20 - Asalkan mau Dimadu

1554 Kata
Bab 20 - Asalkan Mau Dimadu “Kamu bercanda Gen!” pekik ayahnya dari seberang sana. “Aku serius Yah, bilang juga sama mama,” jawab Ragendra santai. “Dengan Lolita? Bukannya pernikahan itu banyak yang harus dipersiapkan?” Ayahnya masih tak percaya dengan pendengarannya. “Kami akan nikah siri dulu, setelah itu barulah memikirkan pernikahan mewah dan mengundang para relasi,” sahut Ragendra masih santai. “Kenapa seperti itu? Apa jangan-jangan dia sudah ham…brengsek kamu ya,” maki Ayahnya. “Iya, bahkan dia sudah melahirkan anak lelaki namanya Arsha, dia mirip sekali denganku,” kekeh Ragendra. “Apa! Kapan Lolita hamil? Rasanya ayah belum pernah melihat perutnya besar? Orang tuanya juga tidak pernah mengatakan apa pun? Atau jangan-jangan bukan Lolita? Siapa dia?” suara Ayahnya terdengar meninggi. “Kirana, namanya Kirana,” jawab Ragendra. Kepala Ayahnya mulai berdenyut, mendengar nama wanita yang akan dinikahi Ragendra. “Kamu gila! Kamu keterlaluan! Apa yang harus Ayah katakan kepada orang tua Lolita hah!” Ayahnya mulai meledak. “Ayah cukup tenang, santai dan datanglah kemari besok. Acaranya jam sepuluh pagi, nanti akan Deri share lokasinya, sampai jumpa besok Ayahku sayang, muach.” Tut tut tut, panggilan terputus, karena Ragendra menutup panggilan sepihak. Di rumahnya, Ayah Ragendra meremas kepala dengan gusar. “Ada apa?” tanya istrinya, yang baru keluar dari kamar mandi. Menghampiri suaminya, dan duduk di sampingnya. “Gendra mau menikah besok katanya,” jawab sang suami dengan lemas. “Apa!” sontak istrinya terkejut. Tapi sesaat kemudian, raut wajahnya tampak senang. “Ya bagus itu, dari setahun yang lalu disuruh menikah, eh selalu saja menolak. Sekarang dia mau, malah secepat ini lagi, bagus lah,” ujarnya dengan suka cita, dia pikir menikah dengan Lolita, calon menantu kesayangannya. Suaminya mendesah. “Apa Mama tahu Gendra akan menikah dengan siapa?” tanyanya. Ibu Ragendra tersenyum lebar. “Lolita lah, siapa lagi? Wanita yang dekat dengan Gendra selama ini hanya dia seorang,” jawabnya yakin. “Mama salah, Gendra akan menikah dengan wanita lain, bukan Lolita,” ujar Ayah Ragendra. “Apa!” pekiknya heboh. “Siapa? Mana mungkin? Dia selama ini menutup diri dari setiap wanita yang mendekatinya! Hanya Lolita yang mampu mendekatinya! Ah papa pasti salah,” ujarnya tak percaya. “Tapi, tadi Gendra sendiri yang bilang sama Papa tadi, wanita calon istrinya itu bahkan sudah melahirkan anak Gendra, katanya sih begitu,” tutur suaminya kembali. Istrinya menatap dengan raut terkejut. “Sudah melahirkan? Mana mungkin? Gendra selama ini sibuk bekerja, lalu kecelakaan dan tak pernah lagi keluar kecuali urusan bisnis? Wanita itu pasti mengada-ada untuk menjebak putra kita yang tampan dan kaya! Pasti dia wanita miskin yang tujuannya menguasai kekayaan Gendra semata!” ucapnya tetap tak rela, jika Ragendra akan menikah dengan wanita selain Lolita. “Tapi, Ma, kata Gendra besok dia akan menikah jam sepuluh pagi. Kita harus datang.” Suaminya berkata lagi. “Pokoknya kita datang, tapi bukan untuk merestui, ayo kita gagalkan pernikahan mereka!” ujarnya menggebu-gebu. “Kalau benar itu anak Gendra bagaimana?” tanya suaminya. Istrinya diam sejenak, sepertinya sedang berpikir. “Kita ambil anaknya, dan istrinya…em, kita suruh pergi saja. Kecuali…” ucapannya terjeda. “Kecuali?” Suaminya menatap penasaran. “Kecuali, dia mau dimadu dengan Lolita,” senyuman licik terbit dari sudut bibirnya. “Gendra tak akan mau menduakan, papa tahu benar bagaimana dia. Gendra, jika sudah menyukai sesuatu ya akan terus satu, papa rasa dia memang menyukai wanita itu, buktinya sampai bisa…ehm melahirkan anak Gendra,” sahut Ayah Ragendra. “Ah, papa sepertinya mendukung Gendra, bukannya mama,” rajuk istrinya. Sang suami jadi bingung sendiri, di sisi lain putra kesayangannya dan di lain sisi istrinya tercinta. “Di mana alamatnya?” tanya istrinya. “Tunggu, biar papa cek dulu. Sepertinya, tadi Deri sudah share lokasi dan kirim alamat lengkapnya,” jawab suaminya. Mereka pun segera mempersiapkan diri untuk pergi ke alamat yang Deri kirim. Rumah orang tua Kirana. Ragendra dan Deri pergi ke sebuah toko perhiasan, yang tempatnya lumayan jauh dari tempat tinggal Kirana. “Yang ini sepertinya cocok untuk Kirana,” ujar Ragendra dengan senyuman lebar. Dia memilih satu set perhiasan emas yang sederhana, namun elegan dan harga cukup mahal. Sebenarnya, Ragendra ingin membelikan perhiasan berlian, tapi disini tidak ada toko berlian. Deri hanya mengikuti mau Tuannya, meski dengan ragu sebenarnya. Disaat Ragendra tidak ada, Kirana sedang berdiskusi dengan kedua orang tuanya. “Ragendra sudah setuju untuk menikah denganmu, Kiran,” ujar ayahnya. “Apa? Kenapa?” Kirana menatap ayahnya gusar. “Ayah merasa, dia pria baik. Dia juga ayah Arsha,” jawab Ayahnya. “Tapi…” Kirana mengembuskan napas gusar. “Ayah sudah tahu semuanya. Ragendra sudah cerita apa yang terjadi tujuh tahun yang lalu. Kamu sungguh keterlaluan, bisa-bisanya melakukan hal terlarang itu dengan anak baru lulus SMA.” Ayahnya geleng-geleng kepala. Muka Kirana sampai memerah, kedua tangannya saling tertaut, dan jemarinya saling meremas satu sama lain. “Ayah,” gumamnya pelan. “Kamu mau mengatakan sesuatu? Apa mungkin Nak Gendra berbohong kepada Ayah? Ceritakan dalam versimu dengan jujur, ingat jangan berbohong lagi. Semuanya sudah cukup!” Ayahnya berkata dengan tegas. Kirana mengembuskan napas gusar, kemudian mulai menceritakan semua yang terjadi di masa lalu. Kedua orangtuanya, hanya bisa diam menyimak, karena ternyata ucapan Kirana dan Ragendra sama. “Jadi karena patah hati, kamu bisa berbuat seperti itu?” rasanya kesal dan mau marah, tapi kejadian itu sudah lama. “Jangan pernah pendek pikiran, pikirkan dampaknya sebelum melakukan sesuatu. Karena, kamu sendiri yang akan rugi, jika berbuat sesuatu tanpa memikirkan dampaknya di masa depan,” dengan bijaksana ayahnya menasehati. Kirana menangis sesenggukan, merasa bersalah kepada dirinya sendiri dan kedua orangtuanya. “Sekarang fokuslah untuk mengurus Arsha, dan menikahlah dengan Ragendra,” lanjut ayahnya. “Tapi, apa ayah tahu siapa dia sebenarnya?” tanya Kirana. “Yang ayah tahu, dia itu anaknya sopan dan tahu etika. Dia juga hormat sama orang tua, itu yang ayah tahu saat mulai mengenalnya, meski hanya baru dua hari saja,” ujarnya. “Iya, dia memang baik. Tapi, Aku takut keluarganya tak menerima keluarga kita,” tutur Kirana dengan gelisah. “Kenapa berkata seperti itu?” tanya Ayahnya. “Gendra, seorang pengusaha kaya. Keluarga konglomerat, sementara kita hanya orang biasa,” sahut Kirana gusar. “Begitukah?” Ayahnya sempat terdiam sejenak, ada rasa khawatir juga sebenarnya. Tapi, sesaat kemudian mulai menenangkan Kirana kembali. “Jangan buruk sangka dulu, tidak semua orang kaya angkuh dan sombong. Lihatlah Ragendra, dia begitu baik. Pasti mendapatkan didikan yang baik juga dari orang tuanya,” ucap sang Ayah. “Benar kata ayahmu Kirana, serahkan saja semuanya kepada Yang Maha Kuasa,” ucap ibunya ikut menenangkan. Ibunya, meminta bantuan kerabat dekat dan tetangga dekat untuk mempersiapkan acara besok. Ya hanya sekedar syukuran kecil-kecilan saja. Menyiapkan hidangan sederhana untuk menyambut orang tua Ragendra dan kerabat, serta tetangga dekat yang akan menghadiri ijab qobul besok. Ragendra, menyerahkan sejumlah uang untuk acara tersebut. Yang diterima kedua orang tua Kirana dengan tak enak hati. Kebetulan, rumah penghulu tak jauh dari rumah orang tua Kirana, karena masih tetangga juga. Malamnya. Kirana duduk di atas tempat tidur, sedangkan Arsha berbaring dengan pahanya sebagai bantalan. Kirana membelai lembut kepala anak itu, sesekali dia mengembuskan napas pelan. Benarkah besok dia akan menikah dengan Ragendra? Ah rasanya bagaikan mimpi. Semua ini dia rahasiakan, agar tak mengganggu hidup Ragendra. Tapi, lihatlah semuanya malah menjadi seperti ini. “Arsha, apa Arsha mau Om Ragendra menjadi Ayah Arsha?” tanyanya lembut. Kirana mengusap lembut pipi anaknya yang memar akibat kecelakaan kemarin. Dia merasa bersalah, karena tak bisa melindungi anaknya itu. “Om Gendra? Apa dia benar Ayahku Bu?” tanya Arsha yang kemudian menatap ibunya lekat. “I iya, dia ayah yang baru pulang dari jauh. Maafkan Ibu, karena merahasiakan semuanya.” Kirana mengecup kening putranya dengan sayang, ada buliran bening yang turun dari sudut matanya. “Aku tak tahu, aku senang akan punya Ayah. Tapi, Om Dimas bilang, dia yang akan menjadi ayahku. Aku suka Om Dimas, dia baik, baik sekali,” tutur Arsha dengan polosnya. Kirana terkejut mendengar perkataan Arsha. Rasanya, Dimas sudah keterlaluan karena mengatakan hal semacam itu. Arsha bisa bicara demikian, sepertinya bukan sekali dua kali saja Dimas berkata, mungkin sudah sering kali. “Arsha, jika Arsha sudah mengenal Om Gendra, pasti Arsha akan suka. Dia orangnya baik dan lucu.” Kirana berusaha menunjukkan hal baik tentang Ragendra. Dan, sampai akhirnya Arsha tertidur, Kirana terus saja menceritakan tentang Ragendra. Usai Arsha tertidur, Kirana keluar dari kamar dan duduk di saung. Tidak lama kemudian, dia mendengar suara kursi roda didorong. Dia menoleh, tampak Ragendra menghampiri, dengan kursi rodanya yang didorong Deri. Setelah sampai ke saung, Deri kembali ke teras. Dan membiarkan Kirana berdua dengan Ragendra. “Apa kamu yakin Tuan Gen?” tanya Kirana. Ragendra mendengus kesal. “ Panggil aku Gendra saja, atau sayang juga boleh,” kekehnya. Kirana memutar bola mata malas. “Yakin apa?” tanya Ragendra, matanya menatap Kirana dengan kilatan penuh cinta. Kirana yang sebelumnya menatap lurus ke depan, kini menoleh ke arah Ragendra. Mata mereka bersirobok, untuk beberapa saat saling tatap. Hingga, Kirana membuang pandangan ke arah lain, karena salah tingkah. Mukanya sampai merona. “Geer hem?” goda Ragendra. Kirana mencebik mendengar godaan Ragendra. “Yakin mau menikah denganku? Bagaimana kedua orang tua Anda? Bagaimana jika mereka tak setuju?” Kirana berkata dengan penuh kekhawatiran, Ragendra bisa merasakan itu. “Tenanglah, Kiran, sayang.” Ragendra menggenggam kedua tangan Kirana erat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN