POV Naura
Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang kepada Adam. Ternyata alasan Adam tahu segalanya tentangku adalah karena dia kakakku telah tewas, kemungkinan besar rasa bersalah yang menggerogoti hatinya menapri kuat-kuat dalam dirinya. Jika tidak, mana mungkin ia mau menikahi gadis broken home dan miskin kayak aku?
Aku hanya dokter jaga yang gajinya tak seberapa, beda dengan Adam yang seorang ahli.
Bagaimana bisa Adam tak mengatakan apapun padaku soal masa lalu kami?
Kenapa ia sembunyikan hal itu dariku?
Apa maksud dia sebenarnya dengan memberikan mahar yang besar kepada Ayah?
Apa Ayah tahu soal mahar itu?
Jangan-jangan mahar itu ia berikan karena merasa bersalah atas kematian Kak Agung?
Pikiranku penuh hingga aku yang semula kembali ke kamar dan tak jadi pergi dengan Nadin, kini memilih menunggu Adam pulang. Aku harus bertanya padanya soal kenapa ia membohongiku. Kenapa ia tega meninggalkanku seorang diri yang hanyut hari itu?
Bagaimana bisa ia setega itu?
Roll ingatanku memutar kembali percakapanku dan Adi tadi.
Begitu keluar kamar, aku langsung melihat Adi yang tengah sibuk di dapur.
"Mau ke mana?" tanya Adi iseng.
"Jalan." jawabku datar.
"Hati-hati, ya, ntar jatuh lagi." kata Adi yang membuatku seketika berhenti dan berbalik ke arah Adi. Aku menatap lelaki itu bertanya-tanya dan heran.
"Maksud lo apaan?" tanyaku.
"Gak ada apa-apa." jawab Adi berbohong sembari mengaduk tehnya. Aku berjalan ke arah Adi. Aku masih tak mengerti dengan ucapan Adi. "Lo pasti lupa ya sama gue dan Adam." kata Adi jahil. Ia tahu bahwa aku semakin ingin tahu sesuatu hal yang disembunyikan Adi darinya.
"Ngomong yang jelas, Di!" katalu kesal. Adi sepertinya suka melihatku yang kesal dan siap marah seperti ini padanya. Dengan senyum jahil yang merekah di wajahnya, Adi mencondongkan badannya ke depan hingga aku menarik wajahku sedikit menjauh dari Adi yang mulutnya beraroma alkohol. Ia pasti mabuk.
"Di sungai, lo kepleset dan jatuh kebawa arus, Adam ninggalin lo yang tersangkut di pohon. Tapi ia gak kembali, malah abang lo yang datang dan nyelametin lo. Sayang arusnya deras, pohon yang lo dan abang lo pegang gak bisa nahan kalian berdua. Abang lo milih hanyut dan nyelametin lo." kata Adi. Napasku naik turun. Kejadian mengerikan di desa nenekku bertahun-tahun silam kembali membuka di otakku. Kejadian yang membuat ayahku menjadi kasar karena kehilangan putra pertamanya dari wanita lain selain ibuku, anak dari Dina. Aku tak tahu siapa Dina sebenarnya, baik ibu dan Ayah, mereka sama-sama bungkam.
Tubuhku bergeta setelah mendengar suara cengengesan dari Adi. Aku jadi ingat dengan kalimat-kalimat Adam yang bersyukur bahwa aku masih hidup dan sehat sekarang ini.
"Pastinya lo gak lupa sama cowok kembar yang juga lagi liburan sekolah sama kayak lo."
Iya, aku sangat ingat. Sangat ingat sekali kalau ada orang baru yang menyewa vila di desaku dan dijadikannya sebagai rencana liburan sekolah.
Aku juga ingat bahwa aku bermain dengan salah satu anak kembar itu ke sungai. Aku ingat betapa berulang kali ia bilang ke teman lelakiku yang baru di kampung agar tidak menyebrangi sungai. Tapi anak lelaki itu bandel. Apalagi anak lelaki itu mengajakku menyebrang sungai hanya demi memetik bunga matahari liar di seberang dan akan diberikan kepadaku.
Saat melewati beberapa batu, semuanya baik-baik saja, tapi ketika Adam sudah berada di tepi sungai dan aku masih harus melewati tiga batu lagi, aku menoleh ke arah Adam ragu. Dua batu besar dan satu batu kecil.
Karena keraguannya itu, aku sama sekali tidak tahu bahwa sebuah arus sungai tengah berjalan ke arahku sangat cepat.
"Naura cepat!" teriak Adam seraya mengulurkan tangannya sembari menatap kaget ke arah air besar yang menuju ke arahku. "Naura cepat!" kata Adam lagi, tapi aku yang terkejut tak bisa apa-apa, aku terlalu sibuk dengan pikiran dan kebingunganku sendiri. Aku sempat melihat Adam berusaha kembali ke arahku yang tertegun memaku.
Tapi terlambat!
Aku dihantam arus yang membuat Adam berteriak histeris saat aku hanyut.
Aku terombang ambing di sungai. Selama terbawa arus, aku terbilang cukup beruntung karena batu-batu disekitarku kecil dan tenggelam hingga aku tak perlu membenturkan diri ke batu-batu saat terbawa arus.
Kulihat Adam berlari di sepanjang tepi sungai sembari memandangku risau yang berulang kali tenggelam dan berulang kali terapung kembali, begitu seterusnya hingga aku melihat ranting yang cukup besar dan mengarahkan tanganku ke arah ranting.
"Dap!" pegangku kepada ranting itu.