Bab 26. Sakit Hati

1038 Kata
Abira tidak tahu entah kenapa sampai saat itu rasa yang aneh di hatinya terus menetap di sana. Sekarang sudah pukul Sembilan pagi, dia sudah sampai di kampus. Pemandangan yang dia lihat dua jam tadi membuatnya menjadi lesu seperti sekarang ini. Sarapan, memakai make-up sampai tidak dia nikmati seperti biasa. Badan Abira terasa tidak bertenaga. Entahlah, semangatnya seakan lenyap dari dirinya. Gladis mengetuk kaca mobil Abira, membuatnya menoleh. Abira menurunkan kaca mobilnya. “Lo belum sarapan, ya? Kok gue liat kayak gak ada semangat hidupnya gitu?” Abira membalas pertanyaan Gladis barusan dengan helaan napas. Bahkan, sekarang, Abira kehilangan selera bicaranya. Gladis mengangkat bahu. Mungkin sekarang waktu datang bulannya Abira sudah tiba, jadi, membuat sahabatnya itu tidak bersemangat. Abira turun dari mobil. Masih tetap tidak bersuara, dia mengayunkan kakinya menuju ruangan. Gladis mengikut dari belakang. __00__ Doni mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dua tahun telah berlalu, dia sedang mengandalkan ingatannya sekarang. Rumah wanita yang tempo hari dia lihat berbicara dengan Raka, itu tujuan Doni sekarang. Jalanan kota Jakarta terlihat renggang. Doni mensyukuri itu karena dia tidak harus terjebak macet untuk ke rumah seseorang yang bahkan jalan menuju rumahnya saja masih samar. Sekarang, Doni tengah memikirkan apa yang kira-kira wanita itu rencanakan. Dua tahun lalu, dia berusaha mendekati Doni agar menjadi pacarnya. Doni tahu bagaimana liciknya wanita itu. Dengan tegas Doni menolak wanita itu. Namun, Rio berhasil masuk ke dalam perangkapnya. Entah bagaimana Rio bisa jatuh hati pada wanita ular itu. Matahari terlihat gagah di atas sana. Sebentar lagi dia akan semakin menunjukkan kebolehannya dengan bersinar lebih panas dan terang di ujung tombak. Mobil Doni berhenti di persimpangan empat. Setelah berkemudi lancar dari rumah sakit setengah jam, sekarang dia bingung jalan mana yang harus dipilih. Doni sudah memasuki arena perkampungan. Rumah-rumah sederhana menghiasi pinggiran jalan. Satu-dua warung terlihat. Doni menyerah. Tampaknya dia harus turun dari mobil, bertanya ke warga sekitar di mana rumah yang dia tuju. Doni mendatangi sebuah warung di pinggir jalan. Ada dua empat ibu-ibu dan dua bapak-bapak di sana. “Permisi,” Doni berkata sopan. Orang-orang yang ada di warung saat itu, semua pandangan mereka langsung tertuju ke Doni. “Ya, cari apa, Nak?” tanya si Penjual ramah. Pakaian tidur, dilapisi celemek, si Penjual menghampiri Doni. Doni merasa bahwa alam menyetujui keinginannya untuk datang ke rumah. Yang Doni tanyai tahu di mana rumah perempuan itu. Doni langsung masuk ke dalam mobilnya dengan perasaan senang dan tidak sabar. Tidak menyangka sama sekali kalau dia bisa secepat itu akan bertemu dengan perempuan itu. Doni sampai di depan sebuah rumah. Mirip-mirip rumah Gladis. Terlihat sederhana. Yang membedakan hanya cat rumahnya saja. Rumah yang Doni yakini adalah rumah si Perempuan Ular berwarna putih. Doni turun, berjalan mendekati rumah itu. Diketuknya pintu. Seorang wanita berumur 40-an membuka pintu. Wajahnya terlihat gelap. Tampaknya dia sering bekerja di bawah teriknya sinar matahari. “Cari siapa?” tanyanya menatap Doni dari atas sampai ke bawah tanpa berkedip. Itu membuat Doni merasa seperti diintimidasi sesaat. Rasa senang Doni hilang seketika ketika sosok perempuan di depannya tidak tahu siapa yang Doni sebut. Ternyata, perempuan itu baru saja pindah seminggu yang lalu. Rumah itu telah dijual. “Baiklah, Bu. Terima kasih.” Sampai di mobil, Doni memukul stir kasar disertai u*****n. Dia merasa ada sesuatu yang perempuan itu rencanakan sekarang. Doni tidak tahu kenapa dia sendiri bisa seyakin itu. Tapi, kalau belajar dari dua tahun lalu, kemustahilan itu tidak terjadi sangat kecil. Manusia tidak berubah semudah itu, kan? Apalagi untuk wanita ular sepertinya. Pasti ada niat terselubung di balik tindakannya. Doni tidak boleh sampai kecolongan. Apapun ceritanya, dia harus bisa menemukan perempuan itu. Maka, di dalam mobil itu, tugas Doni resmi bertambah. Dia akan menyelesaikan keduanya sekaligus. __00__ Nadira memuji masakan Raka. Dia bilang kalau masakan rasa terasa lezat sekali di lidahnya. Untuk itu, Nadira tidak berbohong. Masakan Raka memang selezat itu. Guru Mts itu tidak menyangka kalau sosok Raka bisa memasak sehebat itu. Ini bukan kali pertamanya Nadira menemukan seorang laki-laki yang jago memasak. Tapi, ini kali pertamanya Nadira bertemu laki-laki paket lengkap. Sudah mapan, dewasa, jago masak, taat pada Allah. Itu adalah sesuatu yang langka, bukan? Apalagi di era seperti sekarang itu. Entah berapa banding berapa, tapi yang pasti, Raka adalah laki-laki yang berhasil membuat Nadira mengatakan hal-hal tersebut. Sekarang, Nadira baru saja selesai menidurkan Vika. Lebih tepatnya, Vika sudah tertidur setelah mendengarkan lantunan sholawat dari bibir Nadira. Usai sarapan, Vika mengajak Nadira untuk main-main sebentar. Nadira menuruti. Tepat pukul Sembilan, Raka masuk ke kamar, membawakan obat Vika. Dibantu Nadira, Vika mau meminum obatnya tanpa penolakan. Beberapa menit setelah meminum obat, rasa kantuk pun datang. Dan sekarang, Vika sudah terlelap dalam tidurnya. Nadira bersiap untuk pulang ke rumahnya. Senang rasanya setelah melihat Vika bisa ceria kembali. “Terima kasih, Bu. Terima kasih karena sudah mau direpotin Vika. Saya minta maaf, ya, Bu.” “Tidak usah minta maaf, Pak.” Nadira tersenyum tipis. “Saya juga seneng kok bisa liat Vika se-happy itu.” Harus Nadira akui, tidak ada terbesit sedikit pun perasaan terpaksa saat Vika memintanya untuk melakukan sesuatu. Meski Nadira sudah mengatakan secara terang-terangan barusan kalau dia sama sekali tidak keberatan terhadap apa yang sudah Vika buat padanya, rasa tidak enakkan dalam diri Raka masih belum hilang. Kecanggungan mengikat mereka berdua sekarang. Raka hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. Tidak bisa terus terikat rasa canggung itu, Nadira langsung mengambil tindakan. Dia pamit pulang ke rumahnya. “Saya pamit, Pak. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Raka mengikuti Nadira sampai depan pintu. Nadira naik ke motornya, menyalakan mesin. Terjadi sesuatu. “Lho? Kenapa, ya?” Nadira mencoba kembali menyalakan starter motornya. Masih tidak bisa. Kali ketiga, juga motornya belum menyala. Raka mendekati Nadira. “Tinggalkan saja, biar saya perbaiki.” “Oh, gak usah, Pak. Lagian rumah saya juga deket kok. Saya bisa dorong sendiri.” Raka menggeleng, tidak setuju. “Anggap saja ini balas budi saya buat Ibu. Dan ingat, hari ini penolakan saya harus di-acc.” Mendengar kalimat Raka barusan membuat Nadira terasa seperti digelitik. Nadira pun tertawa. Raka kebingungan melihat Nadira yang tiba-tiba tertawa seperti itu. Melihat wajah bingung Raka, membuat Nadira spontan menghentikan tawanya. Dia langsung merubah wajahnya jadi cool. Nadira berdeham. “Baiklah, Pak. Kalau begitu, saya permisi,” ucapnya dengan nada bulat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN