POV NAURA
Ingatanku buyar kala pintu kamarku terbuka dan kulihat Adam tengah masuk ke dalam kamar dan menatapku datar sedangkan aku menatapnya penuh kebencian, kebencian yang sudah siap aku luapkan kepadanya. Bisa kulihat wajahnya sedikit terheran melihat wajahku yang mungkin membuatnya bertanya-tanya.
"Kau tidak enak badan?" tanyanya lembut seraya berjalan ke arahku. Aku berdiri dan menatapnya tajam.
"Adam! Kenapa kau menikahiku?" tanyaku serta merta. Kulihat wajahnya pias dan bingung. "Katakan!" kataku keras. ia terhenyak kaget dan gusar. Mungkin baru pertama kali ini ia melihatku marah setelah lama mengintai dan mengincarku.
Ia menghempaskan dirinya di sofa dan menatapku dengan kedua matanya yang entah mengapa tiba-tiba membuatku merasa bersalah seketika kala aku menatapnya marah.
"Aku Adam. Adam yang meninggalkanmu di sungai demi mencari bantuan ke kampung tapi terlambat karena kakakkmu terbawa arus dan meninggal." katanya. Aku kaget, kupikir ia akan berkilah dan mencari alasan lain dan menciptakan kebohongan-kebohongan baru. "Aku Adam yang selama aku hidup, aku terus menerus merasa bersalah kepadamu. Bahkan ketika aku sudah menemukanmu saat SMA, aku tak berani menatapmu." katanya lagi. Entah mengapa, rasanya aku ingin mengiyakan semua apa yang ia katakan barusan dan memaklumi alasannya menikahiku, tapi sisi diriku yang lain tak mengijinkannya.
"Jadi karena rasa bersalah kamu itu, kamu nikahin aku? Aku minta ceraikan aku saja sekarang!" kataku langsung. Adam menatapku langsung dengan tatapan tak percayanya, heran dan bingung.
"Ra..."
"Aku akan lunasin hutangku meski harus nyicil bertahun-tahun lamanya..." kataku lagi.
"Aku gak bisa... aku gak bisa nyeraikan kamu..."
"Kenapa nggak?"
Adam terlihat menunduk.
"Beri aku waktu setahun. Hanya setahun, Ra..." kata Adam lagi. Kali ini dengan wajah memohon.
"Kenapa harus setahun? kau takut aku gak akan melunasi hutang maharku kepadamu?"
"Bukan... Bukan itu..."
"Lalu?" Adam menghela napas berat.
"Kau mau ikut denganku?" tanyanya. Dahiku berkerut mendengarnya.
"Mau ke mana? Dan untuk apa?" tanyaku curiga. Dia menatapku dengan tatapan memohonnya.
"Aku akan jelaskan nanti, kita pergi sekarang?" aku tersenyum remeh.
"Jika kamu jadi aku, kamu pikir kamu akan ikut aku setelah menikahi seseorang hanya karena rasa bersalah?" tanyaku. Adam menghela napas panjang dan berat lalu menghembuskannya. Seperti ia tak tahu lagi bagaimana caranya menghadapiku.
"Aku tetap gak mau ceraikan kamu, Ra...." katanya akhirnya lalu berakhir pergi ke kamar mandi dengan wajah lesu.
Aku memandangnya heran yang tiba-tiba saja mengabaikanku dengan berlalu ke kamar mandi. Aku mengikutinya ke kamar mandi dan menggedor-gedor pintu kamar mandi.
"Dam! Adam!" teriakku sembari menggedor-gedor pintu kamar mandi. Aku terus menggedor-gedor pintu kamar mandi hingga terbuka dan membuatku sedikit terhenyak. Bagaimana tidak? Adam hanya menggunakan handuk dari pinggang ke lutut seraya mengeringkan rambutnya yang basah.
Aku berbalik karena malu. Aku terdiam seribu bahasa melihat Adam yang baru selesai mandi itu. Bisa kurasakan kalau ia berjalan ke arah lemari. Ketika aku menoleh ke arahnya, begitu terkejutnya aku mendapatinya tengah memakai celana. Buru-buru aku berlalu masuk kamar mandi karena malu sendiri melihatnya tengah telanjang seperti itu.
Anehnya, jantungku berdebar-debar.
Sial!
Pintu kamar mandi yang digedor olehnya membuatku sedikit terhenyak kaget.
"Aku bawa makanan untukmu, keluar dan makanlah..." katanya pelan. Lalu sayup-sayup aku mendengar langkah kakinya menjauh setelah itu pintu kamar terbuka. Anehnya lagi aku merasa kecewa ia pergi begitu saja. Sungguh aku merasa diabaikan olehnya.
Ketika keluar kamar mandi aroma sedap masakan padang menggoda hidungku. Aku menoleh dan mendapati nasi bungkus tersebut sudah ada di nakas sebelah kamar tidurku. Perutku tiba-tiba berbunyi saat aku berjalan mendekati nasi bungkus itu dan mendapati satu porsi nasi padang lengkap dengan ikan paruh goreng dan rendang kesukaanku.
Aku menoleh ke arah pintu dan mendesah hambar. Bagaimana tidak? Ia abai atas permintaanku kepadanya yang menceraikanku tapi tak pernah lepas dalam memperhatikan asupan dan kebutuhanku.
Karena perutku lapar setelah berdebat panjang dengan Adam, akhirnya aku memutuskan untuk menyantap nasi padang itu dan akan melanjutkan perdebatanku dengan Adam nanti setelah aku selesai makan.
Karena tak ingin ketahuan oleh Adam kalau aku makan dari makanan yang ia bawa, aku segera melahap makananku buru-buru sebelum ia masuk kembali ke kamar.
Nasi padang yang sangat lezat. Ketika aku menikmati daging rendang yang lezat, pintu kamarku tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok Adam yang berdiri di ambang pintu lengkap dengan air putih di gelas. Sontak aku batuk-batuk karena malu ketahuan olehnya yang makan nasi padang.
Ia berjalan dengan pelan dan santai ke arahku, lalu duduk tepat di depanku dengan muka datar tanpa ekspresinya. Ia menyodorkan gelas minum padaku yang terpaksa kuterima untuk menghilangkan tersedakku.
"Ra, selesai makan ikut aku ya..." katanya setelah melirik makanan yang tinggal sedikit di bungkusan yang ia bawa.
"Ke mana?" tanyaku.
"Ikut saja, nanti juga kau akan tahu." katanya lagi yang akhirnya entah mengapa membuatku mengangguk setuju ke arahnya begitu saja. Ia berdiri dan berjalan ke luar kamar dengan langkah yang sangat santai, seolah-olah kejadian barusan bukan apa-apa, sedang aku malu setengah mati.
Setelah mengganti baju, aku keluar kamar dan mendapati Neli sedang memasak di dapur dengan Adi yang duduk di meja makan sembari menunggu Neli menyelesaikan aktivitasnya. Adi menoleh kepadaku dan bisa kulihat wajah kirinya merah, seperti ia telah dipukul.
"Kenapa? Kaget? Ini ulah Adam!" katanya seraya menunjuk pipinya yang memar. Aku menaikkan alis, sedang Neli yang mendengarnya menoleh ke arah Adi sejenak kemudian ia tak peduli lagi setelah menatapku malas juga. "Hati-hati lo kena KDRT ntar kalo lama-lama nikah sama Adam." imbuh Adi yang membuatku merasa ngeri sekaligus. Aku mendengar Neli menggubrak alat penggorengan dan kembali menatap Adi kesal. Ia menarik napas berat lalu berjalan ke arah piring, mengambil nasi goreng yang ia buat lalu menyodorkannya ke arah Adi dengan wajah judesnya.
Aku jadi bertanya-tanya ada apa sebebarnya dengan mereka?
Adi menatap Neli kesal, ia ingin marah tapi Neli sudah buru-buru pergi dengan menyengol bahuku keras. Tak terima dengan perlakuan tak menyenangkan dari Neli, aku pun menarik tangan kirinya hingga ia berbalik dan menatapku marah.
"Lo lagi senewen?" tanyaku. Ia menepis tanganku kasar dan berlalu pergi tanpa mengucapkan kalimat apapun. Kalau saja aku tidak ingat bahwa ia tengah hamil, tentu saja aku akan membuat perhitungan dengan gadis itu.
Sampai diluar rumah kudapati Neli tengah menangis sembari menatap Adam yang pandangannya menuju mobil. Aku terlalu lama berdiri tadi hingga kehilangan momen kejadian apa yang tengah terjadi diantara Neli dan Adam. Neli menatapku benci ketika menyadariku mendekat ke arah mereka.
"Ayo!" kata Adam padaku seraya serta merta ia menarik tanganku dan menggenggamnya lembut menuju pintu sisi mobil. Aku diam saja, entah mengapa aku senang ketika melihat ekspresi Neli yang terlihat cemburu kala Adam lebih memprioritaskan aku darinya.