POV Naura
Lagi-lagi aku melihat Adam bisa tidur dengan nyenyak meski hanya di sofa. Aku tahu pernikahanku dan dia tanpa cinta dan hanya berlangsung setahun, tapi kenapa ia tak mengatakan apapun padaku? Sebenarnya ia menganggapku apa?
Terkadang aku bingung harus bersikap seperti apa di depannya. Kita satu kamar dan tidak menjalani aktifitas layaknya seorang suami istri semula akan menguntungkanku, tapi nyatanya aku gundah, bingung menerka-nerka bagaimana perasaannya padaku. Misal tadi saja, saat di depan Billy ia nampka cemburu kala Billy mengatakan perasaannya padaku dan ia mengajakku menginap ke hotel dengan menggandeng tanganku tanpa meminta sama sekali persetujuanku.
Aneh.
Aku sama sekali tak mengerti bagaimana harus bersikap kepada Adam, terlalu rumit. Tambah aneh jija kita dalam satu kamar tapi ia tak membicarakan sama sekali haknya padaku.
Suara dengkuran Adam membuatku semakin tak bisa tidur. Kutekuri wajahnya yang tampan itu dengan seksama. Andai saja kita dipertemukan bukan karena sebuah alasan, bukan tidak mungkin aku menyukainya, bukan?
Tetapi, karena terlalu banyaknya alasan yang ada diantara kami, rasanya jika ada cinta itu pun tak mungkin. Adam yang terlalu bungkam dan aku yang tak bisa apa-apa karena terikat.
Karena tak bisa tidur, aku memutuskan untuk turun dari ranjang dan keluar kamar. Sampai di ambang pintu aku menengok ke arah Adam yang tertidur pulas.
Aku keluar kamar dan mendapati lampu ruang tengah telah padam. Kata Rizal, di atas ada balkon taman yang menampilkan keindahan kota. Penasaran, aku naik tangga dan menuju ke atas. Sampai di sana mataku menangkap keindahan kota dengan kerlap kerlip lampu di bawah seperti bintang. Langit malam tak memunculkan bintang sama sekali, sebagai gantinya di bawah sana banyak sekali bintang bertaburan.
Angin berhembus kasar dan aku merapatkan diri dengan memeluk diriku sendiri sembari berjalan perlahan menuju tepi balkon. Saat mataku menikmati pemandangan indah dibawah sana, aku menangkap suara langkah kaki yang berjalan menuju atap sini. Aku menoleh dan mendapati Billy tengah terkejut menyadari kehadiranku.
Cukup lama kami saling pandang satu sama lain sebelum akhirnya ia memutuskan berbalik dan turun tanpa satu katapun. Aku tersenyum kecil melihatnya yang salah tingkah itu.
Kembali aku melepaskan pandanganku ke arah lapang keindahan bintang - bintang di bawah sana.
"Mau?" tawar Billy tiba-tiba yang sudah berdiri di sampingku dengan secangkir kopi di tangan kirinya yang ia sodorkan padaku. Ia menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya. Aku meraih gelas itu dan kehangatan menyertai kedua telapak tanganku.
"Aku kira lo tadi..."
"Balik gara-gara ada lo di sini?" terkanya dan aku mengangguk gak jaim. "Nggak enak ngopi sendiri, untung ada lo di sini. Gak bisa tidur?" tanyanya dan aku mengangguk.
"Kamu sendiri?" tanyaku.
"Sama. Padahal besok ada jadwal operasi." kata Billy. Aku tersenyum kecil menanggapinya dan kembali mataku dimanjakan oleh pemandangan indah di bawah sana yang membuatku kagum. "Bagus, ya?" tanya Billy dan aku tersenyum mengangguk setuju.
Hening.
Angin berhembus mengibarkan beberapa helai rambut nakalku.
"Bil... Gue...." aku sudah mau pamitan ke bawah-kembali ke kamar- ketika ia menatapku dengan tatapan sangat dalamnya. Aku terhipnotis. Sudah lama, sangat lama aku merindukan tatapannya yang seperti itu. Saat ia meninggalkanku, tatapannya juga sedalam itu, saat ia bersamaku tatapannya juga sedalam itu dan kenapa saat kami bertemu kembali ia menatapku seperti itu?
"Aku minta maaf soal waktu itu, Ra..." kata Billy pelan dan menunduk. Kembali ia mengangkat wajahnya dan memandangku sedalam samudra hingga kurasakan dadaku berdenyut-denyut. Biasanya jika sudah begini aku akan berlari memeluknya karena dadaku akan semakin sakit jika tak melakukan hal itu. Tapi kini aku tak bisa, aku terjebak perjanjian dengan Adam dan tak bisa sekenanya berlari memeluknya.
"Sudahlah Bil, ayuk kita balik ke kamar...." kataku seraya melangkah maju hendak turun dan kembali ke kamar. Saat melewatinya yang beraroma lavender, ia menarik tanganku pelan. Aku tertegun dan mendelik kaget tapi tak berani menoleh ke arahnya karena dadaku tiba-tiba debarannya semakin kuat, seolah akan loncat.
Cukup lama Billy memegang tangan kiriku yang membuatku tertegun. Perlahan ia berjalan ke depanku dan memandangku yang kaku dan menatapnya bingung.
Perlahan ia menaikkan satu tangan kanannya ke udara. Ia masih menatapku dengan matanya yang selalu bisa membuatku terbuai itu, sangat dalam dan indah.
Tepat ketika tangan kanannya sudah berada di wajahku yang dingin, aku merasa melayang di udara. Anehnya lagi, air mataku menetes saat melihat matanya juga berkaca-kaca. Perpisahan kami dulu memang tak menyiskan pertanyaan apa-apa selain kenapa Billy tiba-tiba pergi dan menghilang?
"Maafkan aku, Ra...," katanya lagi dengan linangan air mata yang sudah turun ke wajahnya. Ingin rasanya aku membalas sentuhannya tapi aku tak kuasa karena tiba-tiba saja wajah Adam terlintas begitu saja di benakku.
Aku dengan cepat melepaskan diri dari Billy dan berjalan turun ke bawah, menuruni anak tangga. Sampai di anak tangga tengah aku terperanjat karena pasalnya di bawah sana aku melihat Adam tengah memandangku. Pandangannya mengisyaratkan ia tengah menunggu turun.
Perasaan bersalah yang datangnya entah dari mana menelingkupi diriku tiba-tiba. Aku bahkan yang semula berjalan cepat , melambatkan langkah kakiku. Aku seperti istri yang ketahuan selingkuh dari suaminya.
Adam tak mengatakan apa-apa padaku saat aku baru saja sampai di anak tangga terakhir. Dia hanya memandangku sebentar lalu berbalik dan masuk ke kamar. Pria dingin itu semakin membuatku semakin merasa bersalah padanya.
Dengan hembusan napas yang berat, aku mengikutinya menuju kamar. Dia diam di depan jendela yang terbuka, membuatku sedikit kikuk jika harus tidur di ranjang yang dekat dengan jendela.
Aku menguap tapi Adam tak bergeming. Kuputuskan untuk tidur di sofa saja. Saat aku sudah duduk di sofa ia masih tak bergeming di tempatnya, saat aku berbaring pun ia masih sama, tak bergeming di tempatnya.
Ah, bodo amat!
Kuputuskan untuk menyelimuti dirimu dengan selimut dan siap-siap memejamkan mata. Saat aku sudah terpejam barulah aku mendengar pintu jendela tertutup dan ia berjalan ke arah sofa. Aku mengerutkan kening karena langkah kakinya semakin lama semakin mendekat saja. Sudah kuputuskan bahwa aku tak akan pindah tidur dan membuka mataku.
"Ra..." panggil Adam dengan suara beratnya. "Ra...." panggil Adam lagi, tapi aku tak mengubrisnya. "Kita keluar rumah ini sekarang, yuk..." kata Adam yang seketika membuatku terbangun dan kaget dibuatnya. Mataku seketika membulat menatapnya. "Aku tidak bisa tidur tenang di sini, Ra..." kata Adam.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Aku gak nyaman berada di sini."
"Karena Billy?" tebakku asal. Dia diam dan memalingkan wajahnya. "Aku di atap bersama Billy gak ngapa-ngapain kok...." kataku seolah aku takut ia mengira yang tidak-tidak. Adam menatapku dengan heran, dahinya berkerut.
"Kamu di atap sama Billy?" tanyanya kaget.
Lah? Kupikir dia cemburu mengetahui aku berdua sama Billy di atap? Kenapa aku percaya diri sekali sih ngira dia cemburu kepada Billy?
Aku merasa malu. Sangat malu hingga kulempar asal bantal ke wajah Adam dengan muka masam dan berjalan ke arah ranjang lalu memutuskan untuk tidur.
Menyebalkan!