Bab 1: Pertemuan dan Kesepakatan
Seorang gadis berlari kuat-kuat sembari meremas roti yang ada di tangannya. Andai saja pulang ke rumah adalah hal yang menyenangkan baginya, maka ia tak akan berlari pagi-pagi buta seperti ini dengan membawa satu potong roti sesudah ia memecahkan piringnya. Ia terlihat seperti maling.
Sepanjang perjalanan ia mulai berpikir bahwa bisa saja ia mencuci piringnya dan tak perlu memecahkannya, tapi ia tak ingin kukunya kotor ketika harus mencuci piring dan juga ia suka suara pecahan piring, setidaknya, pecahan piring itu menghentikan aktivitas gulat dua orang tua di rumahnya yang membuatnya jengah. Ya, seperti jeda iklan di serial tinju dan gulat, itulah sebabnya ia memecahkan piring yang di atasnya sudah disiapkan sepotong roti dengan selai coklat kesukaannya.
Dan biasanya suasana hati gadis itu akan lega ketika telinganya tak menangkap lagi teriakan dan erangan kesal dari dua sosok di dalam rumahnya. Di dalam salah satu kamar di rumahnya.
Tapi hari itu berbeda...
Ketika sosok bertubuh besar keluar dari kamar dengan pintu yang terbanting karena merasa terganggu oleh suara piring, barulah Naura menyadari bahwa tindakannya telah keliru untuk saat ini. Ia lupa aroma alkohol yang telah tercampur dengan sedikit aroma penenang yang menguar di dalam rumahnya belum hilang, itu berarti iblis belum pergi dari rumahnya.
Naura menelan ludah, tangannya yang memegang roti sedikit gemetaran ketika sosok iblis yang menjelma menjadi ayahnya berdiri di ambang pintu dengan napas yang memburu. Naura bisa melihat dengan sangat jelas mata merah iblis itu menyala dengan keringat yang seperti bulir-bulir yang bertaburan di dahi lelaki itu.
Baik Naura maupun lelaki itu sama-sama diam dengan pikiran masing-masing, Naura yang takut dengan apa yang bakalan terjadi selanjutnya, dan seorang lelaki yang seolah siap menerkam buruannya.
Tegang.
Detik berikutnya, dengan gerakan kaki yang sudah ia prediksi, Naura dengan cepat telah beranjak dari kursinya duduk dan berlari ke luar rumah. Si lelaki meneriaki namanya dengan kesal, seolah baru saja ia luput mendapatkan mangsanya. Sedang perempuan paruh baya yang juga berada di rumah itu terkapar tak berdaya dengan darah di beberapa bagian tubuhnya, serta memar di mana-mana. Bahkan ia tak terlihat cantik lagi, tak seperti dua puluh tahun lalu saat ia menyandang status kembang desa.
Iblis yang masih merasuki pria itu masih berlari mengejar Naura. Bukannya Naura ketakutan ketika kakinya melemah ketika ia melihat sebuah parang di tangan lelaki itu dan namanya berulang kali diteriakkan Ayahnya, tetapi kakinya melemah ketika tak ada satu tetangganya pun yang berusaha menolongnya.
Ada yang bilang karena itu bukan urusan mereka.
Ada yang bilang jangan ikut campur urusan rumah tangga orang lain.
Ada yang ketakutan melihat ayah Naura yang benar-benar seperti iblis.
Ada yang benar-benar tak peduli.
Dari situ Naura sadar, rasa kemanusiaan manusia memanglah pertanyaan paling dasar untuk menjadi benar-benar manusia.
Tapi Naura perempuan tangguh, ketika semua disekitarnya tak peduli, maka ia akan bertindak lebih jauh lagi.
Naura menghentikan langkah kakinya. Bukan karena lelah berlari. Bukan... Tapi karena ia sudah tak tahan lagi dengan semuanya, terlebih ibunya juga tak bisa berbuat banyak.
Naura berbalik, kembali menatap tajam iblis yang menjelma menjadi Ayahnya. Ketika kereta api lewat, Naura memutuskan akan menuntaskan semuanya sekarang.
Mata Naura merah sama seperti mata Ayahnya, yang berarti ia sudah tak tahan lagi untuk menahan amarah dan juga kekesalan. Jika ia harus mati hari ini, maka ia harus bahagia dengan membasmi iblis. Itu yang ada di pikirannya.
Naura mengambil batu paling besar yang mampu ia bawa dengan satu tangan kanannya. Batu itu mungkin lebih dari 5 kg dan Naura menyayangkan nasib batu itu yang mungkin akan melayangkan nyawa seseorang.
Naura lelah.
Ia tak mampu lagi bersabar, begitupun dengan tubuhnya.
Tubuhnya tak perlu lebam dan memar lagi saat lelaki b*****t itu pergi.
Ia tak perlu menangis lagi saat di kamar mandi.
Ia tak perlu bersembunyi di lemari atau bawah kamar tidur saat Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk.
Dan yang jelas, piring terakhir di rumahnya yang telah pecah tadi juga sebagai bukti bahwa ia harus mengakhiri semua ini.
Semua ketidaknyamanan ini.
Raut wajah lelaki itu seolah tertantang ketika melihat putri semata wayangnya berani mengangkat senjata dan mengancamnya. Ia merasa Naura seharusnya bukan seorang perempuan sejak lahir, ia harus jadi pria sejak lahir, anak lelaki yang selalu diinginkannya. Atau anak lelaki yang dirindukannya?
Naura berjalan maju perlahan, kemudian sedikit cepat, kemudian ia mulai berlari, kemudian ia semakin menguatkan langkah kakinya ketika lelaki itu tersenyum senang melihat Naura yang penuh amarah berlari ke arahnya dengan batu yang ia bawa.
Naura sudah kesal sampai ubun-ubun dan ia ingin melepaskan seluruh amarahnya kini.
"Jangan Naura!!!" teriak seseorang tepat ketika Naura akan melempar batu ke ayahnya. "Jangan!!!" teriaknya lagi. Naura diam, napasnya naik turun.
Perempuan paruh baya yang tubuhnya penuh luka itu berjalan mendekat dengan tertatih-tatih. Naura semakin kesal dan sedih ketika dilihatnya, Ibu yang selama ini berusaha Naura sadarkan bahwa berpisah lebih baik dari pada tinggal bersama iblis, berjalan di atas batu-batu kecil tanpa alas kaki sehingga kakinya berdarah-darah karena terluka.
Naura ingin tak peduli, tapi luka yang dialami ibunya tak bisa ia abaikan.
"Hey! ayo! Bukankah kau ingin membunuhku! Lelaki harus tangguh! Lelaki gak boleh mundur di medan tempur" kata Ayahnya gila. Naura melirik tajam ke arah ayahnya.
Jika saja ibunya tak menghentikannya tadi, mungkin Naura benar-benar akan membunuh Ayahnya meski saat lari tadi ia ragu bisa melakukannya.
"Hey! Ayo!" kata Ayahnya lagi. Naura tak menghiraukannya, ia kembali berjalan ke arah lelaki itu. Lelaki itu sedikit tersenyum, namun seketika ia menyadari bahwa Naura bukan ingin mengajaknya duel, melainkan gadis itu berjalan ke arah istrinya yang berada tak jauh dari belakangnya.
Naura tetap berjalan dengan sangat tenang saat melewati Ayahnya meski dadanya berdebar-debar.
Geram melihat anak gadisnya mengacuhkannya, tangan kiri besarnya dengan cepat menjabak rambut panjang Naura, membuat gadis itu jatuh dan kesakitan.
Dengan kaki yang berdarah-darah sang Ibu berusaha menghampiri Naura dan putri semata wayangnya.
"Lepasin gue!" teriak Naura. Ia bukan peduli rasa sakit kepalanya, tapi melihat Ibunya kesusahan berjalan, hatinya ikut tersayat-sayat.
"Lepasin calon istriku!" kata seorang lelaki muda tiba-tiba yang memegang tangan besar Ayah Naura. Naura meronta, mencoba mendongak lelaki mana yang tiba-tiba saja menyebutnya calon istri.
"Gue bapaknya! Dan gue gak ngerasa kalau lo calon mantu gue!" kata Ayah Naura tajam.
Adam mendekat. Ditatapnya mata Ayah Naura dengan tajam. Kemudian ia menoleh ke arah kanan, dua orang yang menemani Adam mendekat dengan dua buah koper hitam. Dengan cepat dan sigap dua orang itu membuka koper dan memperlihatkan sejumlah uang yang memenuhi kedua koper tersebut.
"500 juta mahar perkawinan! Cash!" kata Adam. Ayah Naura nampak senang. Cepat-cepat ia melepas rambut anaknya dan meraba uang di hadapannya dengan mata berbinar. Seumur hidup ia tak pernah melihat uang sebanyak itu.
Setelah menolong Naura yang jatuh ke tanah, Adam mendekati Ayah Naura lagi dan buru-buru menutup kedua koper miliknya.
"Pernikahan hari ini jam lima sore di masjid. Saat itu uang juga akan saya bawa, tidak ada pernikahan, tidak akan ada uang." imbuh Adam tajam seraya pergi dari tempatnya.
"Hey! lo! Gue gak mau nikah sama lo!" teriak Naura keras. Adam menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan melihat Ayah Naura sedang membekap mulut Naura dengan tangan besarnya, tangannya yang lain memegang tubuh Naura yang meronta-ronta ingin melepaskan diri.
"Jam lima sore aku akan bawa Naura ke masjid dekat rumah. Kau siap-siap saja!" kata Ayah Naura seraya menarik Naura pulang dengan paksa, kali ini tanpa menarik rambutnya, meski kedua tangannya masih memegang erat tubuh Anora yang ingin lepas darinya, dan mulut Anora yang terpaksa dibekap.
Tak ada cara lain menolongmu selain mengambil tanggung jawab atas dirimu dengan menikahimu, Ra... Meski ke depannya aku tak yakin kau bakalan membalas cintaku...