POV NAURA
Bagaimana bisa aku menganggapnya gak main-main dan pernikahan kami pura-pura saja? Malam pertama pernikahan saja ia tak bilang apa-apa padaku dan langsung memutuskan untuk tidur di sofa. Oke mungkin kalaupun ia meminta haknya sebagai seorang suami aku tak akan siap, tapi bukan berarti dia bisa mengabaikanku begitu saja, kan? Dia bisa bicara baik-baik padaku atau apapun lah. Karena gak mungkin kan aku menawarkan diriku padanya setelah mahar besar yang diterima oleh ayahku?
Tak cukup sampai disitu rupanya, hubungan kami semakin terasa kepura-puraannya karena ternyata masa kecil kami yang kelam dan alasan lain kenapa ia ingin mempertahankan rumah tangga ini setidaknya untuk satu tahun ke depan.
Bagaimana mungkin aku tidak berpikiran kalau nyatanya pernikahan kami hanyalah kepura-puraan saja? Dan kami sama-sama bertahan hanya karena kepentingan kami masing-masing. Aku yang punya hutang mahar kepada Adam dan Adam yang punya janji kepada Ibunya untuk mendampingi dan menikahiku.
Aku menoleh ke arah Adam yang masih bergeming di dalam mobil. Tatapan kami bertemu dan entah mengapa aku merasa muak. Mulai saat ini aku tak akan bertanya apapun soal status pernikahan kita. Toh hanya setahun, aku bebas melakukan apapun termasuk membuatnya jengah bersamaku, jadi jangan salahkan aku jika nantinya jangankan ia akan bertahan setahun denganku, bisa saja ia hanya akan bertahan sebulan, dua bulan, tiga bulan saja bersamaku.
Kesal karena ia tak juga keluar dari mobil setidaknya untuk basa basi mengajakku masuk kembali, aku putuskan untuk kembali ke mobil tapi duduk di belakang kemudi. Biar saja orang mengira ia sopir atau aku sedang naik taksi online. Siapa suruh membuatku marah dan kesal?
Kulihat Adam mendesah kecil saat menyadari aku lebih memilih duduk di belakang kemudi dari pada harus mendampinginya dengan duduk di depan.
Bodo Amat!
Perlahan, Adam menjalankan mobilnya sembari berulang kali melirik ke arahku lewat spion. Tak ingin mempedulikannya, aku memilih bermain di layar ponselku.
"Besok cutiku habis, dan aku akan kembali bekerja." kataku padanya tanpa memandang wajahnya sama sekali.
"Iya." jawabnya datar.
"Aku akan cari kost dekat rumah sakit. Rumah sekarang terlalu jauh." kataku lagi.
"Baiklah, terserah kamu saja." kata Adam yang membuatku akhirnya menoleh ke arahnya dengan heran. Oh, jadi dia akan membiarkanku in the kost seorang diri? Oke, tak masalah. Malah enak, kan? Kelak ketika berpisah, kita sama - sama tak ada beban perasaan.
Saat mobil masuk pekarangan rumah kulihat Neli keluar dari dalam rumah dengan wajah kesal, dan kulihat juga pintu rumah itu dibanting dari dalam oleh Adi. Aku memandang wajah Neli yang sedikit kesal dengan tatapan malas. Saat aku dan Adam keluar dari dalam mobil, Neli berlari menghampiri Adam dengan manja. Sikapnya itu semakin membuatku jijik melihatnya.
Aku hanya melihat sekilas bagaimana Neli berusaha mengadu kepada Adam tentang perlakuan Adi yang tak menyenangkan kepadanya dengan sangat manja sebelum aki beranjak masuk ke dalam rumah dan mendapati kembaran Adam tengah duduk di sofa menghirup rokoknya dalam-dalam. Kami saling pandang untuk sejenak sebelum aku berlalu pergi ke dalam kamar dengan acuh tak acuh.
Aku membuka lemari pakaianku dan menurunkan koperku. Aku tak membawa baju banyak saat ke rumah Adam jadi aku tak bersusah payah jika harus mengemasi barang-barangku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat Adam dengan wajah lemasnya masuk setelah menatapku dari ambang pintu.
"Masih mau cari kost, kan?" tanya Adam.
"Iya, tapi aku harus prepare, kan?" kataku.
Adam membuka lemari satunya. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengambil kopernya, kemudian ia memasukkan beberapa baju ke dalam kopernya. Hal sama yang kulakukan. Dahiku berkerut dan aku heran melihatnya seperti itu. Aku bertanya-tanya ia mau pergi ke mana. Rasa penasaran yang menelingkupi hatiku akhirnya kuutarakan juga.
"Mau dinas?" tanyaku. Adam menoleh ke arahku.
"Prepare saja."
"Untuk dinas?" tanyaku lagi. Ia hanya menoleh sekilas kepadaku.
"Kalau dah ketemu kostnya, kasih tahu aku ya." kata Adam tak mengindahkan pertanyaanku.
"Untuk apa aku memberitahumu?" tanyaku heran.
Ia menoleh dan menghela napas berat. "Statusmu masih istriku, Ra... Dan apapun yang terjadi padamu, itu semua tanggung jawabku..."
"Tapi..."
"Tolonglah, aku hanya minta waktu setahun saja." katanya. "Apa harus kita pakai surat perjanjian biar kau yakin?" katanya lemas seraya memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Setelah semuanya beres ia menatapku.
"Mau makan apa?" tanyanya.
"Gak usah repot-repot, aku bisa cari makan sendiri."
"Aku sekalian belikan buat Adam dan Neli..."
"Apapun...." kataku. Ia mengangguk dan berbalik keluar kamar.
Sikap Adam yang diam dan tak banyak protes dengan sikap dinginku entah mengapa membuatku sedikit demi sedikit merasa bersalah padanya. Tapi kutepis jauh-jauh perasaan itu, aku tak ingin hatiku luluh karena kediaman dan kesabaran Adam atau apalah, yang jelas aku harus tegas pada diriku sendiri.
Setelah usai memasukkan semua bajuku ke koper, aku mulai bermain gawai ponselku mencari-cari kostan mana yang dekat dengan rumah sakit tempatku dinas.
Aku menemukan beberapa kostan yang menarik mataku dilihat dari angel foto yang di share. Tapi harganya lumayan juga jika aku jadi memilih foto pertama. Tanganku bergerak ke arah lainnya, mencari lebih banyak rekomendasi kost-kostan khusus putri yang rata-rata telah penuh.
Setengah jam berlalu dan aku mulai lelah mencari lewat sosial media. Ada 4 kost yang kutaksir dan besok aku akan hunting lokasi karena sudah memiliki janji dengan pemilik kost. Dari ke empat kost itu, hanya satu kost putri, sedang tiga yang lainnya adalah kost rumah tangga dengan bangunan yang cukup luas jika hanya aku seorang saja yang tinggal.
Aku mulai memikirkan perlengkapanku tinggal dalam kost. Aku tak punya kasur, tak punya alat masak dan semuanya harus kuusahakan ada sebelum menempati kost.
Aku meraih dompetku dan melihat sejumlah uang dari sisa gajiku bulan lalu sebelum menikah yang hampir semuanya diambil oleh Ayah dan kuberikan kepada Ibu. Aku menghela napas karena hanya tinggal 500 ribu saja. Sebenarnya 500 ribu itu akan berkurang jika saja Adam tak menafkahiku selama beberapa hari terakhir ini.
Uang lima ratus ribu itu tak cukup untuk membeli bahan-bahan pokok yang kubutuhkan untuk tinggal di kost an. Jangankan untuk membeli bahan pokok untuk kost an, untuk bayar kost saja masih kurang.
Aku mulai frustasi. Aku mulai berandai-andai kembali ke rumah sebelum ke kost, tapi aku takut Ibu khawatir dengan pernikahanku dan ia mulai cemas yang berlebihan.
Ah, tidak, aku harus bertahan.
Pintu kamarku terbuka. Adam datang dengan dua buah mangkok dan satu kantong plastik. Aroma bakso yang menggoda hidungku membuat perutku berbunyi pelan. Aku lapar. Terakhir aku dan Adam makan memang di rumah Rizal tadi pagi.
Seusai makan dengan cepat, Adam bersendawa keras dan meminta maaf padaku. Kusodorkan botol minuman ke arahnya dan ia menerimanya dengan senyuman.
Adam merogoh dompetnya, ia mengeluarkan sejumlah uang tunai dalam jumlah yang tak banyak dan mengarahkannya padaku.
"Untuk belanja bulanan dan jajan kamu..." katanya. Aku melongo melihat sikapnya.
Aku bingung harus bagaimana, sejumlah uang dalam jumlah yang tak sedikit yang kubutuhkan begitu saja ada di mataku. Dan apa katanya? Untuk uang bulanan? Ini nafkah lahir darinya? Dia menganggapku istri sekarang?