Bab.10 Abimanyu Dan Masa Lalunya

1902 Kata
Abimanyu POV Bertahun tahun aku hidup di bawah bayang bayang mimpi buruk. Bukan perkara mudah untuk bisa melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian terpenting hidupku. Istriku terpaksa kehilangan nyawa karena mengalami pendarahan hebat setelah terpeleset di tangga rumah kami. Tak hanya itu, bayi laki laki kami pun tidak bisa diselamatkan meski dokter sudah berusaha keras mengembalikan detak jantungnya. Duniaku runtuh saat aku kehilangan dua orang paling berharga sekaligus. Bertahun tahun aku dihantui mimpi buruk tanpa tahu kapan akan berakhir. Tapi semua berubah saat setahun lalu aku dipertemukan kembali dengan seorang wanita yang pernah aku selamatkan nyawanya. Bocah kecil yang memanggilnya bunda itu seakan mengobati kerinduanku akan sosok anakku yang tak pernah punya kesempatan melihat dunia. Di binar bening sepasang mata kecilnya itu, aku seperti menemukan sebuah harapan baru. Apakah boleh aku menyebut ini sebagai takdir, karena kami punya nama yang sama Abimanyu. Lebih mengharukan lagi saat tahu ibunya memang sengaja memberikan namaku untuknya. Sayangnya aku terlalu serakah. Enggan melepas masa lalu, namun juga tidak ingin kehilangan mereka yang sudah aku anggap sebagai bagian dari hidupku yang sekarang. Aku bukan hanya menginginkan Cello saja, tapi juga Sasha. Setahun aku mencoba memahami perasaanku sendiri terhadap wanita cantik itu. Wanita yang selalu ingin aku dengar suaranya, selalu ingin aku ketahui kabarnya dan selalu ingin aku cari keberadaannya. Pertemuan kami di London bukanlah sebuah kebetulan, tapi karena memang aku sengaja menyusul mereka ke sana. Kenapa? Karena hatiku menginginkannya, lalu apakah itu sudah cukup menjadi alasan untuk menyebutnya cinta. Bukan hanya Cello yang menginginkan aku jadi ayahnya, aku pun begitu menginginkan dia benar benar bisa menjadi anakku. Tapi kenapa masalahnya jadi serumit ini. Sasha pergi dengan amarahnya. Tidak hanya itu, dia juga menyuruhku menjauh dari kehidupan mereka. Bagaimana mungkin aku bisa, sedangkan belum lima menit dia pergi dari rumahku, aku sudah ketakutan setengah mati. "Tunggu aku di depan rumah Tante Ambar, sebentar lagi kami sampai!" Aku bahkan tidak punya kesempatan bertanya siapa pria yang baru saja mengangkat ponsel Sasha. Tunggu, bukankah itu berarti Sasha tadi tidak pulang ke rumahnya. Kemana perginya dia selarut ini? Siapa laki laki yang bersamanya sekarang? Benar saja, tak lama kemudian sebuah mobil sport warna merah berhenti di halaman rumah Tante Ambar. Seorang pria tampak sedikit kesulitan membopong tubuh Sasha turun dari mobilnya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun aku membantunya mengambil kunci dari dalam tas Sasha, lalu membuka pintu rumahnya. "Tunggu aku di luar, kita harus bicara!" Dia seperti sudah tidak asing lagi. Sorot matanya yang tajam menusuk dan wajahnya yang dingin sedikit membuat nyaliku menciut. Siapa sebenarnya dia? "Kita bicara di rumahku saja." Laki laki ini hanya diam mengikuti langkahku. Baru saja aku mempersilahkan dia masuk, sedetik kemudian dia langsung menghantamkan tinjunya ke wajahku. "Itu balasan karena kamu sudah berani membuat adikku menangis." Aku meringis kesakitan sambil menatapnya terkejut, sedangkan dia sudah duduk dengan santai di sofa. Bibirnya menyeringai sinis saat matanya menyapu setiap sudut ruangan ini. "Aku bahkan tidak peduli kamu adalah kakak sepupunya Bian, aku pasti akan menghancurkanmu kalau sampai berani menyakiti adikku." "Kamu siapa?" "Ibra Abraham, kakak sepupu Sasha. Tanyalah pada Bian kalau kamu masih merasa penasaran." Aku duduk di hadapan kakak sepupu Sasha, matanya masih saja terus menatapku tajam. "Kemana Sasha tadi pergi? Kenapa dia bisa pulang dengan keadaan mabuk seperti itu?" Aku mencoba bertanya baik baik, meski ragu pria di depanku ini akan sudi menjawabnya. "Bukankah semua karena ulahmu?! Tidak usah berpura pura lagi, aku sudah tahu semua." Aku menelan ludah, bagaimana bisa Bian punya teman berandalan kasar seperti preman begini. Atau jangan jangan dia memang sama gilanya dengan adik sepupuku itu. "Ini hanya salah paham, aku sama sekali tidak bermaksud membuat Sasha menangis. Aku benar benar menyayangi mereka berdua." Ibra tertawa terkekeh, tangannya menunjuk ke setiap tempat dimana terdapat foto foto istriku dulu. "Kamu mengajaknya menikah, tapi lihatlah, seluruh penjuru rumahmu dipenuhi foto istrimu. Apa kamu pikir perasaan Sasha akan baik baik saja?" "Kalau kamu belum bisa melepaskan masa lalumu, jangan pernah membawa bawa adikku ikut tersiksa karena keegoisanmu." "Maaf, aku tidak terpikir sampai di situ" Iya, aku benar benar tidak menyadari kebodohanku kali ini. Pantas saja Sasha begitu marah saat aku mengajaknya menikah tadi. "Bukan hanya kamu yang punya luka di masa lalu, Sasha juga butuh enam tahun untuk bisa sembuh dari sakit hatinya. Jauhi mereka kalau kamu belum yakin bisa membuatnya bahagia!" "Ibra." Aku buru buru memanggilnya saat melihatnya berniat pergi. "Tolong, aku benar benar menyayangi Sasha dan Cello. Jadi jangan memintaku untuk menjauh dari mereka." "Apa maumu sebenarnya?! Kamu hanya punya dua pilihan, melepaskan masa lalumu atau jauhi mereka berdua." "Aku tentu saja memilih mereka. Setahun lebih aku mati matian berusaha mendekati Sasha dan mendapatkan hati Cello, mana mungkin sekarang akan melepaskan mereka begitu saja." "Lalu bagaimana dengan keluargamu?" "Sejujurnya aku juga belum yakin kalau mereka akan setuju dengan pilihanku, tapi aku akan berusaha meyakinlan mereka." Ibra mengangguk. Satu hal yang baru saja aku sadari, pria ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan dia lakukan kalau aku sampai gagal memegang janjiku. "Jangan dekati mereka sebelum kamu bisa menyelesaikan semua urusanmu dan mendapat restu orang tuamu! Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai keluargamu datang dan menyakiti Sasha juga Cello. Camkan itu!" Pria itu benar benar beranjak pergi dan menghilang di balik pintu. Aku menatap satu persatu foto di ruangan ini. 'Destia, aku yakin kamu juga tidak ingin melihatku terus terpuruk dalam kenangan pahit masa lalu kita. Maaf, ijinkan aku untuk mencintai dan memiliki Sasha. Aku sekarang benar benar tidak sanggup untuk jauh dari mereka.' Tadi aku masih belum bisa menjawab saat Sasha bertanya apakah aku mencintainya, tapi ketika dia pergi dan memintaku menjauh, ketakutanku seperti menjadi jawaban dari keraguan hatiku. Iya, aku mencintainya, sangat. Baik itu Sasha ataupun Cello, aku tidak ingin kehilangan keduanya. *** "Sha." Sasha menoleh dan mendapati bundanya sedang menarik kursi di sampingnya. Sepasang mata wanita itu tampak berkaca kaca saat melihat luka lebam di sudut bibir anaknya yang kini tampak makin membiru. "Sakit?" Sasha menggeleng, tangan Ambar terulur mengusap pelan luka anak semata wayangnya. "Kamu tidak ingin menuntutnya? Dia sudah sangat keterlaluan kali ini, bagaimana bisa orang yang ngakunya terhormat seperti mereka bertindak sekasar itu." "Tentu saja aku akan menuntutnya, Bun. Mana mungkin aku membiarkan dia bertindak seenak hatinya." Sasha meraih tangan bundanya dan menggenggamnya hangat. Dia tahu, bundanya pasti sedih saat melihat rekaman video kejadian kemarin yang sudah mulai beredar luas. "Aku akan membuat wanita itu datang dan meminta maaf pada Bunda. Enam tahun yang lalu dia sudah menginjak injak harga diri Bunda, sudah waktunya dia membayar semua." "Kamu masih dendam sama mereka?" Sasha diam, dia mengangkat cangkirnya dan kembali meminum kopinya yang sudah mulai tak panas lagi. "Aksa terus mengawasiku, Bun. Bahkan semalam dia datang mencariku?" "Mau apa lagi dia?" "Dia ingin bertemu Cello. Seperti tak punya dosa saja, dia bilang Cello anaknya." Wanita setengah baya itu tampak mulai resah. Matanya menatap piano dimana biasanya cucu kesayangannya itu terlihat bahagia memainkannya. "Bagaimana kalau mereka bermaksud merebut Cello dari kita, Sha? Apa kamu tahu, Aksa dan istrinya sampai sekarang belum punya anak." "Coba saja kalau mereka berani! Lihat bagaimana aku akan menghancurkan mereka." "Bunda tenang saja, sebelum memutuskan kembali kesini aku sudah memikirkan semua dengan matang. Aku tidak akan tinggal diam kalau sampai tangan mereka berani menyentuh anakku." "Cello mana Bun?" Sasha berusaha mengalihkan pembicaraan, dia tidak ingin melihat bundanya terus terusan khawatir seperti ini. "Pagi pagi Ibra sudah membawanya pergi, semalam dia menginap di sini." "Bun, tolong jangan biarkan Cello terlalu dekat dengan Bang Abi." "Lho kenapa lagi? Bukankah kita sudah pernah membahas soal ini Sha." "Aku tidak mungkin membiarkan Cello memanggil Bang Abi ayah, masalahnya akan jadi panjang kalau sampai keluarganya tahu. Jadi lebih baik menjauhkan mereka, aku akan bicara lagi dengan Cello nanti." "Lalu bagaimana kamu sama Abi? Kamu tidak mau mempertimbangkan dia?" Sasha tersenyum getir, ingatannya seperti terlempar kembali saat semalam laki laki itu mengajaknya menikah. "Semalam dia mengajakku menikah Bun, tapi aku menolaknya." "Lho kenapa? Masalahnya apa sampai kamu menolak laki laki sebaik dia?" "Karena dia belum bisa melepaskan masa lalunya, aku tidak mau menghabiskan seumur hidupku bersama laki laki yang tidak pernah bisa benar benar mencintaiku. Aku tidak butuh pernikahan semacam itu, Bun. Aku dan Cello akan tetap baik baik saja meski tanpa dia." "Sha." Sasha tidak berani menatap bundanya saat air matanya sudah mulai merembes keluar. Dia tidak ingin terlihat lemah dan menyedihkan, itu hanya akan membuat bundanya semakin khawatir. "Lagipula orang tua mana yang mau punya menantu wanita yang sudah punya anak di luar nikah sepertiku. Aku belum siap untuk menerima penolakan lagi, Bun." Ambar berdiri dari duduknya dan memeluk anaknya yang sudah menangis terisak. Pantas saja dia kemarin sampai pulang dalam keadaan mabuk. Seharian anaknya mendapat tekanan bertubi tubi tanpa ada orang yang bisa diajaknya bicara. "Yang penting kamu dan Cello bahagia, Bunda akan dukung semua keputusanmu." "Terima kasih, maaf kalau lagi lagi aku membuat Bunda khawatir." "Non Sasha, ada Pak Andre di depan." "Iya Bi, suruh tunggu sebentar." "Kamu mau pergi kemaaa dengan muka lebam begitu?" Wanita itu nengernyit khawatir melihat Sasha yang sudah berjalan menuju kamarnya untuk bersiap. "Mau ke kantor polisi, kan aku sudah bilang mau bikin perhitungan dengan wanita itu." Ambar menghela nafas panjang, entah kapan anak dan cucunya akan bisa hidup tenang tanpa gangguan dari keluarga itu. Apalagi sebenarnya mau mereka. Sudah hampir jam sebelas siang saat Sasha dan Andre keluar dari rumah menuju mobil yang terpakir di halaman. "Sasha." Sasha mendengus keras saat melihat laki laki itu sudah berjalan menghampiri mereka. "Aku tunggu di mobil." Tanpa menunggu persetujuan Sasha, Andre segera masuk ke dalam mobilnya. Sasha tahu, Andre sengaja memberi mereka waktu untuk bicara empat mata "Mau apa lagi?" Sasha menatap laki laki yang kini sudah berdiri di depannya itu. Sepasang mata Abimanyu mengawasi setiap inci wajah Sasha dengan tatapan khawatir. "Aku minta maaf." "Dimaafkan, sudahkan?! Aku harus pergi sekarang." "Sha." "Apa lagi?!" "Tolong beri aku satu kesempatan lagi. Aku akan selesaikan dulu semua urusanku dan bicara dengan orang tuaku. Maukah kamu memberiku sedikit waktu?" "Bang." "Kemarin saat kamu pergi dan memintaku menjauh, aku sudah ketakutan setengah mati. Aku tidak bisa melepas kalian. Bukan hanya Cello, tapi juga kamu, Sha." Sasha terdiam melihat Abimanyu yang terlihat kacau. Wajahnya kusut dan mata memerah seperti orang yang tidak tidur semalaman. "Kenapa lagi dengan muka Bang Abi sampai bonyok begitu?" "Ibra marah karena aku sudah membuatmu menangis semalam." Sasha benar benar terkejut, dia sama sekali tidak menyangka Ibra akan sampai bertindak sejauh itu. "Maaf kalau Bang Ibra sudah bertindak keterlaluan, tapi Bang Abi memang pantas mendapatkannya." Laki laki itu malah tertawa terkekeh, ada raut lega di wajahnya. Sedangkan Sasha diam termangu, haruskah dia memberinya kesempatan sekali lagi. "Aku harus pergi." "Sha." "Apa lagi Bang?! Aku buru buru, Bang Andre sudah menunggu dari tadi." "Kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi." "Yang mana lagi?" "Kamu mau kan memberiku kesempatan sekali lagi?" "Apa jaminannya Bang Abi tidak akan mengecewakan aku lagi?" "Untuk itulah aku minta waktu untuk membereskan dulu semua, termasuk membicarakan soal ini dengan orang tuaku." Sasha kembali melirik Andre yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Dia tampak benar benar bingung memilih jawaban yang tepat. "Kamu sudah janji akan mengabulkan tiga permintaanku, aku memintanya satu sekarang. Beri aku kesempatan sekali lagi dan kamu tidak boleh menolaknya!" "Heiii mana bisa begitu! Batalkan saja, aku akan mengembalikan piano itu." "Tidak bisa, kamu sudah terlanjur setuju waktu itu. Sekarang aku menganggap kamu mau memberi kesempatan kedua untukku, deal." Sasha mendecak keras, sekarang dia mulai menyesal telah menerima piano itu. "Kamu menyebalkan sekali." Abimanyu tersenyum puas saat Sasha melangkah pergi dan masuk ke mobil Andre.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN