Semenjak gugatan cerai Lena Iskandar dilayangkan ke pengadilan agama, seluruh media gempar. Berita tentang skandal perselingkuhan Daniel Sanjaya dan Rena Pradipta menjadi topik paling panas selama hampir dua minggu terakhir ini.
Tidak mengherankan, selain karena statusnya sebagai suami artis yang sedang naik daun, Daniel Sanjaya merupakan seorang pengusaha kontraktor yang cukup sukses. Baru baru ini saja dia bahkan berhasil memenangkan tender besar pembangunan sebuah real estate.
Ditambah lagi semua orang juga tahu, Rena Pradipta merupakan putri dari konglomerat Arianto Pradipta dan adik kandung dari pengusaha Aksa Pradipta. Jadi beginilah akhirnya, beritanya langsung mencuat dan menjadi trending topic paling dicari.
Semua kolom komentar berita online tentang pasangan ini berisi penuh hujatan pada Rena Pradipta, wanita yang dianggap paling bertanggung jawab atas hancurnya rumah tangga pasangan ini.
Entah sudah berapa kali Sasha menghela nafas panjangnya. Matanya masih menatap televisi di ruangannya yang kembali memunculkan wajahnya saat mendampingi Lena dalam jumpa pers yang digelar kemarin.
Perang benar benar sudah dimulai, tidak ada lagi kesempatan untuk ragu ragu, apalagi mundur. Sasha sudah menyiapkan mental jika memang harus bertemu lagi dengan mereka, orang orang yang mati matian dia hindari selama bertahun tahun ini.
Beberapa video dan foto foto bukti perselingkuhan yang sekarang terus beredar luas dan ditanyangkan media, itu memang sengaja Lena dan Sasha bocorkan.
Sasha menggunakan media untuk menyerang lawannya. Ini merupakan cara termudah untuk memojokkan dan melemahkan mental mereka. Dia sangat yakin, sekarang bahkan untuk sekedar keluar rumahpun mereka tidak akan berani.
"Good job Sha, mereka sekarang pasti sudah klepek klepek jadi bulan bulanan publik."
Sasha menerima secangkir kopi yang baru saja diberikan Andre padanya.
"Bagaimana? Lancar kan? Dengan bukti di tanganmu sekarang, mereka pasti tidak akan berani macam macam."
Sasha mengangguk setuju. Memang selama hampir dua minggu proses perceraian berlangsung, tidak ada perlawanan berarti dari mereka.
"Kalaupun mereka melawan, aku masih punya cara lain untuk membungkam mulut mereka. Bang Andre tenang saja, aku optimis bisa memenangkan kasus ini."
Andre mengacungkan kedua jempolnya. Inilah yang dia sukai dari Sasha, tenang tapi mematikan.
"Bagaimana kabar Cello?"
Sasha berdiri dari kursi kerjanya dan menyusul Andre duduk di sofa, pertanyaan barusan membuatnya merasa makin bersalah pada anaknya.
Sejak mulai bekerja lagi waktunya banyak tersita di luar, bahkan anaknya sudah beberapa kali protes karena dia selalu pulang larut malam.
"Setelah kasus perceraian Mbak Lena selesai, tolong kerjaanku dikurangi ya Bang? Aku tidak mau Cello terus uring uringan, karena aku terlalu sibuk sekarang. Anak tetap jadi prioritas utamaku."
Seperti yang dikatakan Andre sebelumnya, seiring mencuatnya berita perceraian Lena Iskandar, nama Sasha Dewanti sebagai pengacara yang menangani kasusnya juga mulai banyak dibicarakan publik.
Dia memang mulai dikenal sejak setahun yang lalu, saat banyak media memuji kecerdasaan juga kemampuannya bertarung di pengadilan, hingga mengantarkannya sukses menjadi pengacara muda wanita.
Tapi semenjak menjadi pengacara Lena Iskandar dua minggu terakhir, wajahnya semakin sering muncul di televisi maupun media online. Muda, cantik dan cerdas, itulah point yang membuat banyak orang semakin ingin mengetahui apapun tentang kehidupannya. Tentu saja, makin banyak yang datang menggunakan jasanya.
"Resiko makin terkenal Sha, pasti kamu makin sibuk. Tapi gampang, itu bisa diatur. Aku ngerti kok kondisi kamu."
"Wah tumben pengertian banget."
Karena alasan inilah Sasha mau menerima tawaran kerja dari Andre. Kakak tingkatnya itu sangat paham dan mengerti kondisi Sasha yang single parent. Dia mempunyai tanggung jawab dan peran ganda sebagai ibu sekaligus ayah untuk anaknya.
"Kamu masih belum mengijinkan Cello belajar di sekolah umum?"
"Belum."
"Apa kamu tidak kasihan sama Cello? Dia bisa jenuh karena tidak punya teman."
"Sementara ini biar tetap home schooling dulu Bang, keadaannya belum memungkinkan. Nanti aku mau tanya Mbak Lena, sekolah tempat Vian kayaknya bagus juga. Apalagi mereka sekarang kan temenan."
Obrolan mereka terhenti saat pintu ruang kerja Sasha diketuk dari luar.
"Mbak ada tamu di luar."
"Siapa Sar?"
"Nyonya Risti Pradipta."
Andre menatap Sasha khawatir, tapi Sasha sendiri tampaknya tetap terlihat tenang tenang saja. Sudah Sasha duga, mereka tidak mungkin tinggal diam dia mengusik kehidupan anaknya.
"Mau apa dia Sha? Mendingan kamu tidak usah keluar menemuinya."
"Kenapa aku harus takut? Dia hanya cari mati kalau sampai berani membuat keributan di sini."
"Kamu yakin? Butuh bantuan tidak?"
Sasha tersenyum renyah sambil menggeleng. Dia sudah tahu cara yang tepat untuk menghadapi wanita arogan seperti Risti Pradipta.
"Cctv yang di ruang tamu aktif kan, Bang?"
"Aktif kok, kenapa?"
Bukannya menjawab, tapi Sasha malah tersenyum senang.
"Cuma mau sedikit bermain main. Playing victim kadang juga bisa berguna jadi senjata yang mematikan lho Bang. Kalau perlu Bang Andre juga bisa rekam, besok pasti lebih ramai lagi beritanya."
Andre melongo. Sasha benar benar tahu caranya bermain dengan mereka, tapi tetap saja dia khawatir. Apa Sasha lupa, kalau yang dia hadapi sekarang adalah singa betina lapar yang bisa menerkam kapan saja.
"Ingat, jangan keluar sebelum aku suruh!"
"Ok."
Sasha bergegas keluar menuju ruang tamu utama. Dia tersenyum melihat wanita setengah baya yang dulu sudah menghinanya habis habisan itu sudah duduk di sana. Kesempatan itu akhirnya datang juga, menampar balik dengan aib mereka sendiri.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu Nyonya Pradipta?"
Sasha langsung duduk dengan tenang di sofa seberang dimana Risti Pradipta sudah menunggunya. Wanita itu langsung menatapnya sengit, matanya melotot galak seolah ingin menelan Sasha hidup hidup.
"Tidak usah berbasa basi, apa sebenarnya maumu? Kamu sengaja kan ingin menjatuhkan nama baik keluarga Pradipta?"
Sasha mengulum senyumnya, puas sekali dia melihat wajah merah padam wanita yang dulu pernah menghinanya ini.
"Maksud Tante apa ya? Saya hanya menjalankan tugas saya sebagai pengacara Lena Iskandar, lalu letak salahya di mana?"
"Mengaku saja kalau kamu memang ingin balas dendam pada kami. Sekarang kamu puas kan melihat anakku di hujat di mana mana?!"
Mendengar tuduhan pedas dari tamunya itu Sasha justru tertawa pelan sambil menyilangkan kakinya.
"Tante ini lucu sekali. Anak Tante jadi perusak rumah tangga orang, itu fakta. Kenapa saya yang dilabrak? Harusnya Tante mencari Rena dan menasehati dia supaya segera insaf."
"Tutup mulutmu, jangan asal bicara kamu!"
"Bukti sudah di depan mata, jangan pura pura jadi korban di sini. Tante juga seorang wanita dan ibu, apa tidak kasihan melihat Lena Iskandar dan anaknya yang menderita gara gara ulah Rena?"
Risti Pradipta menatap Sasha nyalang, giginya bergemelutuk menahan marah. Ternyata dia salah karena terlalu meremehkan Sasha. Mulutnya sekarang jauh lebih pintar membantah semua perkataannya.
"Berhenti ikut campur urusan ini atau kamu akan menyesal!"
"Tante sedang mengancam saya? Sayangnya saya sama sekali tidak takut."
"Aku tahu, kamu hanya mencari kesempatan untuk membalas sakit hatimu pada kami. Rena tidak salah apa apa, kenapa kamu tega menghancurkan masa depannya?"
"Bagaimana kalau Tante yang berada di posisi Lena Iskandar sekarang? Apakah Tante juga akan bilang wanita perusak rumah tangga Tante tidak bersalah apa apa? Murah hati sekali Tante ini, sampai sampai mau berbagi suami dengan orang lain."
Telak, Risti Pradipta dibuat bungkam tidak mampu menjawab lagi. Sasha benar benar tidak memberinya kesempatan berkelit sedikitpun.
"Apa tidak keliru kalau Tante bilang saya yang sudah menghancurkan masa depan Rena? Bukankah dia sendiri yang dengan suka rela merangkak ke atas ranjang laki laki yang sudah beristri?"
Diam diam Sasha menyeringai puas saat wanita itu menggeram marah. Nafasnya memburu menahan emosinya yang siap meledak.
"Mulut kurang ajarmu itu memang perlu diberi pelajaran, berani sekali kamu menghina anakku!"
"Tante sepertinya lupa kalau dulu juga mengucapkan hal yang sama pada saya, bagaimana rasanya?"
"Dasar kurang ajar!"
Wanita setengah baya itu tidak tahan lagi, dia bangkit dan dengan langkah lebar menghampiri Sasha. Tangannya menjambak kuat rambut Sasha sampai wajahnya mendongak ke atas.
"Apa kamu lupa sedang berhadapan dengan siapa? Wanita arogant seperti kamu memang pantas diberi pelajaran."
Bukannya menjerit kesakitan Sasha justru tersenyum menang, hal itu membuat Risti Pradipta semakin emosi.
"Tante sendiri yang dulu bilang kalau Rena bukan w************n yang mau tidur dengan sembarang laki laki. Nyatanya apa? Sekarang dia juga hamil di luar nikah kan?"
"Ternyata anak Tante lebih rendah dari saya, karena tidur dengan laki laki yang sudah beristri."
Sasha mendekatkan wajahnya dan berbisik lirih di depan wanita setengah baya itu.
"Atau jangan jangan Tante yang mengajari?"
Plak
"Mulut sialan!"
Sasha meringis begitu tangan Risti Pradipta menampar keras wajahnya. Ujung bibirnya terasa panas dan sakit buat main. Tapi bahkan dia tetap tidak mengaduh sedikitpun, meski ludahnya sudah berasa anyir.
"Lepaskan tanganmu!"
"Bundaaa ..."
Bersamaan dengan makian dan tamparan keras yang dilayangkan Risti Pradipta, tiba tiba terdengar jerit tangis anak kecil di sana.
Abimanyu mencengkram kuat tangan Risti Pradipta yang masih menjambak rambut Sasha, kemudian mendorongnya sampai wanita itu hampir terjungkal.
"Bunda."
Risti Pradipta mematung di tempatnya, matanya menatap nanar bocah kecil yang sekarang menangis keras memeluk ibunya.
"Apa Anda tidak malu berlaku sekasar itu di sini?! Anda dari kalangan terhormat, tapi sama sekali tidak mengerti sopan santun."
Abimanyu menatap geram wanita yang kini justru berdiri mematung di hadapannya. Matanya tidak lepas melihat ke arah Cello yang sedang menangis keras di pelukan ibunya.
"Panggil satpam ke sini, cepat!"
Abimanyu marah, suara kerasnya menggelegar di seluruh ruangan. Beberapa dari mereka yang datang saat mendengar keributan langsung berlari memanggil satpam.
"Apa dia anaknya Aksa?"
Akhirnya wanita itu mengeluarkan apa yang ada di pikirannya, meskipun tanpa bertanya pun dia sudah yakin itu adalah anak kandung putranya.
"Tutup mulutmu! Anak mana yang Tante maksud? Anak yang Tante bilang pembawa sial dan Tante sumpahi supaya mati itu kah?!"
Risti Pradipta tidak bisa berkata apa apa lagi. Tangannya terkepal dan gemetar saat Sasha menggendong masuk Cello ke dalam ruang kerjanya.
"Dengar Nyonya! Mulai sekarang jauhkan tangan Anda dari mereka berdua! Saya tidak akan tinggal diam kalau kalian masih berani mengusiknya!"
"Aku tidak punya urusan denganmu, jadi jangan coba coba ikut campur!"
Wanita itu membalas tatapan tajam Abimanyu tanpa sedikitpun rasa takut.
"Apapun yang menyangkut Sasha dan anaknya adalah urusan saya. Jauhi mereka atau kalian akan menyesal!"
Bersamaan dengan itu dua orang satpam datang dan menggiring wanita itu pergi. Tangan Abimanyu mengepal keras, matanya menatap ke arah pintu ruang kerja Sasha. Suara tangis Cello masih terdengar keras dari dalam sana.
***
Sasha memeluk Cello yang duduk di pangkuannya. Matanya sudah basah melihat wajah ketakutan dan jerit tangis anaknya. Dia sama sekali tidak menduga kalau mereka tiba tiba datang ke kantornya. Cello tidak seharusnya menyaksikan pemandangan yang tidak layak seperti tadi.
"Dengarkan Bunda, Cello! Bunda tidak apa apa, orang jahatnya sekarang juga sudah pergi. Cello sudah jangan menangis lagi ya Nak!"
Tidak mempan, anaknya tetap menangis tergugu. Seumur umur memang baru kali ini Cello menyaksikan kekerasan di depan matanya, parahnya lagi bundanya yang jadi korban.
"Anak lelaki tidak boleh cengeng, Cello. Lihat! Bunda baik baik saja kok."
Air mata Sasha mengalir deras, anaknya terlihat benar benar sangat shock. Abimanyu yang baru saja masuk tampak marah sekaligus iba, melihat Sasha yang menangis memeluk Cello yang belum juga bisa berhenti menangis.
Dia menghampiri Sasha dan duduk berjongkok di depan mereka. Tangannya mengelus lembut kepala Cello yang masih terisak.
"Mau digendong Om Abi?"
Tanpa menjawab anak itu menghambur ke pelukan Abimanyu, tangisnya terdengar semakin keras.
"Ayah! Ayah!"
Sasha dan Abimanyu diam membeku di tempatnya. d**a Sasha berdenyut sakit saat mendengar anaknya memanggil ayah pada laki kaki ini.
"Cello, jangan kayak gini Nak!"
Sasha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan tangisnya yang sudah tidak terbendung lagi. Untuk pertama kalinya sejak melahirkan Cello, dia merasa sesakit ini. Semenjak Sasha mengatakan kalau ayahnya sudah mati, Cello tidak pernah sekalipun mengungkit soal itu lagi.
Dia pikir masalahnya akan selesai sampai di situ, tapi ternyata Sasha salah. Anaknya tetap saja merindukan sosok seorang ayah. Dan lebih salah lagi, Cello mendapatkan sosok yang dia cari dalam diri seorang Abimanyu.
Cello langsung terdiam saat berada di pelukan Abimanyu. Bocah itu menemplok nyaman di d**a laki laki yang sudah dia anggap sebagai ayahnya itu.
"Sha."
Abimanyu menyingkirkan tangan Sasha dan menghapus air mata yang masih mengalir di sana. Wanita itu meringis saat Abimanyu mengusap pelan ujung bibirnya yang merah kebiruan bekas tamparan tadi.
"Maaf, nanti aku akan jelaskan pada Cello supaya dia tidak terus salah paham pada Bang Abi."
"Tidak perlu menjelaskan apapun pada Cello, kita yang seharusnya bicara."
Melihat apa yang baru saja terjadi di luar tadi dan luka di wajah Sasha, Abimanyu tidak bisa tinggal diam lagi. Baik Sasha maupun Cello, tidak ada yang boleh menyakiti mereka lagi.
"Ayo pulang! Lukamu harus diobati. Kita akan bicara baik baik pada cello nanti."
Sasha tidak bisa membantah lagi. Abimanyu berdiri menggendong Cello sambil menggandeng tangannya. Tanpa mereka sadari, seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Kedua tangannya mencengkram kuat roda kemudi mobilnya saat melihat kebersamaan tiga orang di depan sana.