19 - Akan Menikah

1510 Kata
Bab 19 - Akan Menikah Semua mata menuju ke arah Kirana yang berteriak. “Tidak mungkin saya menikah dengan Mas Dani, sementara saya masih istri Mas Gendra,” ucap Kirana lantang. Dia langsung berdiri dan melangkah memutari kursi roda tempat duduk Ragendra. Dan mulai memeluk leher Ragendra dari belakang. “Ekhm, dia suami saya! Maksud saya mantan suami, tapi kami mau rujuk lagi! Karena saya masih sangat cinta sama dia!” lanjut Kirana, dia berbicara sambil menahan malu. Ya, daripada menikah dengan Dani yang sombong itu, iuh jujur saja dia merasa ilfil sekali sama dia. Dani menatap Kirana kesal, dan menatap Ragendra meremehkan. “Dia mantan suami kamu? Dan kalian mau rujuk? Tidak salah, kamu lebih memilih lelaki cacat dibanding Aku?” kekehnya penuh hinaan. “Dia tidak cacat hanya sakit saja, nanti juga akan sembuh lagi!” Kirana membalas dengan nada tak kalah tingginya, sungguh dia merasa kesal sekali kepada Dani yang songong itu. Di sisi lain, Ragendra begitu bahagia mendapatkan pembelaan dari Kirana, terlebih Kirana mengatakan akan menikah dengan dirinya “Saya tidak terima kamu menolak saya demi lelaki cacat ini!” raung Dani, dia berdiri dan berkata dengan penuh kemarahan. “Dani sudahlah! Jangan merendahkan dirimu demi wanita ini! Kamu bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari dia, bahkan lebih cantik dan masih perawan!” ujar Ibunya Dani dengan emosi, dia menatap Kirana judes dan tak suka. “Maafkan kami semua Pak Ade, Bu Herni dn Nak Dani. Kirana sudah menentukan pilihannya,” ujar Pak Hadi berusaha bijaksana. Sementara itu, Deri menghampiri karena mendengar suara kegaduhan. Dia berdiri di ambang pintu dan memperhatikan semua perdebatan itu tanpa bicara. “Saya tidak akan rela meninggalkan Kirana, sebelum dia benar-benar menikah lagi! Minggu depan saya akan datang lagi ke sini dan jika kalian belum rujuk lagi, maka saya yang akan membawa penghulu kemari, dan akan menikahi Kirana!” ucap Dani yang merasa harga dirinya jatuh, karena ditolak Kirana. Masa pria sekaya dirinya, pemilik sawah setengah hektar, puluhan kambing, dan dua jongko daging di pasar, belum lagi punya lima kontrakan, kalah sama lelaki cacat! Harga dirinya seakan jatuh! Wajah Kirana memucat mendengar perkataan Dani, dasar lelaki tak tahu malu. Beruntung semuanya terlihat saat ini juga. Kalau dia benar-benar menikah dengannya, hiih. Kirana bergidik ngeri. “Kamu ini kayak nggak ada perempuan lain saja Dani, ya sudah kita pulang saja sekarang, malu lama-lama di sini,” ujar Ayahnya Dani. Ayah Dani berdiri, lalu menarik tangan anaknya mengajak pulang. “Kami pulang dulu, maaf sudah mengganggu. Dan kamu Kirana, suatu hari nanti akan menyesal sudah menolak anak kami yang sempurna ini,” ucapnya tak introspeksi diri, bagaimana karakter anaknya yang terlihat di depan mata. Ya sayang sama anak nggak gitu juga kali, sudah melihat anaknya kurang adab, eh masih saja dibela. Kirana dan keluarganya tak habis pikir. “Ingat omongan saya tadi! Minggu saya akan datang dengan penghulu! Dan kamu lelaki cacat, apa pekerjaanmu? Saya yakin kamu pengangguran, mana ada yang mau mempekerjakan lelaki cacat kayak kamu!” ejek Dani. “Cukup! Cukup kamu menghina menantu kami!” Ayah Kirana yang sedari tadi berusaha menahan diri, akhirnya angkat bicara. Dia berdiri dan menatap Dani tajam. “Silahkan pulang! Dan jika kamu ingin menghadiri pernikahan anak saya dengan Nak Ragendra silahkan datang besok, karena mereka akan menikah besok!” ujarnya yang sebenarnya hanya menggertak. Mendengar perkataan Ayah Kirana, Ragendra terkejut, tapi sesaat kemudian bibirnya berkedut samar. “Baik, besok kami akan datang untuk menghadiri acara pernikahan putri anda dengan lelaki cacat itu!” menoleh ke arah Ragendra. “Iya kami tunggu besok jam sepuluh siang!” sahut Ayah Kirana tegas. Mereka bertiga pun pergi sambil menggerutu. “Dasar tak tahu diuntung!” Setelah mereka semua pergi, Ayah Kirana duduk sambil menggusar wajahnya kasar. Deri pun masuk. “Mereka bertiga siapa? Kenapa cara berbicaranya sungguh tak beretika,” ujarnya tak suka, kemudian menghampiri Ragendra. “Anda baik-baik saja Tuan?” tanya Deri, merasa cemas. “Iya,” jawabnya pendek. “Nak Ragendra maaf, saya jadi membuat kamu jadi tameng,” desahnya merasa bersalah. “Tak apa,” Jawab Ragendra. Sedari tadi dia bersikap tenang dan tak meladeni ocehan Dani, karena ingin tahu reaksi Kirana. Ternyata, bukan hanya Kirana saja yang bereaksi membelanya, tapi juga ayahnya. Hatinya berbunga-bunga, dia syok kesenangan sudah dibela. Bibirnya tersenyum dengan pipi merah merona, apalagi saat membayangkan menjadi pengantin Kirana. Senyumnya semakin lebar. “Anda dimaki orang, tapi malah terlihat senang?” Deri jadi heran, dia menatap Ragendra aneh. “Eh, hehehe.” Ragendra malah terkekeh dengan raut malu-malu, semakin aneh di mata Deri. Kirana mengembuskan napas pelan. “Aku mau jemput dulu Arsha,” pamitnya, lalu pergi. Masih pagi, tapi sudah ada drama menghebohkan. Belum lagi saat keluar rumah ada tetangga Julid menghampiri, membuat Kirana ingin meremas mulut lemesnya itu. “Kirana, saya dengar kamu menolak Mas Dani, orang kaya dari desa sebelah itu ya? Ya ampun kamu ini sok banget sih, apalagi demi lelaki cacat itu ya, nggak habis pikir,” ujarnya dengan nada mengejek, dan bibirnya sampai keriting saat bicara. “Iya, harus bagaimana lagi. Saya cintanya sama Mas Gendra, kalau situ mau ya ambil saja tuh Mas Dani, orang terkaya di desa sebelah itu,” jawab Kirana dengan nada angkuh. Terserahlah, orang seperti itu harus dibalas dengan nyinyiran pula biar kapok! Kirana memang bukan tipe wanita lemah yang hanya bisa menangis saat diganggu. Wanita seumuran Kirana, yang masih belum menikah itu, menghentakkan kaki karena kesal, lalu pergi dengan muka cemberut sambil menggerutu. “Dasar tak tahu diuntung! Sok cantik!” “Emang aku syantik, makanya banyak yang ngantri, hehehe!” sengaja bicaranya dikeraskan supaya tetangga julidnya itu bisa mendengar. Tetangga Julid pun menoleh dengan bibir mengerat kesal. Lalu, berjalan dengan cepat karena jengkel, sungguh sial di depannya ada batu lumayan besar. Dan, kakinya tersandung, kemudian dia jatuh terjerembab dengan posisi tengkurap. “Awww,” pekiknya, dengan air mata berderai, bukan karena sakit banget. Tapi, karena malu yang luar biasa. “Hah, bwuahahaha.” Kirana sulit menahan tawa, tawanya sampai pecah cukup keras. Membuat tetangga julidnya jengkel, kemudian bangkit, lalu berlari secepat dia bisa, agar cepat sampai ke rumah. “Jangan ngetawain orang, nanti saat kamu diketawain, sakitnya baru terasa,” ujar Ibunya, sambil mencubit pelan lengan Kirana. Entah kapan ibunya datang, sungguh Kirana tak tahu “Habisnya, dia Julid banget Bu,” ujar Kirana membela diri. “Ya sudah, katanya mau jemput Arsha,” ucap ibunya, tak mau berdebat. Kirana pun segera menuju rumah adiknya, yang hanya terhalang dua rumah saja dari rumah orangtuanya. Di dalam rumah, Ayah Kirana, Ragendra, Deri dan Ibunya Kirana, duduk dengan suasana hening. “Nak Gendra, bisakah kamu membantu kami?” tanya Ayah Kirana. “Jika saya mampu, saya akan melakukannya,” jawab Ragendra, tulus. Ayah Kirana mengembuskan napas gusar. “Maukah menikah dengan Kirana besok?” ujarnya tak enak hati. “Hah.” Ragendra terperanjat kaget, dia dan Deri saling tatap. “Secepat ini?” Deri yang bertanya mewakili Ragendra. “Iya, karena besok Dani pasti datang. Tadi, Nak Gendra dengar sendiri bukan? Kalau saya bilang akan menikahkan kalian besok jam sepuluh pagi,” rasanya malu saat berbicara, tapi dia harus menekan egonya. Ragendra menatap Deri. “Yang namanya pernikahan harus tahu keluarga bukan? kalau begitu biar Tuan berbicara terlebih dahulu dengan kedua orang tuanya,” ujar Deri. “Baiklah, memang seharusnya begitu,” sahut Ayah Kirana. “Siapkan saja semuanya Pak, secara sederhana, karena semua mendadak, maka kita menikah siri dulu saja. Barulah nanti kita resmikan,” ujar Ragendra tiba-tiba membuat Deri terkejut. “Tapi Tuan?” Deri menggelengkan kepala. Ragendra memberi isyarat dengan mengangkat telapak tangannya, agar Deri tak mencegahnya. “Apa anda yakin?” ada sorot bahagia dari raut wajah Ayah Kirana. Ya, Ayah Kirana pun tak sudi jika harus menikahkan anaknya dengan lelaki seperti Dani, yang angkuhnya tidak ketulungan. “Iya saya serius, sekarang saya mohon izin dulu untuk berbicara dengan orang tua saya,” ujar Ragendra. Ayah Kirana mengangguk. “Silahkan.” Dia langsung, mengajak Deri ke dalam mobil untuk menghubungi keluarganya. Di dalam mobil. “Tuan dan nyonya tak akan menerima Nona Kirana yang hanya orang biasa,” ujar Deri mengingatkan. Ragendra mendengus. “Semua orang sama di mata Tuhan,” sahutnya malas. Deri mengembuskan napas pelan. “Apa anda yakin, Arsha anak anda? Apa anda benar-benar sudah melakukan itu tujuh tahun yang lalu?” Deri ingin memperjelas. “Iya saya pernah, dan saya yakin Arsha anak saya,” sahut Ragendra tegas. “Baiklah, silahkan berbicara dengan kedua orang tua anda,” ujar Deri tak bisa mencegah lagi kemauan Tuannya. Deri menyambungkan panggilan video dengan Ayah Ragendra. “Kamu dimana Gen? Kenapa saat ayah ke rumahmu kamu tidak ada?” tanya Ayahnya dari sambungan telepon. “Ayah ke rumah? Sekarang dimana?” Ragendra terkejut, soalnya kedua orang tuanya beberapa minggu terakhir sedang di luar negeri untuk urusan bisnis. “Sekarang Ayah dan Ibu ada di rumah kamu, kami baru pulang. Kamu di mana? Katanya pergi sama Deri, tapi bukan untuk urusan bisnis?” sahut Ayahnya yang kembali bertanya. Tapi jawaban Ragendra membuat Ayahnya terkejut. “Aku akan menikah besok, datanglah bersama ibu juga,”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN