11 - Ragendra Panik

1498 Kata
Bab 11 - Ragendra Panik “Baik jika itu mau Anda.” Kirana membalikkan tubuh dan melangkah dengan pasti untuk keluar dari ruangan Ragendra. Ragendra kembali meremat kertas dokumen dengan raut gelisah. Kirana membalikkan badan, dan menatap intens Ragendra. Dia berusaha menunjukan raut tenang dan tak sedih atas pemecatan dirinya. Sudut bibir Ragendra terangkat sedikit dan tipis, hingga tak akan ada yang menyadari kalau dirinya tersenyum. Dia senang, karena dia pikir Kirana akan memohon untuk tidak dipecat. “Tuan jangan lupa uang pesangonnya, saya kan dipecat. Terus saya sudah kerja dua hari meski tidak full,” ucap Kirana lantang. Ragendra mengembuskan napas kesal, ternyata dugaannya salah. BUkannya membujuk atau memohon kepada dirinya, eh malah meminta pesangon! Rasanya dia kesal sekali. “Deri transfer uang pesangon sama dia,” ucap Ragendra dingin dengan tatapan tajam kepada Deri. “Baik Tuan Gen,” sahut Deri dengan helaan napas, dia sepertinya harus mencari pengganti Kirana. Pekerjaan yang melelahkan, karena mencari yang cocok dengan Ragendra sangatlah sulit. “Terimakasih, karena saya akan terbebas dari perlakuan seenaknya anda!” ucap Kirana dengan senyuman yang tersungging. Lalu, dia keluar dari ruangan itu. Melangkahkan kaki pergi dari rumah besar itu. Dia sempat berdiri di luar rumah dan menatap pintu utama. Meski tadi bibirnya tersenyum, nyatanya dia sangat kesal dan sakit hati kepada Ragendra. Tak habis pikir apa salahnya coba? Kenapa Ragendra bisa semarah itu kepadanya? Mengembuskan nafas beberapa kali dengan jengkel. Sekarang, dia harus mencari pekerjaan lagi untuk menyambung hidup. “Dasar Tuan Muda tak berperasaan!” makinya pelan dengan bibir mengerucut karena kesal, kedua tangannya saling mengepal kuat. “Dasar aneh! Aku cuma bercanda sama Pak Deri saja, eh dia marah! Apa salahku coba!” gerutunya jengkel. “Hem,” terdengar suara seseorang berdehem. Kirana menoleh ke arah samping yang merupakan sumber suara berasal. Tampak asisten rumah tangga julid itu menghampirinya dengan tatapan sinis dan senyuman penuh ejekan. “Dipecat? Sudah kuduga, karena tak ada yang tahan lama untuk menjadi pelayan Tuan,” nyinyirnya. Kirana hanya diam menahan jengkel. “Tadi terlihat sekali kalian begitu mesra, eh sekarang malah dipecat, hahaha, kasihan sekali,” lanjutnya Julid. Mulut Kirana sudah gatal, rasanya dia ingin sekali meremas mulut nyinyir itu. Sungguh tega pikirnya, malah senang melihat penderitaan orang lain. Kirana mengangkat wajah menjadi tegak, dengan raut pongah dan sok, lalu mengatakan sesuatu yang membuat asisten rumah tangga julid itu kesal setengah mati. “Hey namamu siapa?” tanyanya malas. “Untuk apa tau namaku, kita tak akan bertemu lagi juga,” jawab asisten rumah tangga itu dengan tak suka. “Heheh, siapa bilang? Kita akan ketemu lagi nanti. Aku ini cuma mau pulang kampung dulu, jadi dikasih cuti semauku. Ya, memang segitu baiknya Tuan sama saya,” sengaja dengan nada centil, agar asisten rumah tangga itu semakin jengkel. Benar saja, dia semakin jengkel mendengar perkataan Kirana. “Dasar pembohong!” sahut asisten rumah tangga julid dengan ketus. “Sudahlah kalau tak percaya, ya palingan nanti saya adukan sama Tuan. Kalau kamu itu sudah tak sopan sama Aspri kesayangan,” ucapnya menyebalkan. Asisten rumah tangga julid itu langsung membalikkan badan dan pergi meninggalkan Kirana dengan menghentakkan kaki beberapa kali saking jengkelnya. Bahkan, Kirana masih bisa mendengar gerutuannya yang sungguh sepedas cabe setan level seratus. “Dasar w************n! Bisanya hanya menggoda majikan!” itulah kira-kira yang dikatakan asisten rumah tangga julid itu. “Sial sekali aku hari ini, sudah dipecat, dikatain bos, ditambah lagi dikatain asisten rumah tangga super Julid. Siapa sih namanya? Jadi penasaran kok bisa ya sejulid itu!” gerutunya, lalu pergi meninggalkan rumah besar itu dengan berat hati. “Hah, lebih baik aku beneran pulkam memenuhi panggilan Ibu dan Ayah,” desahnya dengan perasaan cemas. Sementara itu, Deri sudah duduk di sofa dan mulai mengirimkan uang ke rekening Kirana. Lalu, memerhatikan Ragendra yang terlihat tidak fokus dalam bekerja. Beberapa kali, Deri mengembuskan napas pelan. “Tuan nanti jam sepuluh kita ada meeting penting dengan para investor.” Deri mengingatkan. Ragendra mengangkat wajah, menatap Deri dengan tajam, dan mengembuskan napas kasar. “Kamu suka dia?” tanyanya dengan raut gusar. Deri terperangah, lalu berdiri dan menghampiri Tuannya. Dia berdiri di samping Ragendra dan mengatakan sesuatu. “Tentu saja saya suka, dia orang yang cocok untuk melayani anda saya rasa.” Ragendra menghela napas dalam-dalam. “Bukan seperti itu, tapi suka seperti pria kepada wanita,” ujar Ragendra pelan. Deri terkekeh pelan, Dia dan Ragendra memang sedekat itu. “Kalau iya bagaimana?” Ragendra menatap Deri kesal tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Deri kembali berbicara. “Kalau anda suka, kenapa memecatnya? Apa anda cemburu pada saya Tuan?” matanya menatap penuh selidik. Ragendra gelagapan, dia tampak salah tingkah. “Apa maksudmu dengan suka/’ tapi pipinya memerah. Deri memicingkan mata. “Terlihat sekali,” kekehnya. “Apanya yang terlihat?” ketus Ragendra untuk menutupi salah tingkah di depan Deri. “Terlihat sekali kalau Anda suka dengan Nona Kirana,” sahut Deri to the point, dengan sudut bibir terangkat sedikit. Ragendra semakin gelagapan, dia berdehem beberapa kali, lalu menyahuti Deri. “ Suka ngarang cerita!” ketusnya. Deri tersenyum penuh ejekan. “Kalau begitu saya ada kesempatan,” godanya. “Kamu sudah mau menikah! Masih saja mau wanita lain!” marah Ragendra, matanya sampai mendelik. Deri mengedikan bahu. “Kalau Nona Kiran mau tak masalah,’”ucapnya memprovokasi. “Deri, jangan ngaco kamu!” rasanya Ragendra makin jengkel saja, meski dia tahu kalau Deri cuma bercanda. Deri tertawa kecil. Dia dan Ragendra sudah bersama cukup lama, yaitu sejak Ragendra masih kuliah, dia sudah menemaninya. Ragendra memang sudah dipercaya memegang perusahaan oleh ayahnya. Deri bersama Ragendra pun pergi ke kantor, meski keadaan Ragendra seperti itu, tetapi dia tak pernah absen ke kantor, dia selalu bersemangat bekerja, walaupun terkadang hanya beberapa jam saja datang. Di kantor, Ragendra tetap menunjukkan sikap profesionalnya dalam bekerja sampai selesai meeting. Ruangan Ragendra “Anda tampak gelisah, apa perlu saya panggil Nona Kirana kembali?” tanya Deri, dia menatap antusias Ragendra. Tugasnya lebih ringan kalau ada Kirana. Ragendra tak langsung menjawab, dia diam seperti sedang memikirkan sesuatu. “Saya telepon ya,” ucap Deri, dia segera merogoh ponselnya. “Jangan!” gengsinya terlalu besar, dia ingin Kirana yang mengemis minta tak jadi dipecat. Deri kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Baiklah.” Beberapa hari berlalu sejak kejadian pemecatan itu. Setiap hari Ragendra uring - iringan tak karuan tanpa alasan. “Gen!” Lolita datang dengan raut ceria. “Apa!” ketus Ragendra dengan muka masam. Lolita tersentak kaget dengan respon Ragendra, ini pertama kalinya dia dibentak. Lolita yang cengeng, langsung meneteskan air mata. “Gen, kenapa kamu galak padaku? Apa salahku coba?” menyeka pipinya yang basah dengan air mata. Ragendra mengembuskan nafas pelan. “Maaf,” ujarnya. Lolita tersenyum kembali, semudah itu moodnya berubah. “Bagaimana dengan terapimu? Bukankah sekarang jadwalnya? Aku antar ya?” dengan ceria, dia berkata. Tangannya menyentuh tangan Ragendra. Ragendra menatap tangan Lolita yang bertengger di lengannya, lalu melepaskan dari tangannya. Membuat Lolita kesal dan merasa heran, biasanya tak seperti itu. “Kamu aneh, kenapa? Ada apa? Oh ya mana asisten mu yang menyebalkan itu?” Lolita teringat Kirana. Mendengar perkataan Lolita, Ragendra jadi termenung. “Kamu pecat dia?” Lolita tersenyum senang, ‘syukur’ itu yang ada dalam pikirannya. “Bukan, em tidak. Dia hanya…” Ragendra coba cari alasan. Lolita menatap penuh penasaran, matanya memicing. “Dia hanya pulang kampung, ya seperti itu,” bohong Ragendra, yang ternyata sama dengan alasan Kirana saat ditanya asisten rumah tangga julid itu. Kebetulan saat itu, asisten rumah tangga julid sedang ada di suatu pojokan karena sedang membersihkan rumah. “Jadi benar ya pulang kampung?” gumamnya, kesal. Maunya benar-benar dipecat. Lolita memonyongkan bibir, kesal. Dia juga maunya wanita itu dipecat saja. Padahal memang begitu kan? Ragendra memecatnya. “Oh ya, Aku antar kamu terapi ya? Biar cepat bisa jalan lagi,” ujar Lolita, memaksa. Ragendra mengangguk saja. Lolita tersenyum senang. Mereka pun pergi ke rumah sakit tempat biasa Ragendra terapi. Lebih dari satu jam mereka di sana, setelahnya mereka pulang. “Terimakasih sudah menemaniku, pulang lah Aku mau langsung ke kantor,” ujar Ragendra. “Iya.” Lolita memang baik dan penurut, ini hal positif yang Ragendra sukai darinya. Ragendra langsung ke kantor bersama sopir, setelah mengantar Lolita pulang. Kantor Deri memperhatikan Ragendra yang tak fokus kerja. “Saya sudah menghubungi Nona Kirana,” ujar Deri tanpa ditanya. Ragendra mendongak menatap Deri dengan mata membulat penuh antusias. “Ish kentara sekali,” gumam Deri, tersenyum tipis. “Kamu ngomong apa?” ketus Ragendra yang mendengar perkataan Deri itu. Deri tersenyum tipis. “Nona Kirana tidak ada di rumahnya sekarang, dia sedang pulang kampung. Itu informasi yang saya dapat dari tetangga dekatnya,” ujar Deri mulai menjelaskan. Ragendra menajamkan pendengarannya, tanpa mengatakan sepatah kata pun. “Dia pergi bersama seorang pria bernama …, ah saya lupa lagi. Tapi, ternyata dia bukan suaminya. Nona Kirana ibu tunggal,” lanjut Deri. Ragendra menggebrak meja. Brakk “Mereka pergi bersama! Sejak kapan? Ayo susul dia?” pekik Ragendra, yang membuat Deri melongo kaget dengan responsnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN