Bab 15: Dua Orang Aneh

1028 Kata
"Tidurlah, besok pagi-pagi kita pergi dari sini." kata Adam aneh. Sangat aneh hingga aku tak menghiraukannya lagi dan memilih tidur. Bisa-bisanya aku berpikiran kepergok Adam sedang bersama Billy di atap dan dia cemburu. Bagaimana mungkin aku berpikiran ia cemburu sedangkan pernikahan kami ada karena adanya alasan dibalik itu semua. Aku tertidur sesaat setelah semua kenanganku dan Billy di atap memenuhi ruang otakku. Rasanya aku ingin sekali berlari dari pernikahan konyol ini dan memaafkan Billy. Siapa yang tahu aku akan bahagia, kan? Subuh sekali aku terbangun karena suara gemericik air. Meski mataku masih sangat berat, aku masih bisa melihat Adam keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk di bagian perut. Aku meliriknya dari sipitan kecil mataku. Kulihat ia dengan setengah kesadaranku berjalan ke arah sajadah dan sarung yang disediakan di samping lemari. Ia mengenakan sarung dan memakai baju yang semalam ia tanggalkan saat tidur. Ia menunaikan ibadah salatnya dan entah mengapa hal itu membuatku kagum kepadanya. Tak ingin terbuai oleh pemandangan itu, aku putuskan untuk kembali terpejam. Aku bangun saat dengan lembut Adam memanggil namaku. Lembut dan pelan yang sempat membuatku menggeliat manja dan tak ingin bangun. Aku akhirnya bangun karena kelembutan suara itu menggelitik di telingaku, terasa sangat geli dan menggelitik yang memaksaku membuka kedua mataku dan memandang Adam yang sedang tersenyum aneh kepadaku. "Maaf, aku membangunkanmu dengan ini." ucapnya seraya menunjukkan potongan ranting daun yang sangat tipis dan kecil di depanku. "Kita harus pulang." katanya lagi seraya berdiri dari sisi tempat tidurku. Aku bangun dan menyibak tirai. Hari masih gelap, belum ada sinar matahari sama sekali. Kualihkan pandanganku ke arah Adam yang sedang membereskan sajadah dan sarungnya. Jadi dia baru saja selesai salat? Itukan artinya aku baru saja menutup mataku kembali? Ah, sial! Menyebalkan! "Ini masih terlalu subuh, Dam... Lagian mobilnya belum selesai pastinya. " gerutuku kesal. "Bengkelnya 24 jam dan sejam yang lalu saat aku WA, mereka bilang tinggal siap kirim." kata Adam. "Kamu WA?" tanyaku tak percaya seraya melirik ke arah jam di nakas. Sejam yang lalu? Berarti dia gak tidur? Pikirku heran. Suara mesin mobil yang mendekat memasuki pekarangan rumah Rizal membuatku menoleh ke arah jendela dan menyibakkan tirai. Di sana terlihat jelas mobil Adam telah bisa digunakan dan diantar. Adam tak main-main jika ingin melakukan sesuatu, bahkan sesubuh ini. Aku meliriknya aneh, karena tak habis pikir dengan keajaiban di subuh pagi yang dibuatnya. "Aku cek ke depan dulu." kata Adam dan aku mengangguk menatapnya. Ia berjalan dengan langkahnyanya yang lebar-lebar ke arah pintu kamar dan beberapa menit kemudian aku sudah melihat Adam berbincang-bincang dengan montir. Adam mengeluarkan dompet dan membayar sejumlah uang yang membuatku sedikit melotot melihatnya, pasalnya uang tunai yang dikeluarkannya berjumlah tak sedikit dan itu rasanya luar biasa sekali. Sepertinya ia meminta layanan service nomer satu sehingga ia harus mengeluarkan sejumlah uang dalam jumlah besar. Aku keluar kamar untuk menyusul Adam. Di sana, di anak tangga kulihat Billy turun dari atas dan kami saling pandang untuk sepersekian detik. Apa ia tidur di loteng? Pikirku heran. "Sayang..." aku menoleh ke arah suara dan mendapati Adam tengah memandangku di ambang pintu. "Bisa tolong ambilkan kartu namaku di saku?" tanyanya dan aku mengangguk cepat lalu kembali ke kamar. Tunggu dulu. Dia memanggilku apa? Sayang? Hah? Aku gak salah dengar, kan? Sejak kapan? "Naura! Sayang!" panggil Adam lagi seraya sedikit berteriak. Nah, kan? Dia panggil aku sayang lagi? Sebenarnya dia kenapa dan kesambet apa sih? Pikirku heran. Setelah menemukan kartu nama yang kucari, aku bergegas keluar kamar dan Billy sudah tak ada di tangga. "Ra?" panggil Adam lagi. Aku terhenyak dan melangkah mendekatinya lalu memberikannya kartu nama miliknya. Aku berbalik kembali masuk ke dalam rumah. Ketika menuju dapur, aku mendapati Billy sedang memasak air dan menyiapkan teh hangat. Dua cangkir. Ia melihat ke arahku saat membuat teh hangat tersebut. Satu cangkir ia sodorkan ke meja ke arahku. Aku menatapnya dengan datar. "Rutinitasmu setiap pagi, kan?" tanya Billy seraya menyeruput tehnya dan duduk berlawanan denganku. Ada sedikit rasa haru dan tersanjung ketika Billy lagi-lagi ingat kebiasaanku. Apa benar yang dikatakannya semalam itu tengang rasa yang masih ia miliki kepadaku. "Ra..." lamunanku buyar ketika Adam memanggilku dan berjalan mendekat. "Mau teh? Kopi?" tanya Billy kepada Adam. Adam menggeleng. "Tahu di mana kamar Rizal? Kita mau pamit pulang." kata Adam lagi. "Dia lagi tidur di atap." kata Billy. "Di atap?" ulangku tak yakin dan Billy mengangguk. "Udah biasa dia tidur di atas." kata Billy menjelaskan. "Kalau kalian mau balik sekarang, balik aja. Ntar gue yang ngomong ke dia." "Oh gitu, ya udah, gue titip bilang makasih ya." kata Adam. "Tunggu Rizal bangun aja, Dam. Gue gak enak langsung pulang gitu aja."kataku memutuskan. Adam diam. Ada segurat mimik tak setuju yang terlihat jelas di wajahnya tapi aku memilih tak peduli dan berjalan ke arah tungku dimana Billy berada. "Sambil nunggu Rizal, aku mau masak sarapan. Adam suka nasi goreng omelet, kan?" tanyaku dan ia diam. Wajahnya masih tak setuju dengan keputusanku. Aku tak menghiraukannya lagi. "Boleh kubantuin?" tawar Billy. Aku melirik ke arah Adam sejenak dan mengangguk ke arah Billy kemudian. Aku dan Billy sibuk di dapur ketika Adam menatap kami dari meja tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. Setengah jam kemudian makanan sudah siap. Tepat ketika aku membaginya ke piring, suara langkah kaki Rizal yang menapaki tangga terdengar. "Wangi banget! Pasti lo yang masak, ya kan Ra?!" kata Rizal senang seraya bergabung duduk dengan Adam. "Pas kita koas, mereka berdua emang seksi konsumsi dan dapur, jadi gue udah hapal..." kata Rizal nyerocos aja. Ia memang suka seperti itu, lupa kondisi, tempat dan perkara. Sebelum makan, Adam memimpin doa, segera setelah berdoa, Rizal langsung memasukkan makanannya ke dalam mulutnya sembari berulang kali berdecak kagum akan masakanku dan Billy. "Kalian berdua emang cocok jadi partner di dapur!" kata Rizal asal. Aku mendelik lebar ke arahnya yang langsung membuatnya mingkem. Mataku beralih ke Adam yang tetap melanjutkan makannya namun dalam ritme yang cepat sehingga nasi di piringnya tandas seketika. "Enak. Makasih sayang." kata Adam manis seraya membawa piringnya ke wastafel dan mencucinya segera. "Aku cek mobil dulu ya sayang..." kata Adam lagi seraya berbalik dan berjalan ke luar rumah Rizal. "Sorry, Ra, nyawa gue belum utuh jadinya mulut gue ngelantur!" kata Rizal berbisik. Aku diam, kulihat Billy juga tak berkomentar apapun dan hanya fokus pada makanannya, melahapnya sangat cepat lalu seperti Adam, ia mencuci piringnya dan berlalu pergi meninggalkanku dan Rizal yang menatap ke arah Billy dengan tatapan aneh. Sebenarnya ada apa sih dengan Billy dan Adam?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN