TUJUH

1632 Kata
Ale terkejut, apalagi Abel. Dua insan itu serempak melotot, kemudian sama-sama mengerjap, lalu refleks mengambil jarak jauh-jauhan. Abel duduk di ujung sofa kanan sambil menatap lurus ke depan. Pun juga dengan Ale yang berposisi serupa di ujung sofa kiri. Mereka menciptakan keheningan yang mengerikan. Demi Tuhan, Abel berani sumpah jika barusan adalah kali pertama bibirnya berciuman … oh tidak! Bukan ciuman, tapi bersentuhan walau hanya beberapa detik saja. Untuk itu, Abel tercengang. Ale melirik Abel yang duduk kaku di ujung sofa. Maka, Ale berdeham. Ia katakan, "Bel, gue janji. Gue akan bertanggung jawab." Abel mengerjap part 2. Ia menoleh dan berucap, "Emangnya kalau gak sengaja touch-touch di bibir bisa hamil?" Ale kicep. Mereka berdua sama-sama menoleh, berpandangan jauh-jauhan. Karena bingung, meskipun Ale telah khatam mengenai pelajaran biologi bagian reproduksi, tetap saja Ale merasa perlu tanggung jawab. Bukankah karena berawal dari ciuman bisa berujung pada kehamilan? Hei, Mommy dan Daddynya seperti itu hingga Andanthy lahir sebagai bukti. "Gue …," Ale menggantungkan ucapannya. Tak ada yang terpikirkan lagi selain kalimat, "Maaf, gue gak tahu lo mau nengok tadi." Abel berdeham kikuk. "Ya, gue juga. Sorry, harusnya gue gak nengok." Mereka kaku bersama. Pandangan keduanya kembali ke depan. Jika Abel meremas-remas jarinya, mencurahkan kegugupan yang tiba-tiba datang. Maka berlainan dengan Ale yang mengusap-usap tengkuknya, ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Ale meremang. Atmosfer yang menegangkan, memalukan, dan mendebarkan. Ya Tuhan, apa di sudut rumah ada Dewa Cupid yang tengah bersembunyi? "Ale." Karena disebut namanya, Ale langsung menoleh. Abel meringis. "Gue pulang, ya? Udah sore." Ale bangkit. "Gue antar--" "Gak usah, gue pulang naik taksi aja." Abel memangkas, menolak dengan halus. Percayalah, wajah keduanya sama-sama merah sejak tadi. Tapi sekali lagi, mereka sama-sama mengabaikan rona kemerahan di pipi. Ale berucap, "Bel, gue yang bawa lo ke sini. Jadi, harus gue juga yang mulangin lo ke rumah." "Tapi--" "Tunggu sebentar, gue ganti baju dulu!" Sambil melesat cepat menuju kamarnya meninggalkan Abel yang menggigit bibir di ruang tamu. Abel langsung memegangi dadanya saat melihat pintu kamar Ale tertutup dan tak ada siapa pun di sana. Lalu Abel menepuk-nepuk kedua pipinya dan mengibas-ibaskan tangan seolah kepanasan. *** Ale memilih kaos hitam polos dan celana training biasa sebagai pakaian gantinya. Ia menggantungkan seragam sekolahnya di balik pintu, lalu Ale menatap cermin sesaat. Melihat wajahnya yang sungguh ingin Ale sembunyikan di kantong keresek hitam bila ia bertatapan dengan Abel. Ale merasa malu, itu yang pertama dan kenapa harus terjadi secara tidak sengaja? Well … rencananya Ale hanya akan berciuman dengan orang yang berstatus sebagai kekasihnya, lalu di kemudian hari menjadi istrinya, Ale bahkan sempat berjanji untuk tidak menyentuh wanita lebih dari gandengan tangan sebelum ia berani melamarnya. Tapi, gara-gara Abel, sekarang Ale merasa telah mengkhianati janjinya. Ale mengusap wajah, ia berdeham dan kemudian menunjukkan diri di depan Abel untuk mengantarnya pulang. "Mommy sama Daddy lo mana?" tanya Abel. "Di kamar kayaknya." "Mau pamitan." Ale menoleh ke belakang, melirik-lirik pintu kamar orang tuanya yang memang terlihat dari tempatnya berdiri. Well, rumah Ale tidak besar, tidak kecil juga, bisa dibilang sederhana. Namun, kesannya seperti orang punya. Tapi bagi Abel … tetap gubuk namanya. "Quality time Mommy sama Daddy gak bisa diganggu, mereka lagi asyik seleding." Ale menatap Abel yang mengangguk, lalu ia lanjutkan, "nanti gue sampein deh." Dan mereka berjalan keluar rumah dengan Abel di depan, Ale di belakang. Abel menunggu di pekarangan, sementara Ale sibuk menstater mesin motornya. Sampai pada akhirnya motor melaju, Ale kemudikan dan Abel dibonceng, duduk dengan tenang tanpa berpegangan. Mereka saling diam. *** Sampai pada malam hari yang hakiki, Melody hilir mudik di kamarnya, jari telunjuk yang ia gigiti bersamaan dengan tangan satunya yang memegang ponsel sedang menghubungi. Tepat sekali. Melody butuh Ale untuk menjawab panggilan teleponnya. "Melo!" Terdengar seruan dari luar, Melody refleks menyimpan ponselnya dan menghampiri sumber suara. "Iya, Pa?" balas Melody. "Ayo makan malam dulu!" katanya. Melody menuruni satu per satu anak tangga dan lalu duduk di tempatnya seperti biasa ketika keluarga mereka makan malam bersama. "Dihabisin lauknya, biar kuat menghadapi cobaan hari esok," ujar sang Papa. Lei Scarloth yang merangkap jadi ibu rumah tangga. Melody mengangguk. Di tengah acara makan malamnya, Melody bertanya, "Pa, kalau tante Nabil ke mana, ya?" Lei menyesap air dukunnya lalu menjawab, "Kenapa emang?" "Rara gak ada, Pa. Temen Melo yang sering nginap di sini. Tante Nabilnya juga gak ada. Kemarin Melo main ke rumah mereka, tapi sepi." Well, karena Lei merupakan atasan dari suaminya Nabila, dan bisa dikata hubungan Lei cukup baik dengan istri dari karyawannya. Bukankah dulu hingga sekarang Lei merupakan sobat Willis yang otomatis kenal dengan Nabila? Apalagi suami Nabila adalah salah satu karyawan terbaiknya. Tentu saja, Lei tahu ke mana perginya mereka. "Rara gak ngasih tahu? Kan Papa yang mindah tugas ayahnya Rara ke luar kota. Otomatis mereka ikut pindah ke sana." Melo bergumam, "Pantesan! Papa kok jahat, sih?" Lei mengeryit. "Papa salah apa? Naikin pangkat suami orang emang gak boleh?" "Bukan gitu, Pa." Melody menaruh sendoknya di piring. "Tapi Rara perginya gak bilang-bilang, terus gak ada kabar lagi. Kan kasihan Ale digantung," imbuhnya. "Lho, mati dong?" *** "Nggak lah!" Itu Willis. Rahi berdecak, "Ya bisa aja, kan? Anak laki-laki juga rawan kalau pulang malam." Karena si Sulung Wiliam, yaitu Ale yang baru saja datang tiga menit lalu ketika jam menunjukan pukul 7 malam. Dan saat ini, Rahi tengah mengomeli Ale karena baru pulang, apalagi sebelumnya Ale bawa anak gadis orang, takut ada yang fitnah habis main colok-colokan. Jadi, Rahi menegur anak pertamanya. "Lain kali jangan kayak gini lagi!" Tatapan Rahi tajam untuk Ale. Lalu katanya, "Mommy udah bilang, sebelum jam enam anak-anak Mommy wajib ada di rumah." Itu sudah ultimatum sejak dini. Willis yang menyimak mengerlingkan matanya seraya berucap, "Jangan terlalu dikekang, dulu aku bahkan semalaman gak pulang karena bobo di rumah anak gadis orang." Jiwa lakinya sedang membela Ale. Padahal yang demikian tidak lah baik. "Jadi Bapak ngajarinnya yang iya-iya dong, Dad! Masa Kak Ale dibolehin kayak gitu?!" Andanthy yang protes. Well, Ale tengah disidang di ruang makan. Mereka baru saja selesai makan malam bersama, acara rutin dalam sebuah keluarga Wiliam. "Princessnya Daddy, kalau bicara sama orang tua gak boleh dinaikin suaranya," tegur Willis. Andanthy mengerucutkan bibirnya sambil bilang, "Maaf, Dad. Gak lagi-lagi kok." Maka Willis mengusap sayang kepala si Bungsu. Andanthy langsung senyum, ia menyukai kemanjaan yang diberikan oleh keluarganya. "Pokoknya Mommy gak mau tahu, Sebelum jam enam harus udah nangkring di rumah!" "Iya, Mom. Maaf." Barulah Ale bersuara. Rahi melirik pada anak keduanya, "Kamu juga Aldo! Jangan ikut-ikutan Kakak kamu apalagi Daddy, mereka sesat!" Sepertinya, Willis ketularan Andanthy yang juga mengerucutkan bibirnya. Moderaldo mengangguk. Ia tak banyak bicara, tapi selalu terlaksana. Itu yang Rahi suka dan banggakan dari anak keduanya. Ngomong-ngomong, keterlambatan Ale adalah alasan mengapa Ale tak semangat dalam santapannya saat makan. Karena sepulang dari rumah Abel, Ale mengunjungi rumah sang kekasih yang ternyata sepi tak ada orangnya. Rara hilang tanpa kabar. Adalah malam hari di kediaman Alegrato Sean Wiliam. Sementara itu, apa kabar dengan malam di rumahnya Abelia? Yang pasti, tak ada interaksi antara orang satu dengan orang yang lain. Abel sendirian, di mansion besar itu Abel menikmati oksigennya tanpa rebutan. Istilahnya … Abel dinner bersama nyanyian jangkrik dan aura kunang-kunang saat malam, senyap, hanya denting sendok milik Abel yang menjadi iringan makan malam. Hingga akhirnya, Abel putuskan untuk hibernasi sampai pagi datang lagi. *** Sesuai dengan pribahasa: Tak ada gading yang tak retak. Segala sesuatu tak ada yang sempurna, pasti ada cacatnya. Mirip dengan Abelia Cahyo Kusumo, si cantik jelita yang kaya raya dengan otak cemerlang, jika saja Abel sudi untuk berpikir. Dari luar Abel terkesan tanpa cela, orang-orang selalu mengira hidup Abel itu sempurna. Sampai Abel berani membuka dua kancing teratas seragamnya dengan rambut peach and pink yang digerai serta makeup barbienya. Alasan orang-orang menilai Abel tanpa cacat, karena Abel bisa bertingkah semaunya. Itulah yang terjadi pagi ini. Suatu hari setalah hari kemarin, di sekolah. Ketika matahari terbit, pribadi nakal Abel pun bangkit. Gadis itu berangkat sekolah dengan gaya barbar. Rok abu di atas lutut, kancing kemeja putih yang dibuka, bahkan pakaian sekolah itu terkesan urakan karena seksi dan ketat bagai penggoda. Abel tak merasa bersalah karena telah bertingkah. Abel juga merasa biasa saja ketika guru-guru menegurnya, tapi lemah dalam menghukumnya. Yang menjadikan Abel berdiri di dalam ruang kesiswaan, dan mengharuskan Abel lagi-lagi berhadapan dengan Ale si turunan Wiliam. "Kayaknya lo ngajak perang mulu ya kalau di sekolah?" sindir Ale. Abel bersedekap. "Kemarin kita baik-baik aja lho, Kak." Vokalnya dibuat semerdu mungkin. Mata Ale menyipit, lalu menatap penuh cemooh pada penampilan Abel hari ini. "Gak kapok-kapok, ya?" "Lupa apa gimana? Abel kebal sama hukum," jawabannya. Ale mendengkus, ia pusing tujuh keliling. "Bisa gak, sehari aja pakai seragam yang normal, rambut hitam dan wajah natural?" Otomatis Abel menggeleng, ia justru menambah satu kancing lagi yang dibiarkan terbuka. Ale terpejam, tapi tak lama ia membuka lagi kelopaknya dan memalingkan muka. Ale duduk di kursi sambil sibuk menatap ke samping, Ale tahu Abel tengah tertawa saat ini. Maka Ale katakan, "Sekarang lo masih bisa ketawa." Sambil tatapannya beralih pada Abel. Lalu Ale lanjutkan, "But, don't mess up my lust, Bel. Lo gak tahu apa yang bakal terjadi nanti." Yang namanya Abel mana bisa serius menghadapi ancaman orang. Apa yang Ale katakan pun Abel abaikan. "Kenapa, sih? Gue cuma kepanasan, solusinya ya buka kancing baju. Salah emang?" Ale bangkit. Pijakannya memangkas jarak antara ia dengan Abel. "Lo suka sama gue?" tuding Ale. Itu sangat dadakan. Abel nyaris tersedak liurnya. "What do you mean?" Ale semakin mendekatkan diri kepada Abel yang setia di posisi. Abel masih bersedekap, berdiri di tengah ruangan dan menatap Ale menantang. Seringaian yang tak pernah Abel temukan di wajah Ale, sekarang Abel lihat itu. Yang Ale katakan, "Lo suka sama gue, makanya lo caper. Lo pengin gue perhatiin, kan?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN