Ha Ha Ha.
Suara tawa Abel membahana mengisi ruang kesiswaan yang hanya ada dirinya dan Ale.
"Lo ngomong apa tadi?"
Ale menaikkan sebelah alis matanya. "Lo caper."
"Bukan, bukan itu." Abel memegangi perutnya, ia merasa lucu. "Seganteng apa sih lo, Al, sampe gue haus perhatian dari lo?" Tawa Abel masih terdengar di sela-sela ucapannya.
Ale mendengkus, ia bersedekap sambil matanya sesekali memerhatikan dua kancing teratas seragam Abel yang terbuka, to the point saja … Ale melihat isinya. (͡° ͜ʖ ͡°)
"Ale, Ale ..." Abel menggeleng-gelengkan kepala. Lalu ia mempertegak berdirinya dan maju selangkah mendekati Ale. Ia berkata, "Tanpa gue 'mau lo perhatiin', lo sendiri udah merhatiin gue, kan?"
Skak.
Kenapa Ale merasa tertohok? Lho, kapan ya Ale tidak memerhatikan Abel sementara tugasnya adalah mengawasi, menghukum, dan membuat Abel jinak?
"Lo …," Abel menggantungkan ucapannya, ia tahu mata Ale jelalatan. Kucing mana yang nolak dikasih ikan asin? Makanya, Abel katakan, "Suka ya, sama d**a gue?"
Double skak.
Ale tersedak, tapi tidak lebay. Ia langsung berbalik membelakangi tubuh Abel.
"Kancingin seragam lo," titah Ale super datar.
"Kenapa? Lo mau ngipasin gue kalau gue lagi gerah?"
"Gue lebih tua dari lo--"
"Ya syukur deh kalau ngaku tua."
Ale merapatkan bibirnya hingga membentuk garis lurus. Ia berucap kemudian, "Harusnya lo sopan, apa lagi gue ketua kesiswaan di SMA Angkasa."
Abel mengangguk, ia pun mengancingkan seragamnya, tapi yang namanya Abel mesti ngeyel dulu, ia suka melihat orang lain jengkel karenanya, "Aduh, Al ... d**a gue sesak, lo tahu ini seragam ketat, kan? Bisa bantu ngancingin, gak?"
Meskipun aslinya, masing-masing kancing sudah masuk ke lubangnya. Abel menahan tawa mendengar suara dengkusan kasar dari pihak Ale. Cowok itu tetap diam.
"Heran gue sama laki." Abel mengibaskan rambutnya. "Tadi aja curi-curi pandang, giliran dikasih kemurahan hati malah nolak. Suka malu-malu kucing gitu, ya--wanjay! Be aja dong!" Abel tersentak saat Ale berbalik dan mendorongnya hingga jatuh ke kursi.
Tatapan Ale begitu tajam, ada secuil rasa takut dalam diri Abel, hanya secuil. Karena selebihnya Abel merasa geli, ia terbahak.
"Gila sih. Lo ganas juga ternyata," komentar Abel.
Ale merendahkan vokalnya. "Lo mau hukuman yang kayak gimana?"
"Ya gue--"
"Pulang sekolah tunggu di gerbang!" Ale menegakkan tubuhnya dan membuat jarak setelah tadi ia membungkuk dan merapat. Abel masih bersandar di kursi akibat dorongan dadakan dari Ale. "Kita kencan."
"Heh!"
"Gue tahu lo kesepian, makanya lo butuh hiburan."
"b*****t--"
"Mulai sekarang kita bikin perhitungan." Ale yang katakan, intonasinya sedatar papan. "Buat jadi cowok lo, karena gak segampang itu, jadi gue harus ngapain?"
"Gila lo!" Abel benar-benar tak paham dengan jalan pikiran Ale sekarang, oh atau mungkin Abel memang tidak pernah mengerti dengan cara bermain Ale terhadapnya.
"Ya, liat aja nanti. Sekarang, lo boleh keluar!"
"Ya siapa juga yang mau di sini lama-lama!" ketus Abel sambil beranjak dan menutup pintunya dengan kasar.
Bantingan yang dahsyat. Ale memijat pelipisnya. Ia hanya seorang lelaki kelas 12 yang diberi cobaan hidup tingkat om-om, pasalnya Ale merasa tua dua kali lipat saat dihadapkan dengan bocah nakal macam Abel.
Omongan Ale pun jadi melantur karena tak tahu harus berkata apa. Intinya, misi Ale saat ini adalah membuat Abel jatuh cinta.
Setelah semedi cukup lama, Ale menemukan pencerahan, setidaknya untuk sementara ia bernaung di SMA Angkasa: Ale wajib bin kudu membuat Abel jadi b***k cinta. Dan Ale rela menjadi Tuannya.
***
"Maju mudur, maju mundur, cantik~"
"Kedip mata biar Abel tertarik~
Mundur lagi, mundur lagi, mundur lagi~
Cantik, cantik, cantik~"
"Asiiik … tarik, Mang!"
Itulah yang Abel dapatkan ketika ia masuk ke kelasnya.
Heboh.
Rupanya sedang jam kosong. Abel melihat Banyu yang tengah bernyanyi dengan menggunakan gagang sapu sebagai pengeras suara. Lalu melihat Dean yang menabuh meja menggantikan gendang, ketua kelasnya ikut berpartisipasi dalam memeriahkan kekosongan jam pelajaran kali ini. Karena nyaris seluruh siswa di kelas itu naksir Abel.
"Bel, ayo goyang dumang!" seru Banyu.
"Boleh." Abel menaruh tasnya di kursi. "Tapi lo goyang itik, ya?"
"Say I love you dulu deh, Bel. Nanti gue gantiin Banyu!" celetuk siswa narsis lainnya. Namanya Umin, teman mainnya Baekji Banyumas. Abel mengerling. Cowok itu terkekeh. Dan Dean bernyanyi.
"Luka, luka, luka yang kau berikan,
Bertubi, tubi, tubi yang kurasakan,
Cintaku bertepuk sebelah tangan,
Tapi aku balas senyum keindahan~"
Abel tertawa, lalu semua siswa menepuk meja sambil bersiul. Dan Abel katakan, "Gue gak doyan cowok kayak lo."
"Masak aer, biar matang! Aduh, Bel. Remuk nih hati Kakang!"
Eaaak~ sorak sorai di kelas makin menjadi. Mereka tertawa, para siswa memang suka bertingkah seperti ini dan selalu Abel tanggapi. Tapi para siswi justru menatap Abel sinis.
"Giliran gue, Min!" celetuk Banyu. Umin mengangguk, yaitu siswa yang baru saja menggoda Abel dan melantunkan pantunnya.
"Abel … kata Zigas, sahabat jadi cinta itu nyata."
"Terus kenapa?" Abel duduk di atas meja.
Banyu berkata, "Gimana? Mau nyoba?"
Abel meringis. "Ayu Ting Ting juga pernah bilang, I'm single I'm happy meski begini~"
"Udah saatnya BCL bilang kecewa," tukas Dean.
Dan saat itu juga, semua tertawa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Banyu menyukai Abel, dan bukan juga rahasia pribadi bahwa Abel tak pernah menanggapi perasaan Banyu. Justru mereka menjadikan hal itu sebagai lelucon, Banyu pun tak merasa keberatan.
Kehebohan itu tidak berakhir, karena berikutnya mereka mengadakan konser di dalam kelas dengan Banyu yang nyanyi.
***
Hingga waktu begitu cepat bergulir. Bel pulang sekolah berbunyi, kelas dibubarkan.
Abel dan Banyu berjalan beriringan, mereka selalu bersama sejak MOS berlangsung, persahabatan mereka terjalin ketika Banyu ditindas kecupuannya, hingga Abel mengubahnya menjadi tampan dan cukup diincar banyak orang. Sayang, Banyu naksirnya sama Abel saja.
Kata Abel saat melihat penampilan Banyu yang berubah drastis itu, sosok Banyu bagai pangeran kodok yang telah dikecup manja oleh wanita. Ah … pokoknya, Banyu ganteng.
"Abel!"
Banyu menghentikan langkahnya, Abel juga.
"Kak Ale nungguin lo?" tanya Banyu saat melihat sosok Ale berjalan ke arahnya.
Abel mendengkus. "Dia bucin gue sekarang," bisik Abel kepada Banyu yang bertepatan dengan datangnya Ale di antara mereka.
"Yuk, pulang!" ajak Ale.
Abel mengangguk, ia tak banyak protes. "Banyu, gue duluan, ya? Next time kita balik bareng."
Yang dijawab dengan senyuman oleh Banyu dan tatapan datar dari Ale.
"Lo mau bawa gue ke mana?" Adalah hal terakhir yang Banyu dengar sepeninggalan Abel dan Ale.
***
"Bel, pegangan. Gue mau ngebut."
"Halah, bilang aja mau dipeluk." Dan Abel melingkarkan tangannya di pinggang Ale. Saat itu, Ale menunduk melihat lengan Abel sejenak.
"Bel, turun!"
"Belum juga berangkat," misuh Abel.
"Turun aja dulu."
"Ish, lo ribet." Abel berdecak, tapi nurut. Ale pun turut serta turun dari motornya.
Yang Abel lihat, cowok itu sedang membuka jaketnya. Lalu mendekat pada Abel yang sudah menduga apa yang akan Ale lakukan.
"Rok lo terlalu mini," ucap Ale sambil mengikatkan bagian lengannya ke pinggul Abel. "Tambah mini lagi pas lo duduk di motor gue."
"Lo ribet," celetuk Abel menanggapi tindakan Ale.
Lalu cowok bermata biru itu yang ... well, (Abel baru sadar kalau lensa Ale berwarna biru) mengajak Abel untuk lekas berposisi seperti semula. Duduk manis di jok motor dengan tangan berpegangan pada seragam Ale, kali ini Abel ogah-ogahan melingkari tangannya.
"Kalau jatoh gue gak mau tanggung jawab."
"Tenang aja, gue jatohnya ke hati lo kok."
Ya sudah, Ale menyalakan mesin motornya. Hingga sepersekian detik mereka meninggalkan lingkungan sekolah tanpa menghiraukan sekitar yang rupanya sejak tadi banyak sekali mata memandang dan lisan memunculkan gosip murahan.
Salah satunya adalah Mario. "Mereka jadi pacaran, ya?"
***
"Kenapa lo selalu bawa gue ke rumah lo?"
Abel turun dari motor dan merapikan rambutnya setelah diajak terbang oleh angin saat dibonceng Ale tadi.
"Kencan yang baik itu di rumah."
"Itu bukan jawaban yang tepat dari pertanyaan gue."
Ale memimpin jalan dengan Abel yang membuntutinya. Ale masuk ke dalam rumah, Abel juga. Dan saat tiba di sana, Ale mengernyit.
"Kok sepi?" tanya Abel.
Ale menyimpan tasnya di sofa, ia mengedikkan kedua bahunya. "Lo duduk aja dulu, Bel."
Abel duduk sesuai intruksi Ale, lalu pria itu datang dengan membawa minuman.
"Lo suka es jeruk, kan?"
"Gue sukanya Ale-Ale."
"Ya gue tahu, sih. Lo suka sama gue."
Abel menerima segelas air perasan jeruk dari Ale. Ia meminumnya, kebetulan sedang haus berat.
"Pede banget sih lo jadi manusia," celetuk Abel.
"Gak biasanya rumah gue sepi." Ale menyandarkan punggungnya ke sofa, ia menggumam tak mengindahkan ucapan Abel sebelumnya. "Gue laper, Bel."
Abel menoleh. "Ya terus ngapain laporan ke gue?"
"Mommy gak masak. Waktu pagi cuma sarapan roti."
"Lo curhat?"
Ale mendengkus lagi dan lagi. "Lo gak bisa masak gitu?"
"Delivery aja, sih. Atau makan di luar."
"Ya masa lo gak bisa masak?"
"Ribet."
"Cewek harus bisa masak, Bel. Mau makan apa nanti suami lo?"
"Asi."
Ale berdecak, akhirnya ia yang bertindak atas perut laparnya sendiri. Sebelum mengunjungi dapur, Ale mampir dulu ke kamarnya untuk ganti pakaian, lalu memakai celemek dan mengambil telur di kulkas.
Abel terus memerhatikan. Dan saat Ale berkutat dengan telur di wajan, Abel menyusul Ale hingga ia berdiri di samping cowok itu.
"Cuma ceplok telor doang lo pakai celemek?"
Ale meliriknya sekilas. "Biasanya Mommy kayak gini."
"Lo bisa masak gak, sih? Telornya gosong!" Abel gemas sendiri. Ia langsung mematikan kompor dan merebut spatula yang Ale pegang. Lalu Abel mengangkat telur itu dan membuangnya ke tong sampah. "Tempat bumbu biasanya Mommy lo simpan di mana?"
Tanpa banyak kata Ale mengambil apa yang Abel butuhkan.
"Ambil nasi sama telor, gih. Biar gue yang bikin bumbunya."
"Lo mau masak apa?" tanya Ale sambil membuka kulkas, mengambil dua telur, lalu menaruhnya di meja dapur. Ale pun beranjak lagi menuju ricecooker, setelah sebelumnya ia mengambil piring dan lalu memindahkan nasi ke benda ceper itu secukupnya.
"Nasi goreng telor aja. Miris gue lihat lo cuma makan telor ceplok doing," kata Abel sambil mengupas bawang, "Lo suka pedes?"
"Cabainya lima aja."
"Ulekan mana?"
"Sini, gue aja yang ngulek!" pinta Ale. Abel mengangguk.
Well, cogan ngulek, Lur!
Lalu Abel mengambil wajan yang baru, menaruhnya di kompor, menuangkan minyak secukupnya, dan menyalakan kompor itu ketika Ale selesai dengan ulekan bumbunya.
"Garem mana garem?" Satu tangan Abel menengadah meminta garam, dan yang Ale kasih justru micin. "Ih, dodol! Masa gak tahu garem?"
"Yang putih-putih, kan?"
Abel mendengkus, ia mengecilkan kompornya. Lalu Abel sendiri yang mengambil garam dan bergelut dengan masakannya.
Ale berdiri di sisi Abel, ia memerhatikan kegesitan cewek itu saat menguasai dapur. Kemudian Ale pindah posisi, ia membuka celemeknya.
Abel tersentak. Tangan Ale menyusup hingga ada di depannya.
Kata Ale, "Baju lo kotor kecipratan minyak. Ya udah telat, sih. Tapi masaknya belum beres, kan?" Sambil memakaikan celemek itu di tubuh Abel. Ale mengikat tali-talinya, posisi itu mengakibatkan sesuatu asing datang menerjang. Ale berdeham, jantungnya berdetak kencang.
Meskipun darahnya berdesir dengan hati berdebar tak keruan, Abel tetap mengusahakan agar terlihat biasa.
"Piring dong!" kata Abel demi menutupi salah tingkahnya.
Ale langsung mengambil piring dan menyerahkannya pada Abel. Maka nasi goreng talur buatan Abel yang dibantu dengan tangan ganteng Ale pun siap disajikan di atas piring cantik.
Mata Ale berbinar. "Gue gak nyangka cewek jenis lo bisa akrab sama dapur."
Sambil menaruh piring di atas meja, lalu menyiapkan air mineralnya juga, Abel mempersilakan Ale untuk mengisi perutnya. Dan Abel duduk di depan Ale yang tengah makan.
"Lo gak makan?"
"Lihat lo makan aja gue udah kenyang," jawab Abel.
Ale mengedikkan kedua bahunya tak acuh, ia berkata, "Masakan lo enak."
"Habisin."
Ale mengangguk. "Gak ada inisiatif untuk masakin bekal buat gue gitu, Bel?"
"Lo nafkahin gue aja nggak, enak banget minta dimasakin."
Seperti itu, Ale terkekeh. Ia menikmati makanannya dengan khidmat, sampai nasi goreng itu habis dan Ale menandaskan air dukunnya. Ale bersendawa.
Bukannya jijik, yang ada Abel senyum, sangat samar Abel kibarkan lengkungan manis di bibirnya.
"Sorry, perut gue merasa abis dimanjain, jadi volume sendawanya gede."
Orang ganteng mah bebas sih, batin Abel. Ia mengangguk.
Sesuatu yang Ale sebut dengan kencan, seperti itu kelanjutannya hingga Abel minta pulang, karena hari mulai petang.
***
Dan esok hari tiba begitu cepat. Merasa baru kemarin sore Abel bertemu Ale, kini mereka dipertemukan lagi di sekolah dengan jalan Abel yang memanjat pagar akibat kesiangan. Kebetulan, Abel diseret ke ruang BK dan ibu guru itu memanggil Ale untuk mengurusi catatan-catatan kriminal Abel yang membuatnya sakit kepala.
Karena hari ini penampilan Abel berbeda. Tidak lagi dengan rambut pelangi atau gaya Barbienya, melainkan cerminan dari rock and roll. Abel memakai jaket kulit hitam yang licin sekali meski hanya dilihat selewat pandang, lalu rambut panjang Abel dicat hitam dan diikat, Abel memakai topi mahal yang terlihat ada berliannya, bahkan Abel datang menggunakan motor balapnya yang ditinggal di belakang sekolah, tempat di mana Abel manjat pagar.
"Tahu kan kesalahan lo apa?"
"Gue makin cantik dari hari ke hari," jawaban yang sangat hakiki.
Ale mendengkus. Ia tak habis pikir dengan seorang Abelia Cahyo Kusumo, jika di luar sekolah Ale merasa hubungan mereka tidak sepanas ini. Yang artinya, Abel itu tipikal cewek penurut.
"Jaket, topi, kunci motor, siniin!" todong Ale.
"Enak aja! Lo ngerampok gue?!"
"Buat hari ini aja, Bel. Nurut sama gue--"
"Kemarin juga gue nurut sampe masakin lo," sergah Abel.
"Gue Ketua Kesiswaan--"
"Halah, mainnya jabatan!" Abel bersedekap, lalu ia melepas jaketnya karena Abel sedang tak ingin debat. Harinya sudah suram gara-gara semalam dapat kabar bahwa papanya mengirim seseorang sebagai bodyguard.
Ale bersedekap. Abel menaruh topi, jaket, dan kunci motornya di meja.
"Udah, kan?"
Ale menepuk-nepuk kepala Abel dengan lembut. "Gitu dong," katanya.
Abel mencibir, ia langsung pergi setelah merasa cukup untuk teguran di hari ini.
Dan ketika tiba di depan kelasnya, seorang Abelia yang tak mau repot mengetuk pintu apalagi mengucapkan salam, Abel nyelonong meninggalkan sopan santunnya.
Abel duduk di kursi lalu memandang ke depan, tak biasanya kelas sunyi saat Abel datang. Well, ternyata di depan sana ada murid baru yang mungkin sebelumnya sedang memperkenalkan diri.
Akhirnya ibu guru ucapkan, "Ayo lanjutkan perkenalannya."
Jerit histeris terdengar, karena yang berdiri di depan adalah cogan.
Katanya, "Nama saya Loey." Cowok ganteng itu tersenyum. Kelas semakin ramai. "Mohon kerjasamanya."
Dan saat itu, Abel hilang kata-kata.
***