Aku melakukannya, aku memukul boneka kayu itu sekuat tenaga menggunakan paluku. Tapi apa yang aku dapat? Palu yang kupegang itu mental menghantam dahiku.
“Arghh!!! Ini benar-benar sakit,” ucapku sambil memegang dahiku, darah terus mengalir keluar, jika diingat-ingat kembali ini adalah kali pertama dalam hidupku untuk terluka. Rasa dari darah yang mengalir keluar dari dahi hingga membasahi pipiku ini benar-benar sakit.
“Status!!!” seruku.
Health point yang tadinya penuh perlahan mulai berkurang seiring mengalirnya darah dari dahiku, aku tidak menyangka, ini akan benar-benar mirip seperti yang ada di dalam game, bedanya adalah rasa sakit yang kurasakan saat ini benar-benar nyata.
“Kau meneriakkan mantra Status? Apa yang coba kau pastikan? Apa kau melihat perbedaan dari kertas gulunganmu itu setelah kau mengalami luka yang serius?” ujar Dewa Gradiolus.
“Ya, Dewa. Setelah saya terluka, perbedaan yang terlihat di dalam kertas gulungan yang anda maksud adalah berkurangnya Health Point yang saya miliki,” jawabku.
“Apa kau mengerti jika angka tersebut terus merosot sampai ke titik nol?” tanya Dewa Gradiolus sambil sedikit mengangkat senyumnya.
“Saya mengerti, saya akan mati jika hal itu sampai terjadi. Jadi, saya ingin anda menyembuhkan saya,” kataku.
“Kau memintaku menyembuhkanmu?”
“Tidak, lebih tepatnya saya sedang memohon kepada anda,” jawabku.
Aku hanya berharap Dewa Gradiolus ini mengabulkan keinginanku, walaupun dia terlihat seperti dewa yang tidak peduli akan nasib seorang manusia, tapi dia adalah dewa yang mau bersikap adil dan mau mengerti dengan keadaan yang dialami sebuah individu.
Si4l, aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit ini, pertama kalinya dalam hidupku aku terluka, dan ini sama sekali bukanlah luka yang kecil. Dewa Gradiolus terus menatapku dan melihatku menahan rasa sakit ini, apa akhirnya dia akan membiarkanku? HP ku terus turun sampai hampir mendekati titik nol.
Ya ampun, kepalaku mulai pusing, pandanganku juga mulai kabur, detak jantungku lebih lambat daripada yang seharusnya. Jangan bercanda, bahkan aku belum sempat melihat seperti apa itu dunia lain, apakah aku harus mati disini?
Apa yang terjadi? Kenapa aku tengkurap di atas hijaunya rerumputan ini? Dalam sekejap aku kehilangan kesadaranku, apa akhirnya aku mati?
“Ichigaya Eishi, berdirilah! Apa kau dapat mendengarku?”
Suara ini? Bukankah ini suara Dewa Gradiolus, aku terkejut aku bisa mendengarnya walaupun aku sudah mati. Baiklah, setidaknya aku harus mengangkat wajahku untuk melihat apakah benar Dewa Gradiolus yang memanggilku.
Ini mengejutkanku, yang berdiri di hadapanku benar-benar Dewa Gradiolus, bahkan aku melihat boneka kayu yang sama seperti boneka kayu yang aku pukul dengan palu tadi. Bukan hanya mataku saja, sepertinya telingaku kembali berfungsi, aku mulai mendengar suara keramaian orang yang sedang membicarakanku. Aku melihat para Champion, dengan samar-samar aku mendengar apa yang dikatakan oleh mereka, disaat itulah aku sadar bahwa aku belum mati, tempat yang sedang kupijak saat ini masihlah tempat yang sama.
“Status!”
Ah... Untunglah, HP ku kembali terisi penuh, Oh! Luka di dahiku juga sudah menghilang sepenuhnya, tak ada bekas luka ataupun benjolan, kelihatannya Dewa Gradiolus telah bersedia untuk memenuhi keinginanku.
“Terimakasih, Dewa Gradiolus. Saya amat bersyukur karena anda mau membantu saya,” ucapku.
“Itu karena kau mau memohon, jadi kali ini aku membantumu,” jawab Dewa Gradiolus.
“Ichigaya Eishi, kau ambil palumu yang jatuh di rumput itu, karena selain pemiliknya, benda itu tidak akan bisa disentuh oleh siapapun, itu juga berlaku dengan senjata Champion yang lainnya,” imbuhnya.
“Baik, Dewa.”
Tidak kusangka aku masih hidup dan masih mampu berdiri, ini adalah hal yang patut disyukuri. Palu kecil ini, aku tidak menyangka kalau benda ini dapat melukaiku dengan sangat parah, senjata Champion yang nyaris membunuh pemiliknya sendiri, sungguh lucu.
Eh? Sebuah benda tajam terasa menyentuh punggungku, lalu kemudian aku terangkat ke atas, benda itu melubangi kerah bagian belakang bajuku, tau-tau aku dilemparkan begitu saja kebelakang.
“Aku paling benci jika ada orang lemah menghalangi jalanku, buang-buang waktu saja,” ujarnya dengan nada ketus sambil memperlihatkan wajah sinisnya ke arahku.
Lu Bu Seorang pria berbadan kekar dengan wajah yang menyeramkan, bahkan jika ada orang lain bertemu dengannya, mereka pasti berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum memprovokasinya. Dia mengangkatku begitu saja, seakan-akan aku adalah sebuah kantung plastik yang berterbangan di pinggir jalan.
“Kau tak apa-apa?”
Lagi-lagi suara yang tidak asing terdengar dekat di telingaku. Ah! Bukankah dia ini Sinbad. Pria tampan berperawakan orang timur tengah itu langsung mengangkatku dari tanah untuk membantuku berdiri.
“Kau harus berhati-hati agar tidak diganggu oleh orang sepertinya,” imbuh Sinbad sambal tersenyum ke arahku.
Spontan aku berterima kasih padanya dengan menundukkan kepalaku padanya, maklum… beginilah kebiasan orang jepang.
“Terimakasih sudah repot-repot membantuku, namaku… Ichigaya Eishi, salam kenal!” seruku.
“Ahaha.., Salam kenal, kawan. Namaku Sinbad, senang berkenalan denganmu,” jawab Sinbad.
Dia tersenyum bahkan tertawa dihadapanku, aku sama sekali tidak dapat melihat adanya niat buruk dari orang ini, dia memang sungguh tulus untuk membantuku, ah… ini membuatku sangat bersyukur, kupikir di dunia lain aku akan bertemu dengan orang-orang seperti Oda Nobunaga atau Lu Bu, ternyata diantara mereka juga ada Sinbad yang baik hati.
“Pukulanmu yang tadi itu sudah sangat bagus sekali, tapi saying kau tidak dapat melukai boneka kayu itu dengan benar. Padahal aku melihatnya, wajahmu saat mencoba memukul benda kayu itu sudah sangatlah serius, akupun tau kau berusaha memberikan apa yang terbaik yang bias kau berikan.”
“Meskipun dibilang begitu, aku masih gagal melakukannya. Bukannya boneka kayu itu yang kulukai, aku malah berakhir melukai kepalaku sendiri, aku sungguh menyedihkan.”
“Kawan, tak perlu berkecil hati. Setiap orang selalu memiliki kesempatan kedua untuk mengubah kenyataan pahit itu menjadi manis. Percayalah! Selama niatmu bersungguh-sungguh dalam memberikan yang terbaik, maka hasil yang baik pun akan berhasil kau raih nantinya. Jadi angkatlah kepalamu, tak usah tertunduk dan teruslah melihat ke depan,” ujar Sinbad sambil menepuk bahuku.
Dia benar-benar pria yang baik, daripada harus meledekku karena begitu lemah, dia malah menyemangatiku. Benar-benar seorang pria dengan aura positif.
“Flaming Spear!”
Suara itu? Bukankah itu Lu Bu yang tengah melepaskan mantranya. Jadi skill itu dinamakan Flaming Spear, ya? Sebuah skill yang membuat senjatanya dikelilingi oleh api yang membara, tampaknya dengan senjata itu dan juga skillnya, Lu Bu dapat memberikan demage yang sangat besar terhadap musuhnya.
Cara dia memegang tombaknya sudah seperti dia terbiasa dengan benda itu, bagaimanapun di duniaku yang sebelumnya Lu Bu dikenal sebagai seorang jendral yang luar biasa terkenal karena kemampuannya dalam bertempur, tak peduli walau lawannya seratus prajurit bersenjata sekalipun, Lu Bu akan tetap menerjangnya.
Hari ini adalah hari dimana aku menyaksikan kekuatannya itu dengan mata kepalaku sendiri, Lu Bu… dengan tombak api yang membara di tangannnya.
Sungguh pemandangan yang menakjubkan, mungkin beginilah kekuatan nyata dari seorang Ksatria. Saat aku berpikir Lu Bu akan menusukkan tombaknya ke arah boneka kayu yang telah disiapkan oleh Dewa Gradiolus dia malah melemparkan tombak berapi itu dari jarak yang lumayan jauh. Benda itu melesat bagai meteor karena tombaknya itu di selimuti oleh api, jadi tombak Lu bu benar-benar terlihat seperti sebuah meteor.
Sesaat setelah tombak itu lepas dari tangannya, boneka kayu yang tadinya berdiri kokoh kini miring, di tengah-tengahnya pun terdapat lubang yang cukup besar dengan kobaran api yang membakar sekeliling lubang itu.
“Wah… pantas saja dia begitu sombong, ternyata dia benar-benar memiliki kemampuan yang pantas untuk ia sombongkan di hadapan orang lain,” ujar Sinbad.
“Kau benar, dibandingkan denganku, serangan yang di tunjukkan olehnya seperti ribuan kali lebih kuat,” ujarku.
“Serangan yang barusan itu cukup untuk membunuh seekor monster seperti yang telah kalian lihat di awal. Seperti yang diharapkan dari seorang Champion dengan gelar.”
Dewa Gradiolus Nampak tersenyum sambil mengatakannya, tapi Lu Bu sama sekali tidak memperhatikannya, dia terus saja melangkah maju menuju tempat tombaknya mendarat. Dilihat bagaimanapun, serangan yang ia keluarkan tadi begitu dahsyat, bahkan rumput yang di lalui oleh tombak api miliknya gosong.
Ntah kenapa aku merasa iri pada Lu Bu, meskipun memiliki rasa iri pada orang yang memang sudah memiliki bakat sepertinya itu tidak masuk akal, tapi tetap saja. Sambil melihat kedua benda yang aku pegang di kedua tanganku aku berpikir, andai saja kelasku sebagai seorang Champion sama sepertinya, bisakah diriku sekeren orang itu, begitulah yang aku pikirkan.
Menjadi seorang Crafter membuatku merasa seperti menjadi Champion yang paling lemah, lagipula tugasku bukan untuk berada di medan hidup mati, tugasku berada di dalam bengkel, meniup api dan memukul besi sampai aku bosan nantinya. Ah… betapa inginya aku menjadi seorang karakter yang paling menonjol di dunia baruku nanti, jika saja aku bukan seorang Crafter.
“Apa kau memikirkan apa yang baru saja kau lihat itu? Sangat terlihat bahwa kau sedang membandingkan kemampuanmu dengan pria kasar yang barusan. Dik Eishi, semua orang itu hebat dengan kemampuan mereka masing-masing, jadi tak perlu membandingkan dirimu dengan orang lain, karna orang yang selama ini kau lihat dengan sempurna, punya kekurangannya tersendiri, hanya saja kau belum melihatnya,” ujar Sinbad sambil menepukku karena dia melihatku tengah melamun.
“Sekarang giliranku untuk mencoba kerasnya benda itu, Kawan… doakan aku berhasil,” imbuh Sinbad yang lalu melangkah pergi mendekati boneka kayu yang telah hancur itu.
Melihat seseorang maju ke tempat latihan spontan membuat Dewa Gradiolus membacakan kembali mantranya, dengan Araise… Boneka kayu yang hampir hangus menjadi abu itu kembali ke bentuknya yang semula.
Sinbad menaruh tangannya di pedang yang masih ia ikatkan di pinggulnya, nampaknya orang itu siap menarik pedang lengkung itu dari sarung pedangnya kapan saja, aku sudah menyaksikan kekuatan dari Jendral Lu Bu itu sendiri, akhirnya kali ini aku memiliki kesempatan untuk melihat seberapa kuatnya Sinbad, tentunya aku juga memiliki kesempatan melihat kuatnya pahlawan lain dari dunia lamaku, para pahlawan yang Namanya hanya muncul dalam sejarah dan cerita dongeng saja, ini benar-benar membuat jantungku berdebar.
Sinbad terus melangkah maju sambil memperlihatkan senyumnya yang mengatakan bahwa dia saat ini sedang sangat percaya diri, tangan orang itu mengepal dengan kuat sambil terus melangkah mendekati boneka kayu yang sudah ada dihadapannya, tinggal sedikit lagi sampai jangkauan tebasan pedangnya itu meraih boneka kayu itu, dan akhirnya Sinbad…
“Dia memukulnya hanya dengan tangan kosong?!!!” seruku, mulutku ternganga dan mataku melongo melihat hal itu.
Saat aku berpikir dia akan menggunakan pedangnya untuk melukai boneka kayu itu, Sinbad tanpa diduga malah menggunakan tangannya sendiri. Apa dia tidak merasa sakit memukul benda keras dengan pukulan sekuat itu? Orang itu bahkan tidak terlihat meringis sekalipun, senyumnya sama sekali tidak luntur sejak dari awal dia melangkah kesana.
Tapi apakah dia berhasil melukai benda itu? Dari sini aku tidak dapat melihat ada hal yang berubah dari boneka kayu yang telah ia pukul. Eh? Apa aku melihat serpihan kayu berjatuhan dari tempat Sinbad memukul benda itu?
“Seberapa kuat pukulan yang dimiliki oleh Sinbad?” ujarku.