SEMBILAN

1796 Kata
Ya. Loey, sebut saja dia Loey. Abel menatap wajah tampan itu tanpa berkedip. Karena Demi Tuhan, Abel punya rencana jahat untuk merecoki hidup orang tampan. Namun, kenapa tubuh Abel menegang? Dan kenapa Abel merasa dadanya bergemuruh kencang? Sampai pada akhirnya, tanpa terasa jam kelas telah usai. Pagi ini Abel habiskan dua jam pelajarannya sambil melamun, mengingat-ngingat wajah sang Papa yang kapan terakhir kali Abel melihatnya? Bel istirahat berbunyi pun Abel masih menatap wajah Loey, hingga akhirnya Abel tersentak. "Lo kalau suka, liatinnya biasa aja, Bel," bisik Banyu. Abel mengerjap, oh berapa lama dia menatap Loey tadi? Lagi-lagi kata Banyu, "Kak Ale manggil-manggil, lo gak denger?" Damn. "Mana Kak Ale?" Abel tengok kanan-kiri. "Gak ada tuh." Banyu berdecak. "Jadi, lo sukanya sama ketua kesiswaan atau si anak baru?" Pasalnya, yang Banyu katakan tentang Ale itu tidak benar. Mana ada Ale manggil-manggil Abel, jika Abel belum bertingkah? "Gue sukanya sama Dean, puas lo?!" gertak Abel sambil bangkit. "Kok gue?" Dean merasa ternotice. "Bel, Dean itu gak suka sama lo. Kenapa lo gak suka sama gue aja yang udah seratus persen kebenarannya?" Abel yang sedang berjalan nyaris mendekati pintu keluar pun berdecak, ia berbalik menatap Banyu sejenak. "Lo bukan tipe gue." "Emang tipe cowok kamu kayak gimana?" Loey menyeletuk. Suasana kelas makin panas. Yang semula hening hanya diisi oleh percakapan Abel dan Banyu, kini tidak lagi. Dean sebagai ketua kelas pun ikut meramaikan dengan suit-suit manjanya. Ditambah dengan bisik-bisik cantik dari lisan penggosip. Abel tertegun. Matanya bertatapan langsung dengan Loey. Lalu, Abel katakan, "Anak baru gak boleh kepo." Dan setelahnya Abel hengkang. *** "Gimana, Abel udah jinak?" Ale melirik Mario sambil berkata, "Kemaren dia masakin makanan buat gue." Rai berdecak. "Terus tadi pagi Abel masuk ruang kesiswaan lagi." Gantian Melody yang mendengkus. "Bisa gak, jangan bahas Abel dulu?" Lalu memfokuskan diri kepada Ale. "Rara gimana?" Berikutnya Marvel datang membawa sebongkah berlian yang hanya ada di dalam galeri ponselnya. "Rara tuh siapa, sih? Wujudnya kayak gimana?" celetuk Marvel yang baru saja duduk di sisi Melody. Ale tak suka mendengarnya. Walau bagaimanapun, Rara itu kekasihnya. "Dia cewek, cantik. Sobat gue sekaligus pacarnya Ale." Melody bangga. "Kenalin dong!" cetus Rai. "Cantikan mana sama Abel?" Maka Melody melemparkan biji mataharinya kepada Rai. "Lo suka sama Abel atau gimana, sih? Demen banget bahas dia!" Akibatnya Ale bangkit, gerah hati mendengarkan mereka bicara. "Gue ada urusan." Dan Ale pun berjalan meninggalkan kawasan kantin bertepatan dengan Abel yang duduk di meja kantin. Abel teriak, "Besok gue ulang tahun! Dan gue maksa kalian buat datang! Pestanya di taman kota, ya! Jam tujuh malam, jangan lupa!" Kaki Ale berhenti secara tiba-tiba. Ale mendengarnya. Tapi berikutnya, Ale sambung melangkah, menjauh dari kantin. *** Setelah memberi pengumuman di kantin, Abel melesat ke toilet pria. Karena Abel yakin, apa yang ia umumkan tadi sudah menyebar dan banyak sekali nyinyiran di akun medsos serta bisik-bisik manja para wanita. Abel membuang napasnya. Sesulit itu mencari teman perempuan, atau mungkin cara Abel salah? Maka, Abel membuka kunci layar ponsel barunya. Ia melihat banyak notif di sana, salah satunya adalah kabar pertunangan sang Papa. Oh, apakah Papanya mau datang? Besok acara ulang tahunnya yang keenam belas. Apakah beliau ingat dengan hari kelahiran anaknya? Abel mencoba menghubunginya. Sayang sekali, panggilan pertama tidak diangkat. Lalu panggilan kedua pun terabaikan, Abel coba lagi di panggilan ketiga. Kurang ajarnya dirijek. Dan ada pesan singkat dari nomor telepon papa yang berkata bahwa sosoknya sedang sibuk. Abel nyaris saja melempar ponselnya ke pintu toilet, jika seorang pria tak masuk dan melotot melihat cewek sebadai Abel bersemayam di WC pria. "ADA PENYUSUP!" Siapa lagi jika bukan Banyu? Abel berdecak, "Lo kalau mau pipis mah pipis aja, gue liatin." "ANJIR!" Banyu langsung ke luar dan berteriak, "KAK ALE!" "Banyu, lo kayak yang gak kenal gue aja!" Abel pun mengejarnya. Koridor yang mereka lalui heboh seketika. Semua orang tahu, bahwa Banyu adalah satu-satunya teman Abel. Orang yang tahan berstatus sebagai kawan dengan siswi nakal tersebut tanpa memanfaatkan. "Gue pites lo, Banyu!" Bagai Tom and Jery, mereka lari-larian di sepanjang koridor yang lengang. Hanya Banyu yang tertawa sebab ia berhasil menemukan Ale dan bersiap untuk lapor. Namun, tidak terlaksana. Begitu saja Banyu berbalik, suara jatuhnya Abel menggema. Ale pun refleks berlari menghampiri TKP. "Mau lo apa, b***h?!" teriak Abel yang murka. Ketika berlari, kaki Abel direngkas dari arah kiri. Seseorang yang sangat membenci Abel secara diam-diam. Abel berdiri, ia tidak terluka parah, hanya lututnya saja berdarah. "Kalau jalan pakai mata--" "b**o!" Abel masih murka. "Gue lari bukan jalan dan gue lari pakai kaki, sialan!" makinya. Ale sudah berdiri dalam jarak terpisah dua langkah. Ada sosok lain yang datang lebih dulu dan menarik tangan Abel sampai gadis itu berjalan tertatih mengikutinya. Ale diam memerhatikan. "Oh, si anak baru." Ale terkesiap, Banyu bergumam di sampingnya. *** "Lo bisa kena pasal karena udah nyeret cewek cantik!" Loey membawa Abel ke UKS. Lalu, Loey pun mendudukkan Abel di salah satu ranjang yang ada di sana. "Lutut kamu luka." Abel bersedekap. "Manggilnya lo-gue aja, bisa?" Loey tersenyum. "Aku obatin, ya?" "Jijik." Loey mengabaikannya, pria berseragam putih abu itu memulai aksinya. Mengambil obat luka dan plester dari kotak P3K. "Abel--" "Sok kenal lo, anjir." Entah mengapa, Abel tidak suka. Ada alasan di balik itu semua. Loey membersihkan bercak darah di kulit Abel dan memberikan obat merah ke lutut yang tergores itu. Loey katakan, "Ayah nyuruh aku buat jagain siswi yang bernama Abel." "Helow! Gue aja gak kenal sama Ayah lo!" Meskipun jengkel, Abel membiarkan Loey mengobati lukanya. "Selesai." Buru-buru Abel turun dari ranjang dan bersiap untuk pergi. Namun, Loey menahan tangannya. "Ada banyak hal yang harus kamu tahu--" "Not, Hell." Abel memangkasnya, lalu menepis cekalan tangan Loey sambil berucap, "Gue gak mau tahu." *** "Ikut gue." Karena sejak tadi, Ale berdiri menunggu Abel di depan ruang kesehatan. Begitu Abel keluar, Ale langsung menariknya dan katakan, "Ikut gue." Dua kali. "Bel masuk bentar lagi bunyi," cetus Abel. Moodnya sedang buruk. Otomatis Ale menghentikan langkahnya, sebagai murid teladan Ale tak mungkin telat masuk kelas. Sebelum bel itu berbunyi, Ale cepat-cepat menyampaikan maksudnya kepada Abel. "Motor lo gue sita, jadi lo pulang bareng gue aja. Ada yang mau gue omongin juga." "Gue sibuk. Gue bisa naik taksi." "Ini penting." "Lebih penting mana sama keluarga? Bokap gue mau datang, lo gak tahu besok gue ultah?" Abel menggigit bibirnya. Ia emosi, dan refleksnya buruk sekali. Kenapa Abel bicara seperti ini kepada Ale? "Bel--" "Please, Kak." Abel muak. Ia sudah muak dengan wajah Loey yang mirip sekali dengan papanya, Abel sangat muak dengan otaknya yang terus memikirkan siapa Loey sebenarnya? Bahkan Abel muak karena mengira-ngira jika Loey adalah anak dari sang Papa. Stop! Abel muak sampai tembus ke DNA dan Ale kedapatan imbasnya. "Hari ini gue gak akan banyak tingkah, gue capek. Jadi, lo gak perlu ngintai gue lagi." Abel menyentak kasar tangan Ale di lekukan lengannya. Air mata Abel minta tumpah. Makanya, Abel jalan cepat dan sangat lebar melangkah. Semua ini gara-gara papa! *** Sampai akhirnya pulang sekolah, dan Ale tiba di rumah. Ia menyelonjorkan kakinya di sofa ruang utama. Andanthy datang bersama barbie di tangan. "Kak Ale kasian banget, kemaren gak diajak jalan-jalan sama Daddy. Kita main ke museum ikan, lho!" Ale mengubah posisi duduknya, ia bersila dan menyuruh Andanthy untuk duduk di sampingnya. "Ih, Mommy! Kak Ale meluk aku nih!" Andanthy selalu protes bilamana Ale menyentuhnya. "Kalau Kak Abel tahu, nanti dia marah." Ale terkekeh. "Andthy kasian banget, kemaren Kakak dimasakin sama Kak Abel, lho." "Kak Abel bisa masak?" "Jagonya dia mah. Masakannya enak lagi." Mata Andanthy berbinar. "Wah, udah bisa nikah, dong?" Mereka masih duduk bersampingan dengan Ale yang memeluk adiknya. "Kita masih sekolah, Andanthy pikirannya kolot, ya?" "Enak aja! Lagian siapa bilang Kak Abel nikahnya sama Kakak? Kok kita, emangnya Kak Abel mau sama titisan gorila?" Ale berdecak, "Besok Kak Abel ulang tahun, Andthy mau datang gak ke pestanya?" "Emang boleh?" "Nggak, sih." "Kakak musnah aja deh! Sebel Andthy lihatnya." Sesederhana itu Ale tertawa. Merasa senang karena dapat menggoda adiknya. Dan seketika, kenapa Ale teringat dengan Abelia? Apa kabar jiwa raga Abel yang pulang ke rumah hanya disambut oleh udara? Hampa. Pengasuhnya pun sedang tak ada. Abel tahu kalau Kak Chen sedang sibuk entah apa. Makanya, Abel sendirian di rumah. Daripada bosan, Abel menghubungi pihak dekorasi untuk mendekor taman kota. Abel juga sudah susah payah menyewa tempat itu untuk pesta ulang tahunnya. Abel pun mendatangi tempat penyedia makanan siap saji untuk besok, camilan dan kue-kue lainnya. Abel bahkan memesan lebih dari seribu undangan untuk disebar ke teman-teman sekolahnya. Serepot itu Abel kerjakan sendiri. Abel ke sana kemari demi pestanya yang sangat berharap kalau-kalau papanya yang sibuk itu akan datang. Abel kirimkan pesan singkatnya yang berisi: Abel mau bunuh diri kalau Papa gak pulang. Karena jika tidak begitu, Abel tak akan tahu setidakpeduli apa Kenzo Cahyo Kusumo padanya. Bahkan sang Kakek pun, jarang sekali menunjukkan batang hidungnya. Abel seperti hidup dalam kukungan yang sulit dijelaskan, bernaung di dalam jeruji emas, dan bernapas di lautan kesepian. Semua itu mengerikan. *** Bukannya kebetulan. Tapi hari ini hari minggu, dan tepat sekali pesta ulang tahun Abel di hari libur. Pagi-pagi sekali Abel melihat hasil dekorasinya, setelah mengeluarkan banyak uang Abel pun takjub hingga merasa puas. "Gak berlebihan, ya?" Abel terkesiap dan menemukan Ale di sebelahnya. Pria itu baru saja selesai joging di sekitar taman kota. Keringat Ale bercucuran bak mutiara bercahaya terkena sinar mentari. Abel ingin mencomotnya dan dikantongi kalau bisa. "Gue ngundang satu sekolah kok." Ale meringis. "Lo yakin mereka datang?" "Nggak." Abel mengedikkan bahunya tak acuh. "Terus kenapa diundang?" "Makin hari, lo makin kepo sama tingkah gue ya, Al?" Ale berdecak. "Emangnya gak boleh kepo sama pacar?" Tentu saja Abel mendelik. "Sejak kapan gue setuju pacaran sama lo?" Ale nampak berpikir, ketika Ale ingat akan satu hal, meski wajahnya merona, tapi Ale tetap katakan, "Sejak bibir kita bersalaman." "Sinting." Abel memilih tinggalkan, membiarkan Ale mengejarnya. Pria berkaos putih dengan training abu-abu itu mengikuti Abel sampai tiba di mansion megahnya. "Abel--" "Pulang sana!" "Gue belum sarapan." "Minta sama Mommy lo!" "Jangan galak-galak." "ALE!" Jerit Abel merasa tak tahan dengan keabsurdan Ale pagi ini. Sebab Alegrato Sean Wiliam sudah melesat memasuki rumah Abel tanpa permisi. "Apa banget sih lo, Al! Lo jangan--" Abel mengerjap. Tubunnya menegang, kalimatnya menguap tanpa sempat Abel tuntaskan. Lagi, ternyata Abel belum siap pada kenyataan. Abel belum siap jika dihadapkan dengan seseorang yang berdiri di ruang utama, sosok yang sedang bertatapan dengan Ale anaknya Willis Wiliam. "Papa ... kapan datang?" Yaitu Kenzo Cahyo Kusumo yang menatap Ale tajam, beralih kepada putrinya di belakang pria tampan. Papanya pulang. Namun, kenapa Abel merasa tak senang? Bukankah sebelumnya Abel yang mengancam bila papanya tak datang? Sekarang … papanya ada, tapi Abel tak tahu harus bereaksi selayak apa atas anak terhadap orang tuanya. *** N O T E: NIKMATI AJA DULU.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN