POV ADAM
Aku gak tahan di rumah Rizal, bagaimana tidak? Di sana ada Billy yang jelas-jelas masih suka dengan Naura. Pernyataan Billy yang terang-terangan di depanku membuatku sempat gelap mata dan marah jika saja aku tak ingat menikahi Naura karena suatu alasan tertentu.
Kami terpaksa menginap di rumah Rizal, kubilang terpaksa karena tak mungkin aku mengajak Naura menggelandang di jalan atau ngotot naik taksi pulang tengah malam hanya gara-gara Billy saja.
Aku sengaja pura-pura tertidur dan mendengkur, hanya agar Naura tenang tidurnya. Nyatanya aku salah, perlahan dia mengendap keluar kamar yang membuatku gusar setengah mati. Pasalnya ada Billy di rumah ini dan ada lelaki lain juga.
Ah, sial!
Aku mencoba menunggunya kembali ke kamar. Kulirik jam di dinding setiap lima menit sekali sampai aku tak tahan menunggunya kembali ke kamar karena sudah sejam lamanya ia keluar.
Frustasi karena ia tak kembali juga, aku memutuskan untuk keluar kamar mencarinya. Kubuang semua egoku jika aku kepergok olehnya mencarinya. Toh dia statusnya sekarang adalah istriku, dan aku berhak akan dirinya, kan?
Aku mencarinya ke dapur, tapi tak ada. Aku mencarinya ke depan, ia juga tak ada. Aku mencarinya sampai kolam renang di belakang, ia tak ada juga. Pikiranku mulai berpikiran aneh-aneh seraya memandang kamar di lantai bawah satu per satu, apalagi kamar yang letaknya berseberangan dengan kamarku, kamar tamu Billy.
Dengan menekan semua rasa ego dan rasa maluku, aku berjalan ke arah kamar Billy, mencari Naura ke sana. Masa bodoh jika Billy mencurigaiku cemburu padanya nanti jika ternyata Naura tak ada di dalam sana.
Aku mengetuk kamar Billy tak ada sahutan sama sekali. Aku mencoba menempelkan telingaku ke pintu kamar Billy, tak terdengar apapun dari dalam kamar itu juga. Akhirnya dengan sedikit lancang, aku mencoba memutar kenop pintu dan membukanya dengan ringan. Pemandangan yang kulihat adalah kosong. Sejauh aku mencelingukkan kepalaku ke dalam ruangan itu, tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana dan entah mengapa itu membuatku lega.
Aku memutuskan kembali ke kamar dan menghubungi Naura lewat ponsel. Saat aku baru dua langkah, aku menoleh ke anak tangga yang berada tepat di sebelahku. Mataku menatap ke atas dan ingat bahwa Rizal pernah mengatakan ada taman di balkon atas.
Aku melangkahkan kakiku dengan ringan ke atap dan pelan, entah mengapa aku meyakini kalau Naura sedang berada di atap sana.
Tepat ketika kurang dari anak tangga terakhir mataku benar-benar bisa melihat Naura dengan jelas, tak hanya Naura saja tapi juga Billy yang sekarang malah memegang tangan kiri Naura. Mataku seketika panas, dadaku berdebar karena amarah, ingin rasanya aku pergi ke sana dan menarik tangan Naura secara paksa, tapi sekali lagi aku ingat, kami menikah karena sebuah alasan dan itu bukan cinta. Mungkin aku cinta kepada Naura, tapi di mata gadis itu tak ada aku sama sekali, dan baginya aku adalah orang yang harus dibayar hutangnya karena mahar yang besar untuk pelunasan hutang ayahnya.
Tak hanya itu, pengakuanku di panti tadi soal Ibuku semakin membuatnya yakin bahwa aku tak mencintainya dan kami menikah karena ada alasan-alasan dibalik kepentingan mendesak kami.
Perlahan aku menuruni anak tangga dan menunggu Naura di anak tangga terakhir. Tak perlu waktu cukup lama ternyata, ia sudah turun dan rasa cemburu yang ada di dadaku ingin kuluapkan semuanya kepada Naura saat ini. Tapi tak kulakukan, yang kulakukan saat ia sudah sejajar dan menatapku adalah aku mencari diriku di matanya, tapi lagi-lagi aku tak menemukan apapun di matanya. Ia hanya menatapku penuh tanya, ragu dan heran.
Untuk menghilangkan rasa kesalku, aku berjalan ke arah kamar lebih dulu tanpa mengatakan apapun kepadanya. Sengaja aku masuk dan tak duduk di sofa atau berbaring di tempat sebelumnya, aku terus masuk dan berdiam diri di tepi jendela yang kubuka. Aku butuh angin untuk meredam amarahku, butuh angin yang dingin dan tak kuhiraukan Naura yang mungkin gelisah. Aku menebak ia gelisah dari bunyi sofa yang terus saja bergerak hingga akhirnya tak bergerak. Sedikit kulihat dengan lirikan mataku, ia tertidur.
Bagaimana ia bisa tertidur setelah selingkuh dariku?
Eh, tunggu.
Pantaskah aku menyebutnya selingkuh dariku? Sedangkan status pernikahan kita saja hanya sebuah status belaka.
Tak tahan dengan kediaman yang aku ciptakan sendiri aku menuju ke arahnya.
"Ra..." panggilku lirih. "Ra...." panggilku lagi, tapi Naura tak bergeming sama sekali. "Kita keluar rumah ini sekarang, yuk..." kataku yang seketika membuatnya terbangun dan kaget menatapku. Matanya seketika membulat menatapku. "Aku tidak bisa tidur tenang di sini, Ra..." kataku lagi.
"Kenapa?" tanyanya heran dengan dahi berkerut
"Aku gak nyaman berada di sini." kataku akhirnya. Aku gak peduli lagi dengan persepsinya.
"Karena Billy?" tebaknya asal. Aku diam dan memalingkan wajahku, entah mengapa aku tak suka jika Naura menyebut namanya secara gamblang seperti itu. "Aku di atap bersama Billy gak ngapa-ngapain kok...." katanya seolah ia takut aku mengira yang tidak-tidak. Aku menatapnya dengan heran, dahinya berkerut.
"Kamu di atap sama Billy?" tanyaku sengaja menggoda dan pura-pura kaget. Ia diam, matanya melotot lucu seolah ia salah tangkap dan salah mengaku. Detik berikutnya dengan wajahnya yang merah itu, ia melemparkan bantal ke arah wajahku. Ia mungkin malu karena mengira aku cemburu pada Billy. Padahal memang benar adanya seperti itu, aku memang cemburu pada Billy karena mendekatinya.
Kuraih ponselku setelah memastikan Naura pindah ke kasur dan tidur setelah menutup jendela. Aku mengirim pesan kepada pemilik bengkel yang memperbaiki mobilku, kukatakan padanya aku siap membayar tiga kali lipat dari harga normal jika kondisi mobilku bisa pulih dan diantar subuh ini. Pesanku terbalas dengan cepat dan ia menyanggupi akan mengantar mobilku subuh ini juga.
Aku tak sabar ingin meninggalkan rumah ini, aku tak tahan berada satu atap dengan Billy.
Pagi harinya ponselku berdering, sebuah pesan dari pemilik bengkel yang mengatakan akan mengirim mobilku dengan segera. Aku bangkit dari posisi tidurku. Sebelum ke kamar mandi aku melihat Naura tengah tertidur pulas di kasur. Aku mandi, wudlu dan salat. Setelahnya aku mendengar suara mobil memasuki perkarangan rumah Rizal. Aku bangkit dan menyudahi dzikirku lalu keluar rumah untuk menyambut mobilku yang telah siap setelah membangunkan Naura dengan daun yang kupetik ditanaman dalam pot di atas nakas sebelah kamar tidur Naura.
Gadis itu menggeliat manja ketika aku membangunkannya, ingin rasanya aku berbaring di sampingnya dan memeluknya lalu kami tidur bersama menghabiskan waktu dengan berpelukan. Tapi impian itu harus aku kubur saat ini, aku hanya memiliki waktu setahun untuk meyakinkannya bahwa aku serius dengannya dan pernikahan kami. Bahwa aku mencintainya terlepas dari semua alasan-alasan kami menikah.
"Bangunlah...." kataku padanya lirih saat ia membuka matanya malas. Ingin sekali kukecup kedua mata indahnya itu.