Bab 28. Diusir

1070 Kata
Setelah dipikir-pikir, Abira seperti orang gila yang kehilangan semangat hidupnya hanya gara-gara wanita lain satu mobil dengan Raka. Abira menggeleng cepat. “Tidak. Ini bukan Abira yang gue kenal. Abira yang gue kenal pantang menyerah.” Belajar dari mamanya yang pantang menyerah untuk mendapatkan papanya dulu, Abira juga harus seperti itu. Dia bahkan belum melakukan apa pun. Abira masih seujung kuku usahanya untuk mendapatkan hati Raka. Lantas, mengapa dia jadi lemah dan putus asa seperti ini? Rasa sakit hati? Apa itu sakit hati? Abira menyeringai. Dalam kamusnya, tidak ada kata sakit hati. Setelah hampir satu harian murung, Abira menertawakan dirinya sendiri. Kenapa dia jadi sentimental seperti ini? Abira tidak pernah kalah. Abira tidak akan pernah mau kalah. Apa pun yang dia inginkan, akan bisa dia dapatkan. Apalagi laki-laki. Abira belum pernah sekali pun gagal mendapatkan laki-laki. Dan sekarang, dia akan bangkit kembali, berusaha mendapatkan hari Raka. Pukul setengah enam sore. Abira keluar dari kamarnya. Dia berniat untuk ke rumah Raka. Masih dengan pakaiannya tadi ke kampus, Abira menuruni tangga. Di ruang tengah, Gladis dan Monica telihat tengah memilah-milah gaun. “Bira, kamu mau ke mana?” tanya Monica membuat langkah Abira terhenti. “Mau ke sebelah, Ma, ke rumah Raka.” “Ke rumah Raka? Mau ngapain lo ke sana?” tanya Gladis. Di tangannya, dia memegang sebuah gaun berwarna merah maroon. “Mau ketemu Raka-lah. Mau apa lagi coba?” Gladis merasa ada sesuatu yang tidak baik sebentar lagi akan terjadi. “Mendingan lo diem di rumah aja deh, Ra. Ntar lo buat ulah yang nggak-nggak, jadi bahan gosip satu kampus gimana?” Monica tersenyum kecil sekaligus menggelengkan kepala. Dia paham apa yang Gladis maksudkan. Pasti sahabat anaknya itu tengah khawatir kalau Abira akan mengganggu Raka. “Udah. Lo mending diem, kerjain kerjaan lo. Gue mau pergi. Bye, Ma!” “Hati-hati.” Sampai di depan pintu rumah Raka, Abira menarik napas sejenak. Niatnya pertama hanya ingin sekali, tapi, karena rasa grogi, Abira jadi menarik napas, kemudian membuangnya menjadi beberapa kali. Saat tangannya baru saja ingin mengetuk, tiba-tiba pintu dibuka. Terlihat Raka dengan kopiah hitam, baju koko putih, dan sarung hitam. Atribut ke masjid sudah lengkap menempel di tubuhnya. Juga sajadah di pundak. Di tempat, Abira seketika lupa apa itu berkedip. Bola matanya menatap lurus objek yang sangat menawan. Raka berdeham membuat Abira tersadar dari lamunannya. “Kamu mau ngapain?” tanya Raka keheranan melihat makhluk yang satu itu kenapa bertamu ke rumahnya maghrib-maghrib seperti itu? Abira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sambil memikirkan jawaban apa yang harus dia hadirkan. “E… Saya mau melihat adik Bapak,” jawab Abira asal. “Adik saya? Kamu tau dari mana kalau adik saya sakit?” Mati! Abira tidak tahu kalau jawaban asalnya malah membawa ke situasi yang lebih rumit. “Em … Bapak dua hari tidak ada di rumah. Jadi saya—” “Adik saya sedang istirahat di kamarnya. Mohon jangan ganggu.” Raka menyuruh Abira menyingkir, kemudian menutup pintu. Tanpa kalimat perpisahan, Raka pergi begitu saja meninggalkan Abira di depan pintu rumahnya. Abira mendengus kesal. Apa susahnya coba menawarkan padanya untuk masuk barang sebentar. Padahal keinginannya baik, bertamu. Abira mengejar Raka di belakang. Tahu kalau diikuti, membuat Raka merasa risih. Dia pun berbalik. “Kamu mau ngapain?” Nada bicara Raka dua kali lebih ketus dari tadi hingga membuat Abira terperanjat sesaat. “Saya mau ke masjid. Kalau kamu mau ikut, silakan ganti pakaian kamu dengan yang lebih sopan.” Abira melihat tubuhnya dari ujung kaki, kemudian matanya berhenti di Raka. “Saya sudah sopan kok, Pak. Liat. Celana sudah, baju juga udah.” Raka sama sekali tidak menggubris. Entah di depannya itu seorang mahasiswa atau lebih tepat untuk disebut anak TK. Raka merasa anak TK lebih pintar, lebih tahu kalau sholat itu harus mengenakan mukenah. Lagi, Abira hanya memakai rok selutut dan blus yang bagian dadanya terbuka. Raka balik badan, melanjutkan langkah kakinya. Mendengar langkah kaki Abira, Raka langsung mengangkat tangan. “Silakan kembali ke rumah kamu, atau saya akan memberikan tugas.” Abira menghentakkan kakinya kesal. Raka kenapa bisa tahu kelemahannya, sih? Tugas adalah sebuah ancaman bagi Abira. Tampaknya sore ini Abira harus mundur ketimbang begadang demi mengerjakan tugas. Abira lebih suka membaca sendiri materi seperti yang biasa dia lakukan saat longgar, daripada harus mengerjakan tugas wajib dari dosen. Ya … Abira tidak suka diperintah. “Baik, Pak,” ucapnya malas. Abira pun kembali ke rumahnya. Sampai di rumah, Abira disambut tawa dari Gladis. “Lo pasti diusir kan sama Pak Raka?” ledek Gladis. Abira sama sekali tidak berhasrat ingin merespon omongan Gladis barusan. Juga tidak ada yang salah sebenarnya. Raka memang benar-benar mengusirnya. Tapi tak apa, suatu saat, Abira pasti bisa mendapatkan hatinya. Dia yakin akan hal itu. __00__ Pulang dari masjid, Raka melihat Vika di kamarnya. Masih tertidur lelap. Karena Vika harus sholat maghrib, maka Raka pun membangunkan adiknya. Lembut sekali Raka membangunkan Vika. “Bangun, ya. Sholat dulu.” Vika pun beranjak duduk. Dia menyibak selimut dari tubuhnya, turun dari tempat tidur, berjalan sedikit oyong menuju kamar mandi. Raka duduk di tempat tidur Vika. Keluar dari kamar mandi, Vika memaki mukenah, menggelar sajadah, kemudian mengangkat takbir. Saat di perjalanan pulang dari masjid menuju rumah, ada tukang bakso keliling. Raka menyuruh si Penjual untuk datang ke rumahnya. Dia membeli dua mangkuk. Yang seharusnya Raka membayar sebesar tiga puluh ribu, diberi Raka dua ratus ribu. Awalnya si Penjual menolak, namun Raka bilang anggap saja kalau itu hadiah dari Allah. Vika selesai sholat. Raka mengajak Vika untuk turun dan menyantap bakso bersama. Vika sudah pulih hampir seratus persen. Tampaknya besok atau lusa dia sudah bisa bersekolah. “Mas, Vika kangen sekolah deh.” Baru saja diomongin Raka dalam hati, adiknya sudah bilang kalau rindu sekolah. “Kalau besok kamu bener-bener sudah pulih, kamu boleh sekolah. Tapi ingat, jangan banyak-banyak gerak dulu.” “Baik, Mas. O iya, Mas, Bu Nadira ke mana?” Raka menelan bakso dalam mulutnya yang belum dikunyah sampai halus. “Pulang,” jawab Raka takut-takut. “Oh, ya udah deh.” Raka mengerjap. Tidak salah dengar? “Besok Vika izin main ke rumah Bu Nadira ya, Mas. Vika mau bilang terima kasih sama Bu Nadira sekaligus mau minta maaf.” “Minta maaf?” Vika mengaduk kuah baksonya. Tatapannya menunduk. “Ya … gara-gara Vika, Bu Nadira jadi libur ngajar.” Raka mengelus pucuk kepala adiknya. Dia senang mendengar kalimat Vika barusan. Kalimat untuk anak perempuan seusia Vika, itu hampir jarang ditemukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN