POV NAURA
"Kenapa memberiku sejumlah uang?" tanyaku langsung. Adam menatapaku bingung, aku juga bingung dengan uang pemberiannya yang tak sedikit di depanku. Dia berdiri dan dengan wajahnya yang sangat tenang itu dia mengatakan...
"Ra... Aku kan suamimu..." katanya dengan lugas dan berlalu pergi meninggalkanku dengan uang yang jumlahnya tak sedikit itu. Rasa ragu akan menerima uang tersebut masih menyelimuti hatiku, tetapi aku juga butuh uang untuk membayar kost dan peralatan yang kubutuhkan untuk kost nanti jadi aku diam saat ia memberiku uang bulanan yang jumlahnya tak sedikit itu.
Kutatap baik-baik uang itu dan mulai menghitungnya. Jumlahnya lumayan banyak untuk ukuranku yang hanya berprofesi sebagai dokter jaga biasa, bukan seperti Adam yang sudah ahli spesialis penyakit dalam. Kuakui aku butuh uang untuk menyambung hidupku, gaji bulanku hanya menyisakan 300 ribu saja perbulan karena Ayah yang meminjam uang di bank dengan menggadaikan sertifikat rumah, jadinya aku yang harus membayar cicilannya perbulan agar rumah warisan itu tak tersita oleh bank. Jika saja aku tak mengingat bagaimana perjuangan Ibu dalam mempertahankan sekolahku saat aku kecil hingga jadi seperti sekarang ini, maka aku akan lari saja. Masa bodoh dengan semua tekanan-tekanan hidup yang aku alami.
Adam kembali masuk ke kamar, ia menuju kamar mandi. Lima belas menit kemudian ia keluar dengan rambutnya yang basah. Ia memandangku sejenak lalu mengambil baju takwo dan sarung yang ia kenakan begitu saja di depanku.
Sial! Dadanya bagus sekali!
Aku menelan ludah dan memalingkan wajahku darinya. Harus kuakui memang, Adam lelaki yang cukup memikat dengan tinggi proporsional, kulit yang kuning bersih, bentuk d**a idaman para wanita menyandarkan kepalanya, mata yang memesona tajam saat menatap dan senyum yang rupawan. Ah, dia pasti dokter idola para pasiennya. Bisa kulihat dengan jelas dari semua hal yang dimiliki oleh tubuhnya itu.
Kulirik sejenak ia yang salat dengan sangat khusyuk. Lagi-lagi aku merasa sangat kerdil dan entah bagaimana aku harus definisikan perasaanku saat ini melihatnya beribadah dengan sangat khusyuk itu. Aku sudah lama sekali tak salat dan ya, aku merasa banyak kekurangan jika harus bersanding dengan Adam sekarang ini. Tak pantas seperti yang Neli katakan kepadaku tempo hari.
Usai salat ia berbenah dan memandangku dengan tatapannya yang penuh tanya itu.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Nggak. Gak salat?" tanyanya padaku.
"Lagi PMS." jawabku berbohong. Ia memandangku dengan senyum kecil dan mengangguk mengerti sebelum mengganti baju kokoh nya dengan baju tidur dan berjalan ke arah sofa. Tak butuh waktu lama baginya untuk terlelap, sedangkan aku lagi-lagi bingung dengan sikapnya itu. Kupandangi uang darinya, nafkah lahir yang ia penuhi sebagai suami. Ia menyebut dirinya suami, dan ia menyebut diriku istri, ia penuhi nafkah lahirku tapi tidak nafkah batinku. Aku heran, aku bingung, aku gak ngerti maksudnya apa.
Kuputuskan untuk merebahkan diri saja sembari bermain ponsel. Aku berlayar ke kabar terkini di f*******:. Kulihat begitu banyak teman-temanku mempersiapkan acara wedding mereka. Ada yang melakukan sesi pemotretan prewedding, ada yang sedang mencari cincin pernikahan yang cocok, ada yang sedang melakukan fitting baju pengantin. Semuanya nampak bahagia dan tersenyum senang. Pernikahan yang mereka idamkan. Aku merasa iri dan cemburu, perasaan seperti itu sama sekali tak datang padaku. Aku harus menikahi seseorang tanpa cinta, terpaksa tinggal bersama orang tersebut nyatanya benar-benar membuatku tak bahagia sama sekali. Dulu, dulu sekali aku mengidamkan menikahi seorang pangeran berkuda putih yang menyelematkanku dari ayah yang kejam dan membawaku hidup bahagia di istananya. Mungkin benar adanya bahwa Adam telah melakukan hal itu padaku, menyelamatkanku dari Ayah yang melakukan tindakan kekerasan dan memerasku selama ini. Aku sempat terkesima waktu itu dengan aksi heroiknya yang datang tiba-tiba bak pangeran di bayangan masa kecilku dulu. Nyatanya semuanya sirna seketika saat aku mengetahui alasannya menikahiku juga karena terpaksa dan rasa bersalah atas kematian abangku.
Aku sadar aku memang tak hidup di negeri dongeng, dan dunia dongeng itu hanya diciptakan untuk anak-anak saja. Perempuan sepertiku tak perlu bermimpi tinggi-tinggi untuk menjadi cinderella. Bukankah tak ada dongeng di masa modern? Jadi perempuan sepertiku tak boleh bermimpi dicintai oleh pangeran seperti di negeri dongeng atau melakukan acara resepsi pernikahan yang mewah tanpa dadakan.
Aku menghela napas berat dan mencoba kembali meyakinkan diriku bahwa dunia palsu pernikahanku hanya akan bertahan selama setahun. Iya, setahun saja dan semuanya akan beres dalam setahun ini. Aku akan bebas dari jerat pernikahan palsu ini untuk selamanya. Tak ada cinta jadi tak akan ada beban sama sekali.
Sebelum Adam salat subuh, aku sudah bangun dan pergi ke dapur. Aku masak, bukan untuk sadar diri bahwa aku sekarang adalah seorang istri, melainkan aku harus hemat uang dan membuat makanan setidaknya untukku saja.
"Aromanya harum..." sapa Adi yang membuatku menoleh ke arahnya. Sejak kapan ia duduk di meja makan itu? Pikirku heran. Aku mematikan api dan menaruh wadah lauk di piring. Setelah memasak nasi dan tak kuhiraukan sama sekali ocehan Adi tentang Adam yang cenderung buruk, kulangkahkan kakiku buru-buru keluar dapur karena aku malas dengan ocehan Adi.
"Hmmm. Enak!" teriak Adi senang sembari menjilat-jilat tangannya setelah mencoba beberapa masakanku.
Ketika aku masuk ke dalam kamar kembali, tanpa sengaja Adam sedang melakukan salam di tahiyat akhirnya dan menoleh ke arahku.
Deg.
Aneh. Jantungku seketika meloncat ketika mata kami bertemu. Hawa sejuk tiba-tiba saja menyerbu tubuhku kala memandang Adam yang begitu tenang dan terasa adem sekali di mataku.
Aku berusaha menetralisir perasaan yang bagaimana datangnya itu tiba-tiba saja membuat tubuhku kembali berdesir aneh. Aku mengambil baju dan buru-buru ke kamar mandi sebelum melihat Adam kembali telanjang di depanku. Laki-laki itu aneh, ia tak punya malu sama sekali saat membuka baju di depanku, jadi aku harus antisipasi sendiri sebelum ia melakukan hal-hal yang tak diinginkan seperti itu.
Tepat ketika aku kembali ke dapur kulihat semua masakanku telah tandas tak bersisa sama sekali. Bahkan Neli baru saja selesai mencuci piring kotornya.
"Terima kasih ya masakannya, enak." kata Neli padaku. Aku hanya bisa melongo melihat ia mengatakan itu. "Tadi Adi makan banyak, aku gak enak sih mau habisin karena lihat Adam belum makan, tapi aku masih lapar, terus kupikir biasanya emang Adam gak pernah sarapan, jadi dari pada masakanmu mubazir dibuang ya kumakan dengan anakku." katanya polos dengan mengelus perutnya.
Tak bisa kubayangkan bagaimana gadis menyebalkan itu bersama suaminya tanpa malu dan sungkan tak menyisakan makanan untukku dan Adam sama sekali? Aku ingin sekali marah, tapi mengingat ia meraba-raba perutnya, jadi kutahan-tahan amarahku agar tak meledak.
"Mau makan apa?" tanya Adam yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahku sambil menatap heran meja makan yang sebelumnya penuh makanan sekarang hanya tinggal tutupnya saja di meja.
"Gue puasa!" kataku ketus. Ia mengerutkan alis.
"Bukannya lagi datang bulan?"
"Bodo!" seruku kesal seraya berjalan melewatinya dan pergi keluar rumah untuk bekerja saja.
"Kita berangkat bareng!" seru Adam seraya menyusul langkahku.