Bab 29. Grand Opening

1571 Kata
Acara yang ditunggu Monica berjalan lancar. Grand Opening butiknya ramai dikunjungi banyak orang. Mulai dari pekerja kantoran, selebgram, artis, model, dan banyak lagi. Sungguh, Monica tidak pernah membayangkan antusias orang-orang bisa sehebat ini. Acara berjalan lancar. Tepat saat tali pita dipotong, tepukan tangan menyambut. Luar biasa. Cabang butik Monica yang ketiga ini, merupakan yang paling ramai. Acara hari ini bukan sekadar peresmian dibukanya Monica’s Butik. Tapi, Monica juga mengumumkan bahwa butiknya juga memiliki kegiatan kelas belajar menjahit gratis. Siapa saja yang ingin bergabung, dipersilakan. Yang mengejutkan, ada satu-dua artis yang tertarik untuk belajar menjahit bersamanya. Sungguh, itu merupakan suatu kebanggan bagi Monica. Gladis dan Abira tengah berbincang-bincang dengan teman-teman mereka yang datang di acara grand opening itu. “Keren, Ra! Baju-baju di sini buat gue ngiler,” ujar Fienka. Matanya teredar, melihat semua koleksi pakaian di sekitarnya. “Sama. Gue juga. Asli sih ini. Butik nyokap lo butik paling keren di Jakarta!” Bita menimpali. Abira mengucapkan terima kasih atas pujian yang mereka berdua berikan. Abira sendiri juga merasakan hal yang sama. Bukan semata-mata karena dia adalah anak dari pemilik butik itu. Melainkan, sudah banyak respon positif dari para pembeli di butik mamanya. Mereka bilang desain di butik mamanya itu terbilang berbeda dari yang lainnya. Kualitas bahan kain premium namun dengan harga yang masih ramah di kantong, juga menjadi nilai plus butik mamanya. Bukan hanya dari kalangan orang biasa saja, artis, para sultan ibukota, pejabat, dan banyak lagi. Mereka merekomendasikan butik Monica karena puasnya layanan dan barang yang mereka dapatkan. “Gue bakal ajak nyokap-bokap gue ke sini ntar kalo gue nikah.” Bita menepuk bahu Fienka. “Emang lo udah punya pacar?” “Belum, sih.” Mereka tertawa bersama. Di tempat lain, Risma dan Mita juga merasa senang atas hasil kerja mereka mempersiapkan pembukaan butik ketiga. Di luar ekspektasi, antusias yang mereka dapatkan membuat kerja keras mereka terbayar. Resmi sudah, butik Monica menjadi butik paling tenar se-ibukota. Yang membuat mereka terkejut, banyak designer yang ikut meramaikan acara grand opening. Belum selesai sampai di situ. Banyak juga tamu yang sengaja datang dari luar ibukota, hanya untuk melihat baju-baju yang Monica’s Butik pamerkan. Monica mendatangi mereka berdua setelah berbincang dengan dua artis yang ingin bergabung dengan kelas menjahitnya. “Selamat, Mo!” Monica tersenyum. Dia menepuk-tepuk pelan bahu Risma dan Mita. “Kerja keras kita berhasil!” Mata Monica berbinar. Perjuangan mereka bertiga mendirikan butik bisa sampai sekarang ini, itu membuat mereka terharu. __00__ Fienka dan Bita berpamitan pulang. “Hati-hati, ya,” ujar Gladis sambil melambaikan tangan ke arah mereka. Sejak tadi Abira tidak berhenti terus melihat layar ponselnya, seperti menunggu seseorang menghubunginya. “Lo nungguin siapa, sih?” “Raka.” Gladis menahan tawanya. “Lo nungguin Pak Raka?” Abira mengangguk. “Gue udah minta dia buat dateng.” “Gak mungkin, Ra.” Abira menggeleng tidak setuju. Abira yakin Raka pasti akan datang dalam acara pembukaan cabang butik mamanya. Dia yakin itu. Setelah diusir tadi malam, Abira tidak tinggal diam di kamarnya. Tiba-tiba muncul ide di kepalanya untuk mengundang Raka ke acara grand opening butik mamanya. Abira keluar dari kamar, berjalan menuruni tangga. Saat pukul delapan malam. “Lo mau ke mana, Ra? Mau ke rumah Pak Raka lagi? Gak takut diusir?” Abira tidak menanggapi omongan yang bernada ledekan dari Gladis. Dia terus mengayunkan kakinya menuju rumah Raka. Abira mengetuk pintu. Tak lama, pintu rumah dibuka. “Pak, saya ingin mengundang anda datang ke acara grand opening butik mama saya besok,” ucap Abira langsung tanpa pembukaan atau basa-basi terlebih dahulu. Raka sedikit terkejut mendengar perkataan Abira barusan. Apa maksud Abira mengundangnya? “Saya tunggu bapak besok.” Abira balik badan, melangkahkan kaki ke rumahnya. Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kenapa dengan Abira? Terserah dia mau melakukan apa, tapi, Raka tidak bisa datang dalam acara itu karena Vika meminta diajak jalan ke taman kota. Hingga sekarang, Abira masih setia bolak-balik memandangi layarnya, menunggu balasan chat dari Raka. Sebelum pergi dari rumah menuju butik, Abira sempat mengirimkan pesan yang isinya mengingatkan Raka agar jangan lupa datang. Tapi, sampai saat ini belum juga dibalas. Abira mencoba menghubungi Raka, namun tidak diangkat. Gladis menggelengkan kepalanya, merasa aneh melihat sahabatnya. “Udahlah, Ra. Pak Raka gak mungkin mau nerima undangan lo.” “Kenapa?” Gladis menghela napas. “Ya lo liat aja. Lo udah kirim pesan, udah nelpon, tapi masih gak ada balesan kan? Itu tandanya Pak Raka sengaja ngelakuin itu karena gak mau datang ke acara ini.” Abira menggeleng tidak setuju. Dia masih kekeuh, yakin kalau Raka pasti datang sebentar lagi. __00__ Kondisi Vika sudah pulih. Dia hanya tinggal mengonsumsi obat dari dr. Nirmala saja. Pulang sekolah kemarin siang, dia ingin hari minggunya mereka bertiga pergi ke taman kota, bersantai di sana. Ya, bertiga. Vika, Raka, dan Nadira. Di sekolah, Vika sudah menyampaikan idenya itu kepada Nadira. Karena tidak ada kegiatan, Nadira pun menyetujui ide Vika itu. Senang bukan main rasanya. Vika gembira sekali karena dia bisa bermain-main di taman kota bersama Nadira. Pagi ini, usai sarapan di rumahnya, Nadira langsung datang ke rumah Raka. Sengaja tidak membawa motor, motornya ditinggal di rumah. Raka dan Vika tengah mengemas barang, memasukkan ke dalam mobil. “Pagi, Vika!” sapa Nadira ramah. Melihat Nadira datang, Vika langsung memeluknya. “Gimana? Udah siap piknik?” Vika melepaskan pelukaannya. “Udah dong, Bu.” Raka menutup bagasi mobilnya. “Udah. Ayo masuk, kita berangkat.” Di perjalanan, Vika berbincang banyak hal dengan Nadira. Mulai dari apa saja yang dia suka, kartun favoritnya, dan banyak lagi. Raka tersenyum melihat Vika bisa sebahagia itu bersama Nadira. Layaknya seorang kakak yang menyayangi adiknya, seperti itulah Nadira. Vika biasanya sangat tertutup pada orang baru. Tapi, entah kenapa, Vika berbeda jika sedang bersama Nadira. Bahkan, saat bersama Ratna dulu, Vika tidak seriang dan seterbuka itu. “Mas kok senyum-senyum?” Raka langsung mengalihkan pandangannya yang semula di spion mobil, langsung menatap lurus jalanan. “Hayo … liatin Bu Nadira pasti, kan?” Raka berdeham, mencoba untuk bertingkah biasa saja. Padahal, dehamannya barusan membuktikan bahwa dia mulai salah tingkah. Vika menutup mulutnya, tertawa. Sepertinya Vika akan meledeknya lagi. Sampai di taman. Mereka keluar dari mobil. Raka membuka bagasi belakang, mengeluarkan barang-barang yang mereka bawa. Ada tikar, makanan, dan minuman. Raka menggelar tikar. Taman kota yang dimaksud tidak terlalu jauh dari rumah Raka. Hanya dalam waktu tempuh empat puluh menit, mereka sampai. Hari ini weekend, jadi, yang datang ke taman sangat ramai. Banyak keluarga yang tengah melepas penat kerja enam hari, datang bersama keluarga mereka untuk bercanda-gurau. Anak-anak berlarian kesana-kemari, bermain layangan, dan masih banyak lagi. Taman kota ini juga menyediakan beberapa permainan untuk anak-anak seperti; ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dan beberapa permainan lain yang biasa bisa ditemukan di taman bermain. Muda-mudi juga tidak mau kalah. Mereka datang ke taman kota bersama sahabat dan pacar. Ada juga yang mengerjakan tugas kelompok bersama. Tikar sudah digelar. Makanan dan minuman yang dibawa sudah ditaruh di tengah-tengah. Nadira mengeluarkan isi tasnya. Kue kacang, kue itu yang ada di dalam tasnya. Dalam sebuah wadah Tupperware, kue kacang itu terlihat menggiurkan. Tampaknya semua yang mengandung kacang menjadi olahan favorit Nadira. Vika mengambil satu, mencobanya. Terasa sangat lezat. “Ini Ibu yang buat?” Nadira mengangguk, mengiyakan. “Enak banget.” Vika mengambil satu lagi. “Ibu kenapa gak jualan kue aja sih? Pasti banyak yang beli.” “Ibu emang berniat mau buka usaha kue, Vika. Tapi, modal ibu belum cukup.” Kalimat terakhir sengaja diucapkan berbisik pada Vika agar Raka tidak mendengarnya. Mendengar bahwa kue kacang Nadira enak, membuat Raka penasaran akan rasanya. Dia pun mencoba. “Gimana, Mas? Enakkan?” Vika benar. Kue kacang buatan Nadira sangat enak. Persis buatan Ratna. Raka segera menggelengkan kepalanya. Kali kedua Nadira membawakan makanan, dan kedua-keduanya persis makanan almh Ratna. Raka tidak boleh seperti itu, dia harus bisa mengiklaskan kepergian Ratna. Entah kenapa setiap kali melihat Nadira mengingatkan sosok Ratna yang saat ini sedang diusahakan Raka untuk diikhlaskan. Mulai dari pembawaan, cara bicara, masakan, semuanya mengingatkan Raka kepada Ratna. Istri Raka tiga tahun lalu. Saat itu mereka baru saja menikah satu bulan. Namun, pernikahan yang mereka yakini bisa bertahan sampai punya anak-cucu itu harus berakhir. Ratna resmi mengidap kanker otak stadium akhir. Dan sebulan setelah divonis demikian, Ratna mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit tempat Vika dan orang nomor satu di hidup Raka dirawat. Raka tidak bisa bohong kalau perwujudan Ratna ada semuanya dalam diri Raka. Alasannya berusaha selalu menghindari godaan Vika adalah Raka berusaha untuk bisa melupakan Ratna. Hadirnya Nadira saat ini, membuat Raka kesulitan untuk mengikhlaskan Ratna. Ditambah lagi Vika yang senang bersama Nadira, itu membuat Raka semakin kesulitan untuk menjauh dari Nadira. “Enak. Enak banget!” “Tuh kan, Bu. Apa Vika bilang. Kue kacang buatan Ibu emang enak banget! Pokoknya, Ibu wajib buka toko, ntar Vika bantuin.” Tiba masanya untuk makan siang. Raka mengeluarkan masakan yang sudah diam asak pagi tadi, sengaja untuk dibawa ke taman kota. Ada rendang, sambel tempe-tahu, kentang goreng. Sebelum dimakan, semuanya dipanaskan terlebih dahulu. Raka membawa rice cooker portabel. Dibantu Nadira, semua makanan sudah dipanaskan. Saatnya makan. Vika, entah kenapa selalu bermanja-manja saat sudah ada Nadira bersamanya. Padahal sudah kelas 12 MTs, tapi sekarang, dia meminta Nadira untuk menyuapinya. Raka pasti melarang, namun, Nadira bilang kalau dia tidak keberatan dan berdalih lagi kalau dia senang melakukannya. Disuapi Nadira, Vika makan dengan lahap. Raka makan sambil memperhatikan sekitar. Rumput hijau taman memanjakan mata. Melihat banyak tawa riang di taman membuat suasana menjadi nyaman sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN