lagu itu dan mengalihkan pandangannya ke depan. "Ra... Soal panggilanku ke kamu tadi..." "Aku tahu itu cuma acting." kata Naura memotong kalimatku. Sontak aku menoleh dan memandangnya heran dan aneh. Apa ia bilang barusan? Acting? Bagaimana bisa ia berpikiran seperti itu? "Acting?" aku mengulang kata Naura tersebut dan ia mengangguk. "Aku juga gak suka kalau ada orang lain yang tahu soal masalah rumah tangga kita ini yang hanya pura-pura..." kata Naura lagi. Tunggu dulu, pura-pura? Rumah tangga pura-pura? Apa maksud Naura dengan semua kalimat aneh di otaknya itu? "Acting? pura-pura?" tanyaku lagi. Kali ini Naura tak mengabaikanku dan menoleh ke arahku seraya mengangguk polos. "Setahun rasanya cukup bagiku untuk mengembalikan uangmu dan memulihkan kondisi ibumu." kata Naura menjelaskan hasil pemikirannya yang aneh. Aku menatapnya tak percaya. "Ra, pernikahan kita ini sah secara agama dan negara." kataku mencoba menjelaskan. "Aku tahu, meski tanpa cinta." "Tanpa cinta?" tanyaku dan Naura mengangguk pasti. "Bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau tanpa cinta?" "Pernikahan kita terlalu mendadak, Dam, dan meski aku mengenalmu saat kecil, saat dewasa kamu asing di mataku. Alasan kamu menikahiku cukup jelas, sangat jelas dan gamblang malahan. Kau bersalah atas kematian kakakku dan tekanan oleh ibumu, sedang aku menerima lamaranmu karena ayahku butuh uang untuk melunasi hutangnya. Impas, kan?" kata Naura menjelaskan. "Jadi kamu benar-benar menganggap aku menikahimu karena merasa bersalah pada kakakmu?" "Apa lagi?" "Jika benar begitu, bukankah aku lelaki kejam di matamu, Ra? Hanya memanfaatkanmu saja." "Kenyataannya memang seperti itu." "Jika memang seperti itu, kenapa tak kulakukan sejak dulu?" tanyaku sedikit keras. Aku menepikan mobilku seketika dan menatap Naura kesal. "Pertama, si Adi b******k itu yang membeberkan masa lalu kita yang kelam. Kedua, aku terpaksa membawamu ke panti itu menemui ibuku karena kalau tidak kamu pasti meminta cerai padaku. Sehingga aku hanya memohon padamu untuk mempertahankan rumah tangga kita setidaknya setahun saja." kataku menjelaskan kepada Naura. Ia terkejut dan tak bergeming sama sekali. "Dan kamu bilang aku pura-pura? Maksudku pernikahan kita pura-pura?" "Lalu apa selain pura-pura, Dam? Sekarang gini deh, kamu posisikan dirimu di aku? Apa kalau gak pernikahan kita ini hanya kepura-puraan saja?" tanyanya "Oh Tuhan, demi Allah Naura, aku serius padamu!" "Dan apa kamu tanyakan kepadaku, apa aku serius padamu atau gak?" "Sudah! Aku tak pernah memaksamu masuk ke toko gaun pernikahan kita! Bukannkah sudah kukatakan jika kamu menerimaku maka kamu akan masuk toko itu?" tanyaku dan ia menatapku kaget. Seketika ia memalingkan wajahnya yang nampak kebingungan dan heran. "Jangan bilang, kamu masuk toko karena rasa penasaran bukan keinginanmu bersama denganku?" tebakku. "Aku gak tahu apa yang harus kulakukan saat itu, Dam! Semuanya serba mendadak!" kata Naura. Ia terlihat kesal dan jengah hingga ia memutuskan keluar dari dalam mobil dan duduk di depan mobil memamdang ke arah jalanan dengan memijit kepalanya ringan. Aku memilih berdiam diri di dalam mobil. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana lagi kepada Naura. Kini, aku pasrahkan semuanya kepadanya, karena aku tak tahu lagi harus bagaimana. Aku tetap akan menjalankan posisiku sebagai suami di hadapannya. Setidaknya setahun ini akan kubuktikan aku sungguh-sungguh padanya dan bukan main-main.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN