Malam tak pernah benar-benar menjadi malam, atau siang tak benar-benar menjadi siang. Bagi Naura keduanya sama saja, tak berarti banyak di hidupnya. Siang malam sama-sama kelam.
Selama dua puluh satu tahun Naura hidup ia tak pernah benar-benar mengerti arti bahagia atau sedih. Yang benar-benar ia mengerti adalah rasa takut yang hampir setiap hari menemaninya.
Ia takut ketika ayahnya pulang ke rumah.
Ia takut ibunya jadi bulanan pukulan ayahnya.
Ia takut ketahuan ayahnya ketika bersembunyi di bawah kolong meja makan, kolong tempat tidur atau dalam lemari.
Ia takut ayahnya memukulnya.
Ia takut ibunya bersedih ketika ia pergi dari rumah, karena siapa lagi yang dimiliki ibunya selain dirinya?
Tidak ada.
Naura tak tahu harus bagaimana lagi. Ia sudah lelah berteriak dalam gudang. Ayahnya tak akan membukakan pintu untuknya sampai sore nanti, sampai pernikahannya benar-benar digelar.
Menikah dengan pria yang tak ia kenal?
Menikah dengan pria yang tak ia cintai?
Naura menangis lagi. Kali ini semakin dalam dan terisak, seolah-olah hidup baginya benar-benar sia-sia. Ia ingin mati saja. Atau kenapa ia tak berpenyakitan dan langsung mati? Kenapa tubuhnya kuat sekali menerima tinjuan Ayahnya.
"Naura! Naura!" suara ringan seseorang berbisik di jendela. "Naura!Naura! Sini!" bisik suara itu lagi.
Naura beringsut mundur karena merasa takut...
"Ini gue... Nadin!" bisik suara itu lagi.
Naura buru-buru menghampiri arah suara itu...
"Nadin... Nadin... Lo bisa denger gue?" tanya Naura cemas. Ia rasa dindingnya kedap suara, nyatanya tidak.
"Cowok yang bakalan lo nikahin itu namanya Adam!" kata Nadin.
"Kok lo tahu?"
"Tadi bokap lo ke rumah pak Rt buat bilang bahwa lo bakalan nikah sore ini di masjid seberang rumah gue..."
"Ya Allah..."
"Hah? Tumben lo nyebut. Biasanya lo gak pernah kek gini"
"Eh... Gini nie gue muslim, Din."
"Maksud lo?"
"Ya gue muslim..."
"Ya emang lo mau pindah agama?" kata Nadin.
"Lo, ya! Resek banget!"
"Ha ha ha. Lagian lo sibuk melulu, gak pernah tuh lo mau gue ajak ke masjid."
"Gue udah banyak dosa kalee Din... Masuk masjid bikin gue malu, Din..."
"Lo emang makhluk paling aneh dan unik yang gue temuin di sepanjang hidup gue."
"Kok bisa?"
"Ya bisa lah..."
"Lo kesini mau ngapain, Din?"
"Gue mau nyelametin lo tapi kagak bisa. Alhasil gue cuma kaget pas ibu gue bilang lo mau nikah sama seseorang. Kenapa lo dadakan?"
"Kok ibu lo tahu?"
"Karena ada temen jauhnya yang tahu lo habis tengkar sama bokap lo dan ada malaikat pembawa uang yang nawarin bokap lo asal lo mau nikah dengannya." mendengar itu, Naura merasa dijual oleh ayahnya sendiri.
"Lo antusias banget kalau soal nikah..." kata Naura mencoba mengalihkan perhatian dan arah percakapan Nadine.
"Iyalah..." kata Nadin
"Baguslah..." kata Naura
"Kenapa bagus?" tanya Nadin heran
"Nikah itu menyempurnakan separuh agama Islam bagi orang muslim, itu yang gue tahu sih..."
"Lama-lama lo cocoknya jadi ustadzah deh, Ra dari pada jadi dokter!" kata Nadin sambil terkekeh geli.
Naura terkekeh mendengar pendapat Nadine. Tak sedikit orang yang mengatakan demikian padanya. Tapi ia yakin, sangat yakin kalau dirinya tak pantas disebut ustadzah.
"Eh, ngapain lo tadi ke mari?" tanya Naura, seolah tersadar sesuatu.
"Eh iya, hampir lupa! Lo tahu si Neli? Cewek yang di kampung sebelah?"
"Neli anaknya guru ngaji kita?"
"Iya, si Neli."
"Kenapa emang?"
"Doi bunting, Ra!"
"Kok gue gak diundang ya ke nikahannya? Apa pas gue lagi kerja?"
"Dia belum kawin!"
"Eh, busyet! Jangan asal ngomong donk!"
"Iya. Dan dia mengklaim anak di perutnya adalah anak Adam."
"Adam?" tanya Naura heran.
"Adam sapa? Kok gue gak pernah ya denger nama itu di kampung kita?" kata Naura lagi.
"Tuh cowok gak ada emang di kampung kita..." Nadine lumayan kesal karena kelambatan cara berpikir Naura. Ngapain juga dia ngasih info gak penting soal Neli saat Naura lagi dikurung?
"Trus?"
"Tuh cowok yang mau nikahin sama lo ntar sore!"
"Apa?" teriak Naura kesal.
"Jadi cowok yang bakalan nikahin gue cowok yang gak bener... Astaghfirulloh..." Naura menangis. Nadine yang mendengar kata terakhir yang diucapkan Naura itu kembali membuatnya heran dan bertanya-tanya. Sohibnya benar-benar ajaib.
"Makanya sekarang lagi rame di rumah pak RT, si Neli lagi debat sama bokap lo!"
"Debat untuk?"
"Ya rebutan si Adam, lah!"
"Selametin gue Din... Gue gak mau nikah sama Adam! Ngeri gue!"
"Hmmmmm.... Lo yakin gak mau nikah sama Adam meski dah lihat ketampanannya yang kata kaum hawa 30 persen milik Nabi Yusuf!"
"Nggak...."
"Plus soleh!"
"Kan gue gak pinter agama, jadi gak pantes buat doi."
"Gelar Master di usia 22 tahun..."
"Gue udah syukur sama hidup gue jadi dokter jaga."
"Tajir..."
"Bokap gue kurang tajir apa dulu? Rumah satu komplek dulu punya dia semua."
"Jadi lo beneran gak tertarik? Tampan, soleh, pinter dan tajir?! Ini mah paket komplit dengan diskon doi yang ngelamar lo!"
"Bodo!"
"Sapa? Lo? Emang! Dari dulu!"
"Eh! Enak aja!" terdengar tawa dari Nadin yang membuat Naura tersenyem...
"Gue cuma minta ke Tuhan kasih gue calon yang pinter tapi gak keminter, yang soleh tapi gak sombong dengan kesolehannya, yang kaya tapi gak sok kaya, yang sabar dan sayang sama gue meski gue kayak gini."
"Hmmm... Lah Adam?"
"Gue gak kenal dia Din, gue gak mau nikah sama dia bukan karena gue jual mahal, tapi gue takut hidup gue bakalan kayak mak gue..."
"Setiap keputusan tergantung dari masing2 individu itu sendiri..."
"Maksud lo?"
"Maksud gue simple banget, Ra... Kalo lo lihat hidup lo ke depannya bakalan gak baik sama Adam atau lo ngalamin apa yang lo alamin, lo masih punya keputusan buat menyudahi semuanya..."
"Gak mudah. Buktinya nyokap gue..."
"Itu karena nyokap lo nunggu cintanya yang gak berbalas dari bokap lo..." mendengar itu Naura tersenyum remeh.
"Kalau mereka gak saling cinta, kenapa mereka nikah sampai ada gue?"
"Udah lo tanya ke ibu lo? Nyokap barang kali?" Naura terlihat berpikir.
"Tanya gih, apa Ayahmu jatuh cinta sama Ibumu? Karena sejujurnya gue gak yakin..."
"Kenapa lo bisa mikir gitu?"
"Ra... Gue sohib plus sepupu lo satu-satunya, jadi sebenernya gue tahu apa yang terjadi di keluarga lo..."
"Maksud lo?" Naura bangkit dari tempatnya duduk dan menempelkan wajahnya ke dinding dingin di dekatnya. Ia memasang telinganya baik-baik, bahkan ia juga membayangkan bagaimana si Nadin ini menghela napas dan mengembuskannya yang terdengar di telinga Naura sedikit berat.
"Apa Din? Apa yang lo tahu yang gak gue tahu?"
"Sebenernya... Kematian tante Dina itu kurang lebih karena kesalahan Ibu kamu..."
"Tante Dina? Siapa tante Dina?"
"Tunangan Ayahmu sebelum ia nikah sama Ibumu..." Naura tercekat.
Naura berpikir keras, ia tak menemukan jawaban dari apapun selain siapa Dina dan apa hubungannya dengan keluarganya?
Lamunannya buyar ketika Adam masuk kembali ke kamar. Mereka saling pandang sejenak sebelum akhirnya Adam berjalan mendekat dan menatap Naura lekat-lekat. Ia tak tahu harus bagaimana menjelaskan situasi Adi dan Neli, apalagi Neli mengatakan kalau ia mencintai Adam bukan Adi.