Benar kata Ale.
"Yuk, pulang."
"Lo nungguin gue?"
Ale mengangguk. "Gimana gue mau m***m di rumah lo, kalau alamatnya aja gue gak tahu?"
Abel tercengang. "Niat banget, ya?"
"Iya."
Maka Abel memilih bungkam, ia berjalan di depan Ale. Dan begitu saja, otak cantik Abel menemukan pencerahan. Jika Abel membawa Ale ke rumahnya, bukankah ada alasan selain nilai kuis MTK-nya yang nol untuk dilaporkan kepada sang Papa? Abel juga bisa mendeklarasikan ketidaksukaannya akan kabar berita Kenzo bersama model Victoria Secret.
Ya, Abel harus membawa Ale ke rumah.
"Bel, kita jalan kaki?"
"Biasanya ada mobil jemputan, tapi sekarang gue pulang-pergi naik taksi. Jalan aja sampe ke depan."
"Gue bawa motor," kata Ale.
Abel menghentikan langkahnya. "Kenapa gak bilang dari tadi?"
***
Ale hanya merasa kasihan. Entahlah, saat mendengar Abel berteriak: bagi siapa saja yang ingin berteman dengannya, maka Abel akan mentraktirnya di mall apa pun yang mereka inginkan. Menurut Ale, ada sesuatu di balik hal itu.
Karenanya, Ale memilih mendatangi rumah Abel ketimbang pergi ke rumah Rara. Ya, Ale pikir ada yang lebih darurat daripada hubungannya. Ale bisa kapan saja ke rumah Rara, tapi hanya akan ada satu kesempatan agar Ale punya alasan untuk main ke rumah Abel.
Tanpa terasa mereka sampai. Ale mendongak. "Ini rumah lo?"
Abel melepaskan helmnya, ia mengangguk. "Yuk masuk!"
Sekarang Ale paham. Kenapa Abel bisa bertingkah seenaknya, kenapa Abel selalu ganti-ganti gaya rambut dan berniat untuk mentraktir seluruh pengunjung kantin, semua itu karena Abel orang punya. Dan Ale menyesal karena memilih singgah di sini daripada datang ke rumah Rara.
"Duduk dulu, Kak."
Ale menaikan alis matanya. Apa Abel punya kepribadian ganda? Well, gadis liar itu jadi manis jika sedang di rumahnya. Padahal, rumah itu sepi. Ale pikir tak ada faedahnya Abel bersikap sopan ketika yang tahu hanya dirinya.
"Sebentar ya," katanya.
Ale memerhatikan Abel yang berjalan semakin dalam di rumah besar ini.
Dan yang Abel lakukan adalah menghubungi seseorang lewat telepon rumahnya. Jantung Abel berdegup kencang, ia berdebar menanti panggilan itu diangkat. Dan begitu Abel mendengar suaranya, mata Abel otomatis berkaca.
"Papa …" lirih Abel.
Sekuat tenaga Abel menahan desakan air matanya. Demi menetralisir segala-galanya Abel menggigit kuat bagian dalam bibirnya.
"Ada apa?"
Itu Kenzo. Air mata Abel tumpah begitu saja.
"Abel bawa cowok ke rumah." Dengan perasaan was-was Abel menanti responsnya. "Nilai kuis MTK Abel juga nol, Abel gak ngisi soalnya."
Hening. Abel tak mendengar apa pun selain suara bising kendaraan.
"Katanya, cowok itu mau berbuat m***m sama Abel. Kebetulan, di rumah Abel selalu sendiri."
"Terus kenapa?"
Abel tertegun.
"Pengasuh Abel mana?"
Apakah tak sedikit pun papanya peduli tentang dirinya?
"Pa, Abel bawa cowok. Rambut Abel warna-warni, Abel juga ngerokok." Meskipun Abel tahu berbohong itu dosa. Abel tetap melebih-lebihkan keburukannya. "Papa gak lihat postingan media sosial Abel?"
"Papa sibuk."
"Tapi, Pa--"
"Gak ada waktu buat ngurusin kamu, Papa udah ngasih pengasuh dan nyekolahin kamu di bawah pengawasan Kakek. Masih kurang juga?"
"Pa--"
"Ya, nanti Papa tambah bodyguard biar gak ada cowok yang m***m sama Abel."
Bukan itu yang ingin Abel dengar. Terpaksa Abel menahan kuat-kuat isak tangisnya. Abel takut Ale mendengar, tangan Abel bergetar. Sebab berikutnya, papa mengatakan, "Kalo dapet soal diisi, kamu nyuruh Papa buat nyogok pihak sekolah biar naikin kamu ke kelas dua apa gimana?"
Oke sip. Abel tak kuat. Ia langsung mematikan sambungan teleponnya. Menghapus air mata yang jatuh tiada habisnya, Abel menarik ulur napasnya berulang kali.
Abel mengerjap, tapi air mata itu tetap tumpah. Sampai akhirnya Abel terisak. Dan Abel tidak tahu, kalau sejak tadi Ale berdiri memerhatikan di sudut ruangan.
Setelah dirasa tenang, Abel memilih membasuh wajahnya terlebih dahulu sebelum menemui Ale di ruang tamu. Lalu ia terpaksa mengeluarkan keahliannya dalam bidang tata rias, Abel memoles wajahnya begitu detail hingga tak terlihat habis menangis.
Lalu, Abel menemukan Ale yang berdiri di dekat lemari kaca.
"Nunggu lama, ya?"
Sejenak memerhatikan wajah Abel, Ale mengerti, makeup yang selalu Abel gunakan hanya untuk menutupi berbagai ekspresi yang dia pendam sendirian.
"Gue ada sesuatu buat lo," kata Ale.
"Apa? Semacam touch-touch manja atau service hisap?"
Ale berdecak, "Lo dewasa sebelum waktunya."
"Kalo gak gitu, bukan Abel namanya."
"Asal lo bahagia," nyinyir Ale. Kemudian tanpa banyak bicara, Ale menarik tangan Abel dan mengajaknya untuk pergi dari sini.
Ale akan tunjukan sesuatu yang tak pernah ia tunjukan kepada orang lain.
***
Yaitu keluarganya.
Adalah rumahnya, kediaman makhluk-makhluk turunan Wiliam yang bernaung di sana. Ale membawa Abel ke tempat itu.
"Gubuk siapa, nih?" celetuk Abel.
Ale berdecak, "Rumah gue."
Abel membulatkan mulutnya. Karena sumpah demi apa pun, rumah Ale bagi Abel terlalu miskin.
"Kecil banget rumahnya."
Sambil berjalan di pekarangan menuju rumah itu. Ale mendengkus. "Nyesel gue bawa lo."
Dan Abel menyenggol pinggang Ale dengan sikutnya. "Jadi, apa yang mau lo tunjukin?"
Tepat sekali. Pintu rumah itu terbuka ketika Ale dan Abel ada di depannya. Seseorang yang membuka pintu mengerjap, lalu berteriak, "Mommy! Kak Ale bawa boneka barbie raksasa buat aku!"
"Andanthy, makan dulu jangan halu terus!" Teriakan seorang wanita yang terasa kelembutannya meskipun sedang memperingati anaknya.
Sangat heboh.
Abel melongo. Gadis kecil di depan matanya mencolek punggung tangan Abel menggunakan jari telunjuk.
"Wah, asli!" Mata cokelat itu berbinar. "Kak Ale dapet yang modelan gini dari mana?!"
Tak bisa dipungkiri Abel terkejut. Ia refleks mundur dan bersembunyi di balik tubuh Ale.
Andanthy mengeryit. Lalu, sosok lain datang sambil membawa sepiring nasi beserta jajaran lauknya seraya berkata, "Demi Dewa! Sejak kapan mainan Andanthy berubah jadi manusia?!"
Ale meringis. Itu ibunya. Abel semakin menenggelamkan diri di balik punggung Ale.
"Mom, please. Jangan ketularan Andanthy." Lalu Ale menarik paksa tangan Abel hingga cewek itu berposisi di sampingnya. Ale katakan, "Ini Abel, temen Ale di sekolah."
"DADDY! KAK ALE BAWA CEWEKNYA NIH!"
Benar-benar heboh sekali. Ale menatap Abel sejenak, lalu beralih pada adiknya sambil berkata, "Jangan berisik atau Kakak cium?"
"Mommy tuh, Kak Ale gak tahu diri mau cium aku di depan pacarnya!" Bibir Andanthy mengerucut.
Ale terkekeh, Abel menyaksikan semuanya. Senyuman wanita paruh baya yang menyapa Abel pun, ia saksikan.
"Maaf ya, Abel. Keluarga kami agak sinting. Apa lagi anak bungsu Tante."
"Mommy!"
"Iya, Sayang. Kenyataan itu."
"Daddy, Mommynya nakal nih!"
"Selow, nanti malem Daddy seleding Mommy kamu." Adalah vokal berat seseorang yang juga datang karena penasaran dengan kehebohan di luar.
Abel mengerjap entah yang ke berapa. Seperti menemukan kembaran Ale versi tua. Pria paruh baya itu tersenyum menyambut Abel.
"Suruh masuk dong tamunya."
"Eh, iya lupa. Masuk, Bel," kata Ale.
Sudut hati Abel tercubit. Belum pernah sekali pun ia menemukan keluarga sejenis ini, apalagi kalau dibandingkan dengan keluarganya.
"Abel mau minum apa?"
Dengan gugup Abel menjawab, "Abel suka es jeruk dengan parutan emas."
"Eh?"
Abel tersenyum. "Abel juga agak sinting, Tante," katanya entah mendapat ilham dari mana hingga seberani ini menghadapi orang baru.
Rahi alias si Eve Valleria itu tertawa. Ia merasa menemukan kembarannya versi cilik. Mereka satu server, sefrekuensi.
"Mau sekalian pake bubuk sianida gak es jeruknya?"
"Asal jangan arsenik aja, Tante."
"Oke. Wait, ya?"
Abel mengangguk. Sementara Ale menggeleng menyaksikan interaksi antara Mommy dan Abel yang ternyata sangat klop bila disatukan.
Willis pun sama, bahkan ia merasa ada yang janggal dengan kedatangan Abel ke rumahnya. Berbeda dengan si bungsu Wiliam yang tengah terkagum-kagum oleh wajah Abel yang mirip boneka, apalagi rambut Abel berwarna.
"Kakak cantik."
Abel tersentak. Andanthy mencolek rambut kepangnya. "Rambutnya bagus."
Abel tersenyum canggung.
Anthy kembali berucap, "Boleh gak aku pinjem?"
"Kebodohan semakin merajarela."
Lagi, Abel tersentak. Suara datar itu menginterupsi fokus Abel yang hanya pada Andanthy kini bergulir kepada seseorang yang baru saja datang memakai jaket hitam dan memegang ponsel di tangan.
"Oh, itu Moderaldo, adik gue. Panggil aja Aldo," ucap Ale.
Abel lieur. Ada berapa biji keluarga Ale sebenarnya?
Dan Willis berdeham, kepala keluarga itu duduk di depan Abel, lalu disusul oleh kedatangan ibu rumah tangga yang membawa beberapa gelas minuman.
"Abel anak siapa?"
Itu yang Willis tanyakan. Lalu saat Rahi membagikan minuman, Willis tersenyum ketika pembagian itu jatuh pada bagiannya. "Thanks, Love."
Rahi mencibir. Ale mendengkus. Kedua orang tuanya memang selalu pamer kemesraan.
"Aldo pamit ke kamar."
"Gak ada yang nyuruh kamu mandeg di sini," celetuk Ale. Mandeg itu sejenis stuck.
"Kakak Cantik, aku juga ke kamar, ya? Kalau kangen, nanti nyusul aja," bisik Andanthy.
Abel mengangguk. Sisa tinggal Ale, Rahi, dan Willis. Well, ini pertama kali Ale membawa teman wanita ke rumahnya.
Sekali lagi, Willis tanyakan, "Abel anak siapa?"
"Dad--"
"Kamu diem aja." Ultimatum dari Willis.
Abel tersenyum canggung, kenapa jadi gugup begini? "Abel anaknya Papa Kenzo."
Dan Willis nyaris saja encok saat mendengar satu nama itu.
Karena Abel tak mungkin berbohong kepada orang tua yang tak bersalah, kan? Meskipun papanya sendiri meminta untuk merahasiakan 'anak siapa dirinya' jika ada yang bertanya.
"Kenzo mana, ya?" Rahi juga kepo. Jiwa monyet doranya muncul di permukaan.
Ada yang aneh, pikir Ale.
"Kenzo Cahyo Kusumo, Pengusaha muda yang lagi sibuk di LA." Abel meringis. Willis tercengang. Rahi juga. Sedangkan Ale menelengkan kepalanya.
"Papa lo Pak Cahyo? Kok gak bilang, dia panutan gue." Karena Ale juga belum pernah mendengar siapa kejelasan orang tua Abel.
Tunggu dulu! Willis tahu, sangat tahu jika sobat karibnya itu sudah memiliki anak, tapi bukan bernama Abel. Dan Willis juga tahu, kalau Kenzo sedang digosipkan akan bertunangan dengan wanita LA di sana. Tapi, kapan Kenzo memiliki anak gadis sebesar ini yang diberi nama Abel?
Bahkan Rahi pun bertanya-tanya, ini ngarang atau bukan?
"Yang marganya Kusumo ada berapa, sih?" Rahi keceplosan. "Gak mungkin mantan aku yang paling badai itu, kan?"
Willis mendelik. Rahi merapatkan bibirnya.
"Emang kenapa ya, Om?" Abel jadi penasaran. Ada apa di balik marga Kusumo?
Willis tersenyum. "Om mau semedi dulu." Lalu menatap istrinya berupa peringatan karena sudah salah bicara. "Kalian ngobrol aja berdua."
Willis bangkit menarik tangan Rahi dan tak sabar ingin melahap bibir sang Istri. Ehm, juga ingin berdiskusi.
"Tamat riwayat Mommy," gumam Ale.
Abel bingung sendiri.
"Ada apa, sih?"
Ale merapatkan dudukkannya pada Abel sambil berbisik, "Jangan bilang-bilang, kalau Mommy sama Daddy suka main seleding-seledingan di ranjang."
"Hah?" Makin cengo.
Abel tak sadar bila jarak mereka sangat dekat. Dan ketika Abel menoleh, bertepatan dengan itu Ale yang juga akan berbisik sekali lagi, otomatis bibir mereka berkenalan.
***
N O T E:
s e g i n i - d u l u - l a n j u t - n a n t i - s i a n g.