Bab.1 Hamil
Sasha POV
Kalau hidup semenyakitkan ini, haruskah aku memilih mati saja supaya semua masalah selesai sampai di sini.
Waktu seperti berhenti dan menertawakan keputusasaanku. Tuhan seakan sedang membuka mataku lebar lebar, memaksaku melihat kembali dosa dan kesalahan apa saja yang sudah aku perbuat selama ini.
Tadinya aku pikir dia akan memeluk dan meyakinkanku semua akan baik baik saja, tapi ternyata salah. Benar benar sulit dipercaya, laki laki yang selama ini terlihat memujaku, kini berbalik mendorongku jatuh ke jurang neraka hidupku.
"Gugurkan saja, aku belum ingin punya anak! Lagi pula aku juga belum siap untuk menikah."
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar apa yang dia ucapkan setelah aku memberitahu tentang kehamilanku. Rasanya seperti terhempas dari ketinggian tanpa batas, lalu hancur tak bersisa. Apa dia lupa, anak yang sedang ditolaknya ini adalah darah dagingnya sendiri.
Semudah itu dia mengatakannya tanpa sedikitpun rasa bersalah di wajahnya. Bagaimana bisa selama ini aku mencintai laki laki yang tak punya hati seperti dia.
Itulah alasan kenapa sekarang aku berdiri di atas jembatan setinggi ini. Di bawah guyuran hujan deras dengan pemikiran sesat yang semakin keras menggaung di kepalaku.
"Mati saja kau, Sha! Dari pada hidup menjadi cemoohan orang lain. Kamu tidak lebih dari sampah sekarang, keberadaanmu hanya akan jadi aib bagi keluargamu!"
Suara suara itu semakin terdengar keras dan terus menggema di kepalaku. Aku seperti raga tanpa nyawa, berdiri terpaku di antara lorong gelap, tersesat kehilangan arah.
Aku bodoh karena percaya saat dia bilang mencintaiku. Aku terlalu lupa diri saat dia merayuku. Dan aku terlalu naif karena percaya bahwa dia akan bertanggung jawab padaku.
Beginilah akhirnya, setelah hamil tidak ada lagi sedikitpun rasa pedulinya padaku. Aku baginya tak lebih dari boneka yang sudah bosan dia mainkan, lalu dibuang.
Hamil? Aku seperti ditampar kenyataan. Bagaimana mungkin aku berani pulang sekarang. Aku tidak akan sanggup lagi menatap wajah bunda yang selama ini begitu menaruh kepercayaan padaku.
Akan sangat menyakitkan melihatnya dihujat karena anak perempuannya hamil di luar nikah, tanpa ada yang mau bertanggung jawab. Sekujur tubuhku bergetar hebat, tanganku mencengkram erat pembatas jembatan.
"Jangan menangis Sasha! Keputusanmu sudah benar, lebih baik mati daripada hidup mempermalukan bundamu."
Kewarasanku semakin lebur ketika perdebatan sengit kami beberapa saat yang lalu kembali menyeruak di kepalaku.
"Aku tidak menginginkan anak itu, dia hanya akan menjadi batu sandungan hidupku. Orang tuaku tidak akan senang kalau tahu aku menghamili wanita sembarangan di luar sana," ucapnya enteng.
"Apa maksudmu dengan wanita sembarangan?! Kamu pikir aku w************n? Jelas jelas kamu tahu, aku baru pertama melakukan itu denganmu!" sahutku geram.
Nafasku memburu, tanganku sudah bergetar ingin menampar mulutnya yang kurang ajar.
"Mana aku tahu, mungkin saja setelah itu kamu tidur dengan laki laki lain. Siapa yang bisa menjamin kalau bayi di perutmu itu adalah anakku," tuduhnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.
Tanganku melayang, menampar keras wajahnya yang kini terlihat begitu memuakkan. Cukup sudah! Aku tidak akan merendahkan harga diriku lagi dengan memohon pada seorang laki laki b***t seperti dia.
"Dengar Aksa! Mulai detik ini aku tidak akan lagi menuntut apapun darimu," teriakku geram.
"Kamu ingin aku menggugurkan bayi ini kan? Kalau begitu anggaplah kamu sudah membunuhnya hari ini. Seumur hidup jangan pernah lagi muncul di hadapanku, apalagi di depan anakku! Camkan itu!" Bentakku keras sambil menuding tepat di depan wajahnya.
Dengan kaki lemas dan kepala pening menahan amarah, akhirnya aku melangkah pergi dari apartement pria itu. Sebulan yang lalu, di sinilah aku menyerahkan mahkota paling berhargaku. Dan hari ini, di tempat yang sama penderitaan hidupku baru saja dimulai.
Selesai, semua sudah berakhir. Untuk apalagi aku tetap di sini kalau hanya menjadi sampah buangan. Kakiku mulai memanjat naik besi pembatas. Mataku memburam perih karena terus menerus menangis sepanjang jalan dari apartement pria itu.
Suasana di sekitar jembatan tampak lengang, apalagi hari sudah mulai merangkak malam dan hujan yang mengguyur kian deras.
Tanpa sadar aku mengusap lembut perutku. Rasa bersalah menghantamku tanpa ampun, benar benar menyakitkan. Tuhan, kenapa semua harus berakhir seperti ini.
"Maafkan Bunda ya Nak. Bahkan Bunda tidak berhak memaki ayahmu, karena nyatanya Bunda sendiri tidak lebih baik dari dia. Ayo kita pergi, di sana kita tidak akan tersakiti lagi!" gumamku lirih.
Mataku menatap nyalang ke bawah sana. Hening, hanya suara hujan dan deras arus sungai yang terdengar bergemuruh keras. Air mataku jatuh tak tertahan saat wajah sedih bunda terlintas jelas di benakku. Betapa durhakanya aku ini.
"Maafkan aku, Bunda, tapi aku tidak sanggup kalau harus hidup dengan menanggung rasa sakit seperti ini." Gumamku lagi dengan suara bergetar dan mata terpejam.
"Hei, awas!"
Hanya beberapa detik sebelum aku melompat ke arus sungai di bawah sana, tiba tiba tubuhku ditarik kuat ke belakang hingga jatuh terjengkang di atas jalanan.
Bukan di atas kerasnya aspal jalanan, tapi jatuh di atas tubuh kokoh seorang laki laki asing yang masih terlentang sambil memeluk erat pinggangku dari belakang.
"Apa kamu sudah gila?! Kamu bisa mati kalau melompat dari jembatan setinggi ini!"
Teriakan keras laki laki itu seperti menghempaskan kembali akal sehatku. Aku duduk bersimpuh dengan tubuh menggigil kedinginan.
Dia membantuku bangun dan membawaku berteduh di bawah pohon besar tak jauh dari jembatan. Tangisku pecah, terisak pilu dengan baju basah kuyup dan tubuh gemetaran. Ya Tuhan, apa yang baru saja aku lakukan?
"Aku tidak tahu kenapa kamu ingin melompat dari jembatan itu. Tapi Nona, apapun masalahmu, jangan pernah punya pikiran ingin mengakhiri hidupmu begini. Itu tindakan yang sangat bodoh," ucapnya menasehatiku sambil terus menatapku iba.
Aku semakin menggigil kedinginan karena terlalu lama terguyur air hujan. Laki laki itu melangkah ke mobilnya dan mengambil handuk juga selimut kecil, kemudian menyerahkannya padaku.
"Maaf, hanya ini yang ada di mobilku. Keringkan dulu wajah dan rambutmu, setidaknya bisa mengurangi dinginmu," katanya lembut.
"Terima kasih," sahutku lirih.
Dia masih terdiam memperhatikanku dengan seksama, sorot matanya dalam dan tidak terbaca. Apakah aku memang terlihat semenyedihkan itu?
"Siapa namamu dan di mana rumahmu?" tanyanya.
Aku mendongak, menatap orang asing yang baru saja menyelamatkanku dari tindakan bodoh.
"Sasha, namaku Sasha Dewanti. Rumahku agak jauh dari sini," jawabku.
"Kalau begitu biar aku mengantarmu pulang. Tidak ada angkutan umum yang melewati jalan ini," tawarnya tulus.
Aku diam tidak menjawab, tanganku kembali gemetar meremas handuk yang sedang kupegang.
Pulang? Lalu bagaimana aku harus memberitahu bunda tentang kehamilanku. Bagaimana kalau bunda marah dan mengusirku pergi.
"Kenapa? Kamu keberatan aku mengantarmu pulang?" tanyanya setelah melihatku masih diam mematung.
"Bukan begitu, hanya saja ..."
Aku tidak bisa melanjutkan lagi kata kataku, suaraku seperti tersangkut di tenggorokan. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Kamu ada masalah dengan keluargamu? Maaf kalau aku lancang bertanya, siapa tahu saja aku bisa membantumu." Tanyanya dengan hati hati, mungkin khawatir niat baiknya justru akan membuatku tidak nyaman.
Aku menggeleng pelan, hanya tidak ingin merepotkan pria ini lagi. Apalagi dengan pakaianku yang basah kuyub begini, mana mungkin aku duduk di mobil mewahnya.
"Terima kasih, tapi tidak usah repot repot mengantarku pulang. Saya bisa berjalan sampai ke tempat yang bisa untuk memesan ojek," tolakku sopan.
"Memangnya kamu tidak takut berjalan jauh sendirian? Sekarang sudah hampir malam dan hujan." Tanyanya sekaligus mengingatkan aku tentang situasi di tempat ini.
Aku kembali terdiam. Mataku menyapu keadaan sekitar yang sepi, gelap dan hujan. Memang benar yang pria ini katakan, tapi sangatlah tidak sopan kalau aku sampai mengotori mobilnya.
"Apa karena bajumu basah, jadi kamu takut mengotori mobilku?" terkanya sambil mengernyit menatapku.
Aku mengangguk, pria ini seperti cenayang yang bisa membaca pikiranku. Dia tertawa kecil sambil menuntunku masuk di kursi penumpang mobilnya.
"Aku sudah mematikan ACnya supaya kamu tidak semakin kedinginan," jelasnya saat dia sudah duduk di belakang kemudi.
"Terima kasih, kalau boleh tahu siapa nama Anda?" Tanyaku pada laki laki ini. Sangat tidak sopan jika aku tidak menyapa dengan menyebut namanya, sedang dia sudah begitu banyak membantuku.
"Abimanyu Nugroho," jawabnya sambil menoleh dan tersenyum ramah.
Aku mengangguk mengerti, kemudian menoleh menatap keluar jendela mobil. Pikiranku buntu, rasanya benar benar bingung menentukan langkah apa yang harus aku ambil setelah ini.
Beranikah aku mengatakan tentang kehamilanku pada bunda? Bagaimana juga dengan rencana kuliahku nantinya? Sudah siapkah aku membesarkan anakku seorang diri? Dan masih banyak lagi masalah yang membuatku semakin pusing memikirkan jalan keluarnya.
Mataku kembali memburam panas, hampir saja aku membuat kesalahan yang lebih fatal lagi. Kalau saja laki laki yang sedang menyetir ini tidak datang tepat waktu, pasti sekarang aku sudah mati terseret arus deras sungai itu.
"Maafkan Bunda ya Nak. Bunda bukannya tidak menginginkan kehadiranmu. Apapun yang akan terjadi nanti, Bunda janji akan tetap berjuang untuk membawamu lahir ke dunia dengan selamat."
***
Abimanyu POV
Aku menghela nafas pelan saat kembali mendengar isak lirihnya. Keadaan gadis ini benar benar kacau, tubuhnya basah kuyup dan wajah pucat pasi. Dia tampak begitu putus asa. Tatapannya yang kosong tak urung mengusik rasa ibaku.
"Setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Kamu masih sangat muda, jalanmu masih panjang. Jangan pernah lagi memiliki pemikiran bodoh seperti tadi," tuturku hati hati supaya gadis ini tidak tersinggung.
Dia hanya mengangguk sambil mengusap air matanya yang terus mengalir. Sepanjang perjalanan tidak ada lagi yang bicara, aku menatap jalanan di depan yang padat merayap.
Diam diam mataku kembali melirik gadis berwajah cantik di sampingku itu. Apa sebenarnya yang terjadi dengannya? Apa seberat itu masalah yang dia hadapi, sampai sampai nekad ingin melompat dari jembatan setinggi itu.
Bahkan kalau diperhatikan, umurnya pasti masih sekitar dua puluh tahunan. Dia terlihat seperti anak SMA. Aku menggeleng pelan. Kalau tadi aku terlambat sedetik saja menariknya, pasti sekarang gadis ini sudah mati.
"Kamu masih sekolah?" tanyaku.
"Baru saja lulus SMA," jawabnya singkat.
"Ada rencana kuliah?" tanyaku lagi.
"Tadinya ada, sekarang tidak tahu lagi apakah masih bisa." Sahutnya terdengar begitu putus asa.
Aku menoleh, senyum masamnya terlihat begitu dipaksakan. Poor girl, ada apa sebenarnya dengan gadis ini.
"Itu rumahku! Yang pagar bercat hitam di depan," ucapnya menunjuk ke sebuah rumah tak jauh di depan sana.
Aku mengangguk mengerti, kemudian mulai memelankan laju mobilku dan berhenti tepat di depan rumah itu.
"Sekali lagi terima kasih sudah menyelamatkan dan mengantarku pulang. Maaf, bangku mobilnya jadi kotor dan basah," ucapnya sopan sambil meringis sungkan.
"Tidak apa apa, itu hanya soal kecil. Masuklah! Apapun masalahmu semoga bisa terselesaikan dengan baik," balasku sembari mengedikkan daguku menyuruhnya segera masuk rumah.
"Terima kasih dan sampai jumpa," ucapnya kemudian.
Aku tersenyum membalas ucapan gadis cantik itu dengan melambaikan tangan. Baru setelah Sasha masuk ke dalam rumahnya, aku kembali melajukan mobil meninggalkan tempat itu.
Ada rasa tidak tega saat melihatnya menangis terisak. Ingin sekali bertanya apa yang menjadi masalahnya, siapa tahu aku bisa membantunya.
Tapi siapa lah aku, hanya orang asing yang kebetulan lewat dan menyelamatkannya dari tindakan bodoh. Melihat aksi nekadnya, aku yakin pasti masalahnya tidak sesederhana itu.
Sudahlah. Bukankah memang setiap orang pasti punya masalah, bahkan aku sendiri masih terbelenggu dengan masalah hati dan masa laluku.
Kenapa aku bisa melintas di jalan yang sepi itu? Karena hari ini tepat setahun kepergian anak dan istriku. Sejak siang tadi aku menghabiskan waktuku di makam mereka.
Siapa yang menyangka di perjalanan pulangku, justru melihat seorang gadis yang hendak melompat dari jembatan itu.