Bab 27. Masih sakit hati

1013 Kata
Di dalam mobil. Hingga pulang dari kampus pun, Gladis masih tidak tahu sampai sekarang, apa yang menyebabkan sahabatnya tidak bersemangat seperti ini. Ini benar-benar bukan Abira yang Gladis kenal. Abira, terlihat berbeda. Bahkan, yang seharusnya dia bahagia mengetahui kalau rencananya kemarin berhasil, malah memberikan respon yang menurut Gladis sangat mustahil untuk dilakukan seorang Abira. Saat keluar dari ruangan, Gladis dan Abira bertemu Bu Erna di lorong menuju pintu keluar kampus. Alih-alih marah, Bu Erna justru malah menyapa Abira. Ramah pula. Gladis buru-buru menghampiri Bu Erna, mengambil tangannya, meminta maaf. Bu Erna tersenyum. "Tidak apa. Ibu yang seharusnya minta maaf, karena sudah marahin kamu." Bu Erna menatap Abira. "Ibu minta maaf, ya." Abira hanya merespon dengan tatapan matanya. Setelah meminta maaf, Bu Erna meneruskan perjalanan menuju ruangannya. Abira, saat itu, berhasil membuat Gladis merasa heran dengan tingkahnya. Di kantin, Gladis sempat bertanya pada Abira mengapa tidak bersemangat seperti itu. Abira tidak menjawab sesuai yang Gladis harapkan. Ya … Gladis bisa merasakan kalau jawaban Abira tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Abira bilang kalau dia belum sarapan pagi, makanya lemas. Padahal, setahu Gladis, mamanya tidak akan membiarkan Abira keluar rumah sebelum sarapan. Sejak mengenal Abira, sarapan pagi menjadi hal terpenting di keluarga mereka sebelum melakukan aktivitas apa pun. Lalu sekarang, Abira bilang penyebabnya lemas karena tidak sarapan? Mustahil! Setelah mendengar jawaban itu, tidak membuat Gladis bertanya lagi. Dia hanya ber-oh, mengiyakan, kemudian melanjutkan aktivitas makannya. Sambil menguyah bakso, Gladis berusaha menerka apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu.  Abira, belum juga memasukkan baksonya ke dalam mulut. Dia terus memutar-mutar sendok di dalam kuah bakso. Sesekali Abira mengantukkan sendok dan garpu. Dengan wajah yang lesu, Abira terlihat menikmati kegiatannya tersebut. Gladis menghela napas. "Lo gak makan, Ra?" Diam. Tidak ada respon. "Ra, lo gak makan?" ulang Gladis. "Ha? Nggak selera gue, Dis." Alhasil, bakso Abira menjadi porsi tambah untuk Gladis. Dan sekarang, sudah menuju rumah, Gladis masih berusaha menerka apa yang membuat Abira menjadi murung seperti itu. Bukan Abira yang membawa mobil, melainkan Gladis. Abira menyerahkan kunci mobil, meminta Gladis untuk menyetir. Abira hendak duduk di belakang, menikmati jalanan kota Jakarta. Sampai di rumah, Abira langsung masuk ke kamar, mengurung dirinya dalam selimut. Di ruang tengah, Gladis mendatangi Monica yang sedang membuka buku-buku yang Gladis tidak tahu apa itu. "Hai, Dis. Udah pulang?" "Udah, Tante." Gladis meraih tangan Monica, mencium punggung tangannya. Gladis duduk di samping Monica. "Oh iya, hari Sabtu kalian libur, kan?" tanya Monica. "Iya, Tan. Libur." "Pas banget! Berarti, kalian bisa ikut bantu-bantu di cara opening butik baru Tante dong." Mata Gladis berbinar. "Wah, bisa dong, Tan! Gladis mau, mau banget malah!" __00__ Sampai di rumah Rio, Doni langsung merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Saking kesalnya, dia mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Harus dia akui, rasa kesal selalu membuat Doni merasa emosi.  Perempuan ular itu membuat Doni harus kerja ekstra. Tadi, tugasnya resmi bertambah karena tidak berhasil menemukan mantan pacar Rio. Sekarang, Doni harus bertanya kepada Rio mengenai wanita itu. Doni berdiri, mengayunkan kaki ke kamar Rio. Sampai di sana, Rio sedang berbaring di tempat tidur. Fadli duduk di depan meja belajar, sedangkan Bagas duduk di samping Rio. "Lo dari mana, Bro?" tanya Bagas. "Yo, gue mau tanya sesuatu." Rio berusaha bersandar dibantu Bagas.  "Lo mau tanya apa, Don?" tanya Rio. Doni mendekat. "Lo tau ke mana Putri?" "Putri?" beo Rio sedikit terkejut. Pasalnya, sudah dua tahun waktu berlalu, kenapa tiba-tiba Doni menyebut nama itu lagi—nama wanita yang dia benci. "Putri? Kenapa, Don? Ada masalah?" alih-alih menjawab, Rio justru malah bertanya kepada Doni. "Udah, lo jawab aja. Lo tau di mana Putri?" "Putri ke Amerika ikut papanya." Doni ber-oh. "Setelah itu?" "Gue gak tau pasti. Tapi, beberapa bulan lalu gue sempet liat temennya post foto bareng di Monas. Cuman beberapa menit aja. Setelah itu posting-annya dihapus." Doni menganggukkan kepalanya beberapa kali. Jika mengikut jawaban Rio barusan, itu artinya yang dia lihat kemarin memang benar-benar Putri Renika—mantan pacar Rio. Sudah tidak terelakkan lagi, pasti wanita itu sedang merencanakan sesuatu. Dan itu, yang harus Doni cari tahu. Doni bertanya di mana alamat temannya Putri. Setelah diberitahu, Doni langsung keluar dari kamar Rio. Rio berteriak. "Lo mau ke mana, Don?" Bagas dan Fadli saling lihat, kemudian mengangkat bahu bersamaan. Mereka paham betul Doni seperti apa. Pasti dia bertindak seperti itu karena rasa penasaran yang cukup besar mengganggu kepalanya. __00__ Setelah diperiksa, ternyata karburator motor Nadira kotor. Setelah dibersihkan, motor Nadira pun bisa menyala kembali. Raka sudah masuk ke dalam rumah. Sebelumnya dia sudah memasukkan kembali alat-alat montirnya ke dalam gudang.  Dia berniat untuk mandi. Sebelum itu, Raka menyempatkan diri melihat kondisi adiknya terlebih dahulu. Saat membuka pintu, terlihat Vika lelap dalam tidurnya. Raka pun menutup pintu, pergi ke kamar mandi. Selesai mandi, Raka keluar rumah untuk mengambil barang di mobilnya. Dia melihat Toyota Agya merah melintas di depan rumahnya. Itu mobil Abira. Kepala Raka mengikuti kemana arah mobil itu. Begitu Abira keluar, Raka langsung membuka pintu mobil, pura-pura kalau dia tidak melihat ke sana sama sekali. Raka melakukan itu karena berharap semoga Abira tidak mendatanginya dan melakukan yang tidak-tidak. Sengaja Raka berlama-lama di sana. Setelah lima menit tidak terjadi apa-apa, Raka pun memberanikan diri untuk mengintip keluar.  Abira sudah tidak terlihat. Dia masuk ke dalam rumahnya tanpa mengganggu Raka. Raka mengangkat bahu. Mungkin gadis itu sedang lelah, jadi tidak berkeinginan untuk mengganggunya. Biarlah, mungkin alam memang mengizinkan Raka untuk beristirahat setelah menjaga adiknya selama dua hari di rumah sakit. Raka mengambil tasnya dari dalam mobil, membawanya masuk ke dalam.  Sampai di kamar, Raka menarik kursi, duduk di meja kerjanya. Dia membuka tas, mengeluarkan laptop. Begitu laptop menyala, ada sebuah notifikasi email masuk. Raka menyipitkan matanya, melihat nama pengirim email itu. Nama yang aneh menurutnya. Raka langsung membuka email yang masuk. Seketika darah Raka seperti mengalir lebih deras. Napasnya ditahan. Ada banyak sekali foto-foto di lokasi kecelakaan yang Raka ingat sekali. Kejadian itu sudah sepuluh tahun lalu, tapi untuk melupakannya, adalah hal yang sulit bagi Raka. Satu persatu foto Raka perhatikan dengan seksama. Benar. Tidak salah itu. Foto-foto yang dikirimkan sosok yang tidak Raka kenal, benar-benar foto kecelakaan sepuluh tahun lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN