Di sinilah kami berdua sekarang, duduk di sofa ruang keluarga rumah Abimanyu. Selama perjalanan pulang tidak ada yang bicara sepatah katapun. Cello tertidur, sedang kami berdua hanyut dengan pikiran masing masing.
Setelah menidurkan anakku di kamarnya, Abimanyu membawaku kesini untuk bicara empat mata. Iya, kami memang butuh bicara. Ada hal hal yang harus aku perjelas lagi di sini.
"Sekali lagi aku minta maaf, tidak seharusnya Cello memanggilmu ayah. Ternyata apa yang aku takutkan benar benar terjadi, dia merasa menemukan sosok seorang ayah pada diri Bang Abi. Maaf."
"Bagaimana kalau aku tidak keberatan dipanggil ayah oleh Cello?"
Aku membalas tatapan Bang Abi yang tajam menusuk, tidak ada sedikitpun raut bercanda di wajahnya.
"Ini sama sekali tidak lucu. Aku tahu kamu sangat menyayangi Cello, tapi memanggil dengan sebutan ayah itu sudah berlebihan."
"Jadi kamu keberatan?"
Tanpa ragu lagi aku langsung mengangguk. Tidak, aku tidak ingin nenciptakan masalah baru lagi.
"Kenapa?"
Ada nada kecewa dalam pertanyaannya. Apa dia tidak mengerti apa arti kata ayah? Kami tidak terikat dalam hubungan yang membenarkan anakku untuk memanggilnya ayah.
"Karena Bang Abi memang bukan ayahnya, aku cuma butuh sedikit waktu untuk membuatnya mengerti tentang hal ini. Sekali lagi aku minta maaf untuk itu."
Dia menghela nafas berat, seperti ada beban berat yang sedang menggelanyut di pikirannya.
"Aku menyayangi anakmu, sangat. Tidak bisakah kamu membiarkan dia menganggapku sebagai pengganti ayahnya, toh itu hanya sebuah panggilan. Tidak akan ada yang dirugikan kalau Cello memanggilku ayah."
Aku mendengus keras, apa sebenarnya isi otaknya itu. Apa dia tidak berpikir bagaimana perasaan Cello nanti, kalau suatu saat ada yang keberatan dia memanggil Abimanyu dengan sebutan ayah.
"Aku bilang tidak boleh ya tidak boleh! Mari kita hentikan membahas tentang hal ini, karena jawabanku akan tetap sama, TIDAK."
"Apa sebenarnya yang kamu takutkan Sha? Beri aku alasan yang lebih masuk akal lagi."
"Karena Bang Abi memang bukan ayahnya Cello. Apa yang akan dipikirkan keluarga besarmu nanti, kalau sampai mereka tahu ada anak kecil yang bukan siapa siapa kalian memanggilmu ayah."
"Tolong lah Bang, masalahku sudah terlalu banyak, jangan menambahinya lagi! Aku terlalu lelah untuk meladeni orang orang yang selalu datang hanya sekedar ingin memaki dan menghujatku."
Aku lelah, sangat sangat lelah. Melihat Cello yang shock dan menangis histeris saja sudah membuatku terpukul, apalagi saat anak itu memanggil Bang Abi ayah. Hatiku berdenyut sakit bukan main.
Selama ini aku selalu merasa bersalah pada Cello, karena sudah membuatnya hidup tanpa kasih sayang seorang ayah seperti anak lain pada umumnya. Tapi mau bagaimana lagi, nyatanya ayah kandungnya tak lebih dari seorang b******n yang tega mencampakkan kami begitu saja.
Aku bangkit dari dudukku, namun baru beberapa langkah meninggalkan sofa suara Abimanyu kembali terdengar.
"Kalau begitu menikahlah denganku!"
Aku berdiri mematung, mencoba mencerna kembali perkataan laki laki yang pernah menyelamatkan nyawaku ini.
"Kenapa kita harus menikah? Atas dasar apa Bang Abi mengajakku menikah?"
Aku membalikkan badan dan menatap Bang Abi yang juga sudah berdiri tak jauh di hadapanku.
"Bukankah kamu bilang aku bukan ayah Cello? Kalau begitu menikah lah denganku, dengan begitu Cello akan benar benar jadi anakku dan tidak ada lagi larangan dia memanggilku ayah."
Wajahku langsung memanas. Tidak, rasanya bahkan lebih membakar daripada tadi sore saat Risti Pradipta menamparku begitu keras. Bagaimana bisa laki laki ini punya pikiran sedangkal itu. Apakah baginya arti pernikahan hanya sebatas itu.
"Aku tidak butuh pernikahan semacam itu! Lima tahun hidup Cello baik baik saja tanpa kehadiran seorang ayah, jadi jangan coba coba masuk di kehidupan kami dengan menawarkan sebuah pernikahan palsu. Sorry, kami tidak butuh itu!"
"Kamu salah paham Sha, bukan begitu maksudku. Aku benar benar ingin menikahimu."
"Apakah Bang Abi mencintaiku?"
Pertanyaanku berhasil membungkam Abimanyu. Aku tersenyum getir, mataku memburam saat menyusuri setiap sudut rumah ini yang terpajang banyak foto foto istrinya dulu.
Begitu mudahnya laki laki ini mengajakku menikah, saat hatinya sendiri masih belum mampu melepaskan masa lalunya. Aku tidak akan mempertaruhkan kembali hidupku untuk seorang laki laki yang gagal move on. Tidak, aku tidak sebodoh itu.
"Jangan jadikan aku sebagai pelarian hatimu. Aku tidak mau hidup menjadi bayangan orang lain dari masa lalumu."
"Aku tidak butuh pernikahan dan Cello juga akan tetap bisa hidup tanpa seorang ayah. Mulai sekarang menjauhlah dari hidup kami, karena kami tidak butuh belas kasihan darimu."
"Sha, Sasha!"
Aku tidak mempedulikan lagi panggilannya, dengan setengah berlari aku pergi dari rumah itu. Bukan kembali ke rumah bunda, tapi aku terus berjalan menuju pintu keluar komplek perumahan.
Apa aku dan Cello terlihat semenyedihkan itu, sampai dia merasa kami pantas dikasihani. Bisa bisanya dia mengajakku menikah saat hatinya masih mencintai istrinya yang telah lama mati.
"Apa Anda baik baik saja, Nona?"
Aku mengangguk saat sopir taxi tampak khawatir melihatku yang hanya diam dan berkali kali menghapus air mata.
"Kita sudah sampai di Golden, Nona."
"Terima kasih."
Aku mengulurkan sejumlah uang dan segera turun. Dengan kepala pening, aku masih berdiri di tepi jalan, tepat di depan Golden Bar. Otakku benar benar buntu, untuk sekali ini saja aku ingin melepas sejenak beban berat yang selalu menghimpit hidupku.
"Sha."
Suara itu lagi, suara yang sudah bertahun tahun tidak pernah aku dengar lagi. Sebenarnya ada apa denganku hari ini, kenapa sial terus mengikuti kemanapun aku pergi.
"Sasha."
Aku memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak mungkin. Dadaku tiba tiba terasa sesak dan berdenyut nyeri. Dia sudah di sana, berdiri tepat di hadapanku. Matanya menatap lekat ke arahku, tajam dan dalam.
"Aku ingin bicara denganmu sebentar."
"Demi Tuhan, kenapa aku sial sekali hari ini?! Kenapa semua orang senang sekali mengusikku?! Tidak bisakah kalian biarkan aku tenang sebentar saja?!"
Cukup sudah! Kesabaranku sudah sampai diambang batasnya. Tanpa sadar aku berteriak keras dengan air mata yang mengalir deras.
"Maaf, aku benar benar minta maaf Sha."
"Basi, permintaan maafmu tidak akan pernah bisa mengembalikan waktu lima tahun yang anakku lalui tanpa seorang ayah."
"Sasha ..."
"Jangan coba coba mengusik kehidupan kami lagi! Aku akan menghancurkan kalian kalau sampai berani menyentuh anakku!"
"Aku tidak pernah bilang akan mengambil Cello darimu."
Aku tertawa terbahak, mataku menatap lucu pria yang paling bertanggung jawab atas kemalangan nasib anakku ini.
"Sudah sejauh mana kamu mencari tahu tentang kami? Uang terkadang memang sangat menakutkan, kamu bahkan tahu semua hal tentang kami."
"Bukan begitu Sha, aku tidak bermaksud ..."
"Tidak bermaksud apa?! Jangan kira aku tidak tahu, kamu menyuruh orang untuk membuntuti dan mengawasi setiap gerak gerikku. Iya kan?"
Aksa tampak menghela nafas kasar, membantah pun percuma. Dia sudah tertangkap basah karena sejak awal aku sudah tahu semua.
"Ayo kita bicara!"
Aku menggeleng, aku tidak punya urusan lagi dengan orang ini. Memberinya kesempatan bicara hanya akan memperpanjang masalah.
"Dulu aku sudah bilang jangan pernah muncul lagi di hadapanku, apalagi di depan anakku. Pergi, aku muak melihat wajahmu!"
"Ijinkan aku bertemu dengan anakku."
Plak
Aku menampar wajah Aksa, tanganku sampai berdenyut sakit karena kerasnya tamparanku.
"Berani sekali mulutmu mengatakan Cello adalah anakmu. Anakmu sudah mati enam tahun yang lalu dan kamu sendiri lah yang membunuhnya. Apa kamu sudah lupa?! Apa perlu aku ingatkan lagi setiap ucapanmu di apartementmu waktu itu?!"
Aku segera melangkah pergi, kepalaku sudah mau meledak karena emosi yang meluap luap sejak tadi. Begitu masuk Golden, aku langsung duduk di depan bartender. Pengunjung lumayan ramai, ada live band di panggung mini di sudut ruangan.
"Wet vodka martini."
Bartender hanya mengangguk tanpa bertanya apa apa lagi. Hanya sebentar dan satu gelas martini sudah diletakkan di depanku. Tanpa ragu lagi aku langsung menegak setengahnya,
dingin dan sedikit rasa pahitnya menyapa mulutku. Sudah lama aku tidak datang ke tempat seperti ini lagi.
Dulu di London terkadang aku bersama teman teman kerjaku akan mampir ke bar dan sedikit minum di sana. Hanya terkadang, biasanya saat merayakan kemenangan atas case case penting kami.
Duduk tenang dengan satu tangan menyangga kepala, pandanganku tertuju ke gelas minuman yang tinggal setengah. Kembali aku meneguknya, kali ini benar benar sampai tandas.
"Satu lagi!"
Aku meraih ponselku, banyak sekali panggikan dan pesan masuk dari Abimanyu. Cih, mau apalagi laki laki itu. Mengacuhkan semua, aku mencari kontak Bang Andre. Puas rasanya saat pesanku berhasil terkirim.
Satu gelas minuman yang sama baru saja disodorkan di depanku. Seteguk demi seteguk, menikmati sensasinya yang mulai terasa meresap sampai ke ujung saraf. Alkohol memang tidak akan membantuku menyelesaikan masalah, tapi untuk sekarang hanya ini yang bisa membuatku tetap waras.
Ponselku kembali berkedip, pesan balasan dari Bang Andre tak urung membuatku langsung tertawa menang. Lihat apa yang bisa aku lakukan untuk membalas kalian.
Dalam sekali tegak minuman di gelasku habis tak bersisa. Bartender menggantinya dengan yang baru saat aku menunjuk ke gelas kosong depanku.
"Martini bukan begitu cara minumnya, Sha. Please ya, itu bukan aqua!"
Aku menoleh dan mendengus keras mendapati abang sepupuku yang sudah duduk di kursi sebelahku.
"Dari mana Bang Ibra tahu aku ada di sini?"
Bukannya menjawab, Bang Ibra malah meraih daguku dan memperhatikan dengan seksama luka di sudut bibirku.
"Siapa yang berani memukulmu?"
"Ck, ini bukan masalah besar, aku bisa membalasnya sendiri."
"Kenapa datang ke sini sendirian? Jangan bodoh, kamu pikir mereka akan tinggal diam setelah kamu mengobrak abrik nama baik keluarganya."
"Aku tahu, wajahku ini buktinya."
Aku kembali meneguk minuman di gelasku, Bang Ibra menggeleng pasrah melihatku yang minum seperti orang kalap.
"Apa yang mengganggu pikiranmu? Katakan, aku akan menjadi pendengar yang baik. Apa ada hubungannya dengan Aksa yang tadi mencegatmu di luar?"
"Abang cenayang ya?"
"Raka tadi menghubungiku, katanya melihatmu lagi bertengkar dengan seorang pria di depan tempatnya. Jadi benar?"
Aku menggeleng. Aksa memang jadi salah satu sebabnya, tapi bukan itu yang membuat moodku terjun bebas.
"Bang Abi mengajakku menikah."
"Abi?! Abimanyu yang Tante Ambar bilang selalu dekat dengan Cello itu kan?"
Aku mengangguk. Gelasku sudah kosong lagi, aku melambaikan tangan ke arah bartender.
"Lalu apa masalahnya? Diajak menikah laki laki semapan dia harusnya kamu senang, apalagi Abimanyu begitu menyayangi anakmu."
"Bagaimana mungkin aku mau senang diajak nikah laki laki yang masih gagal move on. Yang lebih membuatku marah, dia mengatakan itu di rumahnya yang temboknya saja masih dipenuhi foto foto wanita itu."
Aku menegak kembali minumanku, kepalaku mulai sedikit pening dan entah kenapa air mataku mulai merembes keluar.
"Apa perasaanku begitu tidak berarti untuknya? Biarpun aku bukan wanita sempurna, tapi aku juga punya hati dan perasaan. Tega sekali dia!"
Bang Ibra merangkul bahuku. Semenjak punya Cello, aku sudah berusaha berubah menjadi wanita yang kuat, tidak pernah aku menangis seperti ini.
"Kamu menyukai Abimanyu?"
Aku terdiam, apakah aku menyukai laki laki itu?! Aku mulai sering memikirkan Abimanyu sejak pertemuan kami di London waktu itu. Aku bahagia tiap kali dia menghubungiku atau sekedar mengirim pesan menanyakan kabarku. Hatiku juga selalu berdebar saat berada di dekatnya.
Apakah itu berarti aku mulai menyukai Abimanyu? Tidak boleh, Aku belum siap terluka untuk kedua kalinya.
"Tapi dia tidak menyukaiku, dia mengajakku menikah hanya karena ingin dipanggil ayah oleh Cello."
Bang Ibra menghela nafas, dia sepertinya mulai bisa mengerti duduk masalahnya di sini.
"Aku juga tidak siap menerima penolakan dari keluarganya, Bang. Aku tidak ingin melihat Cello terluka karena mereka menolak keberadaannya."
"Jadi lebih baik begini saja, toh selama ini aku dan Cello juga bisa hidup bahagia meski hanya berdua saja."
Aku kembali menghabiskan minumku. Kepalaku sudah mulai terasa berat, tapi setidaknya hatiku sedikit lega setelah bicara dengan abang sepupuku.
"Tidak akan ada yang berani menyakiti kalian lagi. Baik keluarga Pradipta, Abimanyu atau siapapun itu. Kamu pantas untuk bahagia Sha. Serahkan padaku, biar aku yang mengurus semua."
"Terima kasih Bang Ibra sudah mau jadi pendengar yang baik malam ini. Perasanku sudah lebih baik sekarang."
Bang Ibra tersenyum mengangguk sambil mengusap sisa air mataku, sesayang itu dia padaku.
"Ayo pulang! Siap siap kalau besok kena amuk bundamu karena pulang dalam keadaan teler begini."
"Aku tidak mabuk ya!"
Aku berdiri dari kursiku, tapi tubuhku hampir saja tersungkur di lantai kalau Bang Ibra tidak buru buru menangkapku.
"Ada gempa ya Bang?"
Bang Ibra tertawa sambil memapahku yang berjalan sempoyongan.
"Gendong Bang! Lantainya amblas terus kalau dipijak, aku jadi susah jalan."
Bang Ibra benar benar menggendongku yang terus saja meracau. Untung abang kesayanganku ini datang menyusul, kalau tidak entah bagaimana jadinya nasibku sekarang.