Saat keluar dari Kantor Polisi untuk membuat laporan tentang pemukulan itu, Sasha dan Andre sudah dicegat banyak wartawan.
"Ada masalah apa antara Anda dengan Nyonya Pradipta?"
"Untuk urusan apa Nyonya Pradipta datang ke kantor Sadewo?"
"Apa yang kalian bicarakan sampai Nyonya Pradipta emosi memukul Anda?"
Meski dihujani banyak pertanyaan Sasha memilih bungkam dan berlalu pergi begitu saja. Dia memang sengaja tidak menjawab supaya mereka terus berspekulasi tentang insiden itu.
Setelah Andre memposting rekaman video itu semalam, dunia maya semakin gencar menghujat habis habisan keluarga Pradipta.
Seakan belum cukup dengan skandal Rena Pradipta yang masih panas dibicarakan, sekarang Ibunya sengaja mendatangi kantor pengacara pihak penuntut dan melakukan pemukulan.
"Setelah ini rencana kamu apa Sha?"
"Menunggu lawan lengah, baru kita pukul mundur. Paling sebentar lagi juga sudah merengek rengek minta damai."
"Kamu benar benar mau Si Nyonya dipenjara?"
"Ya terserah dia mau pilih yang mana, masuk penjara atau datang meminta maaf."
"Kamu jangan berharap banyak dulu. Mereka punya uang dan relasi Sha, kemungkinan untuk lolos masih tetap ada."
Sasha manggut manggut setuju, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja.
"Mereka punya uang dan relasi, tapi kita punya otak Bang. Kita lihat saja sejauh mana mereka bisa tahan dibully para netizen"
Andre tertawa keras, wanita satu ini benar benar luar biasa nekadnya. Dia bahkan sama sekali tidak merasa takut sedikitpun, padahal yang sedang dia tantang sekarang adalah keluarga konglomerat Pradipta.
Tatapan mereka beralih ke pintu yang baru saja diketuk dari luar. Sari, asisten Sasha muncul dari balik pintu warna hitam besar itu.
"Mbak, ada tamu di luar."
"Siapa?"
"Bapak Daniel sama pengacaranya."
Sasha segera berdiri dari kursi kerjanya dan melangkah keluar. Sepertinya pria itu belum menyerah juga untuk mendapatkan hak asuh anaknya.
"Jangan ngajak orang untuk berantem lagi ya Sha, sayang sayang itu wajah cantik nanti bonyoknya makin parah."
Sasha tertawa mendengar sindiran Andre. Iya kali dia berani ngajak berantem Daniel, bisa bisa dia berakhir di rumah sakit.
"Selamat sore Pak Daniel, ada yang bisa saya bantu?"
Sekedar berbasa basi, Sasha menyalami mereka dulu sebelum duduk di sofa.
"Bilang sama Lena untuk menyerahkan hak asuh Vian padaku."
"Atas dasar apa Anda meminta Mbak Lena menyerahkan hak asuh anaknya? Dia ibu kandungnya, dilihat dari sudut pandang manapun Mbak Lena jauh lebih berhak mengasuh Vian."
"Tapi aku lebih bisa menjamin kehidupan anakku dan bisa memberi semua yang terbaik untuk Vian."
Sasha tertawa, matanya menatap sinis laki laki b******k yang tetap saja sombong, meski sudah dihujat di sana sini.
"Bagaimana bisa Anda menjamin kehidupan Vian, kalau keadaan Anda sendiri juga sedang di ujung tanduk sekarang."
"Apa maksudmu?"
Sasha tahu laki laki ini mulai gelisah, dia takut boroknya mulai tercium. Sesekali matanya melirik ke samping, di mana pengacaranya duduk menyimak pembicaraan mereka.
"Berapa jumlah uang yang sudah Anda dapat dari Rena?"
Daniel terkejut bukan main, wajahnya langsung terlihat pucat pasi. Sasha tersenyum girang, laki laki itu sudah seperti maling yang tertangkap basah.
"Kamu keluar dulu! Aku mau bicara empat mata dengan dia."
Ternyata dia masih punya malu juga. Pengacara pria itupun undur diri dari pembicaraan mereka.
"Kenapa? Malu ya ada yang dengar borok Anda saya bongkar?"
"Jangan mengada ada! Aku sendiri punya perusahaan dan banyak uang, untuk apa memintanya pada Rena."
"Perusahaan yang sudah diambang bangkrut itu maksud Anda?! Jangan kira saya tidak tahu kecurangan apa yang sudah Pak Daniel lakukan untuk mendapatkan tender real estate itu!"
"Sialan!"
"Jangan coba coba bikin ulah Pak Daniel! Cukup diam dan tidak usah hadir di sidang supaya proses perceraian kalian tidak bertele tele lagi."
"Apa yang kalian mau sebenarnya?"
Sasha tersenyum menang, manusia sejenis ini memang harus digertak dulu, biar bisa lebih tahu diri.
"Jangan lagi menuntut hak asuh Vian, juga jangan mencoba mengancam Mbak Lena dengan mengusik agencynya."
"Hanya itu kan?"
Sasha mengangguk puas, sangat berbanding terbalik dengan wajah Daniel yang sudah merah padam.
"Kartu Anda ada pada saya, jadi saya ingatkan untuk tidak berbuat curang."
"Mulut saya kadang licin, tidak tahu kapan tiba tiba saya tidak sengaja mengatakan semua pada orang tua dan kakak Rena. Anda sendiri tahu kan, apa hubungan saya dengan mereka."
Sasha menyeringai saat Daniel pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Dia benar benar tidak habis pikir, bagaimana bisa Rena sampai sebodoh ini.
Sasha sebenarnya sedikit kasihan dengan mantan sahabatnya itu. Apa istimewanya laki laki b******k seperti Daniel, sampai sampai dia mau saja dimaanfatkan dan dikuras uangnya.
Ponselnya berdering, Sasha mengernyit saat ada nomor asing yang menghubunginya.
"Hallo."
"Sha, ini aku, Rena."
"Ada apa? Kemarin mama dan kakakmu yang datang mencariku, kekasihmu juga baru saja pergi dari sini dan sekarang ganti kamu yang menghubungiku. Ada apa dengan kalian sebenarnya? Kenapa senang sekali menggangguku?"
"Bisakah kita ketemu sebentar? Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu."
"Aku sibuk."
"Tolong Sha, sebentar saja. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu."
Sasha mendengus kesal. Dia benar benar malas berurusan lagi dengan mereka, tapi satu persatu mereka justru datang silih berganti mengusiknya.
"Di mana?"
"The Lounge, jam tujuh aku tunggu kamu di sana"
"Ok."
"Terima kasih, Sha."
Sasha mengakhiri sambungan telfonnya begitu saja. Sebenarnya bisa saja dia menolak ajakan Rena, tapi biar bagaimanapun mereka pernah menjadi sahabat baik selama lima tahun.
Sasha POV
Saat aku tiba di sana, Rena sudah menunggu di sebuah ruang VIP. Yang membuatku emosi adalah seseorang yang datang bersamanya malam ini, Aksa.
Terlanjur datang, akupun terpaksa duduk untuk mendengar apa yang mau mereka bicarakan. Rena tampak meringis saat melihat wajahku yang sudah tidak tertutup masker.
"Maaf ya Sha."
"Aku sudah berbaik hati mau datang menemuimu, tapi apa ini?! Kenapa dia ada di sini?!"
"Bagaimana lukamu?"
Aku mendengus keras saat Aksa bertanya sambil menatapku khawatir.
"Bukankah kalian bisa melihatnya sendiri, apa seperti ini bisa dibilang baik baik saja?! Tidak usah basa basi, katakan saja apa mau kalian?"
Rena tampak gelisah di kursinya, seperti ada hal yang takut untuk dia sampaikan.
"Bisakah kamu mencabut laporan pada mamaku, Sha?"
Aku tertawa terkekeh, sudah aku duga sebelumnya maksud Rena mencariku.
"Jangan harap! Dulu kalian bisa seenaknya menghina kami, tapi sekarang aku tidak akan tinggal diam lagi."
"Dia sudah terlalu tua untuk berurusan dengan hukum, Sha. Jadi tolong sekali ini saja, maafkan mamaku."
"Kalau sekarang aku melepasnya begitu saja, entah apa lagi yang akan dia lakukan pada kami lain kali."
"Tidak akan, aku jamin ini yang terakhir kali mamaku berulah."
"Kamu?! Bagaimana kamu bisa menjaminnya, sedangkan kehidupanmu sendiri saja juga sudah berantakan sekarang."
Kata kataku berhasil membungkam Rena, dia menunduk dengan wajah merah padam. Sedang Aksa masih betah membisu, hanya matanya yang tak pernah lepas menatapku sejak tadi.
"Berhentilah kalian mengusikku! Setelah kasus ini selesai, aku tidak ingin lagi berhubungan dengan kalian."
"Tunggu Sha!"
Aksa buru buru mencegah saat melihatku berdiri hendak pergi dari sana.
"Apa lagi?"
"Aku ingin bicara denganmu."
"Tapi aku tidak."
"Sebentar saja, aku tidak akan menahanmu terlalu lama di sini."
Setengah terpaksa, akhirnya aku kembali duduk di kursiku, sementara itu Rena pamit untuk mengangkat telfonnya.
"Bolehkah aku bertemu dengan Cello?"
Aku menggeleng tidak percaya, ternyata dia belum menyerah untuk meminta dipertemukan dengan Cello.
"Jangan mulai lagi, kamu bahkan tidak pantas untuk sekedar bertemu dengan Cello. Jangan harap aku akan mengijinkanmu bertemu dengan anakku!"
"Tolong Sha, aku mohon sama kamu. Dulu aku juga terpaksa karena mama mengancam akan menghancurkan keluargamu kalau aku menolak menikahi Riana."
"Lalu apa bedanya?! Dengan kamu mencampakkan kami, bukankah hidup kami juga sama hancurnya."
"Hari itu sepulang dari apartementmu seharusnya aku sudah mati terjun dari atas jembatan."
Aksa terperangah kaget, wajahnya menatapku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
"Aku terlalu sakit hati, takut untuk pulang dan mengecawakan bundaku. Kemana saja kamu waktu aku membutuhkan kehadiranmu?"
"Maaf."
Aku menggeleng, buat apa dia minta maaf sekarang. Aku tidak membutuhkannya lagi.
"Kamu dan Rena juga melihat sendiri bagaimana mamamu mendatangiku di rumah sakit. Dia ingin aku menggugurkan kandunganku, menghina dan menginjak injak harga diri kami. Kamu bahkan hanya diam dan tidak berbuat apa apa untuk membelaku. Dasar pengecut kamu, Aksa!"
"Sasha ..."
"Aku menyesal pernah begitu mencintaimu. Karena kebodohanku, sekarang anakku yang harus menanggung akibatnya. Sejak lahir dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ayah seperti anak lainnya."
"Kalau begitu sekarang kita bisa membesarkannya bersama sama, aku akan menebus waktu lima tahun yang sudah terlewatkan."
Terlanjur geram, aku menyambar gelas berisi air putih di hadapanku, lalu menyiramkan ke wajahnya.
"b******k! Sialan kamu, Sa! Aku tidak serendah adikmu yang dengan senang hati mau menjadi wanita perusak rumah tangga orang."
Aksa dengan tenang membersihkan wajahnya dengan sapu tangan. Tidak ada sedikitpun raut marah, dia justru tersenyum kecil melihatku yang berteriak memakinya.
"Kalau begitu aku akan menceraikannya dulu, gampang kan!"
Tanganku benar benar sudah gemetaran ingin menampar mulutnya. Aku seperti tidak mengenal lagi laki laki ini, terlalu banyak hal yang berubah darinya.
"Kamu pikir kamu siapa? Kalaupun sekarang statusmu sudah bukan lagi suami orang, aku tetap tidak sudi kembali padamu."
"Apa karena laki laki yang bernama Abimanyu itu kamu menolakku sekarang?!"
Aku memejamkan mataku, kepalaku pening mendengar omongannya yang semakin ngawur dan tidak masuk akal.
"Kamu tahu, Abimanyu adalah orang yang menyelamatkan aku waktu itu. Itulah kenapa ada Abimanyu di nama anakku. Karena tanpa laki laki itu, aku dan Cello juga sudah mati dari enam tahun yang lalu."
Dia masih tampak terkejut mendengar ceritaku. Aku menghela nafas panjang saat tatapan mata kami bertabrakan. Tidak banyak yang berubah dari wajah tampannya, enam tahun berlalu dia semakin terlihat matang di umurnya yang ke dua puluh sembilan.
Apa kabar dengan hatiku?
Bohong kalau aku bilang sudah benar benar melupakannya. Ada darahnya yang mengalir di tubuh anakku, ada garis kemiripan di wajah Cello dengannya, mana mungkin semudah itu melupakannya. Tapi hanya sekedar untuk dikenang, aku tidak sebodoh itu akan jatuh di lubang yang sama.
"Aku masih mencintai kamu, Sha."
Aku tertawa pelan, lelucon apa lagi yang dia coba sampaikan.
"Tapi aku tidak. Aku bukan lagi gadis lugu juga bodoh yang gampang termakan rayuanmu seperti dulu."
Dia menghela nafas, ada senyum getir di wajahnya. Laki laki ini seperti putus asa saat membalas tatapanku.
"Aku tidak pernah mencintai wanita selain kamu, termasuk juga istriku. Enam tahun menikah, aku tidak pernah bisa membuka hatiku untuknya."
"Sudah berkali aku kali menawarkan perceraian padanya, tapi dia memilih bertahan sampai sekarang."
"Aku tidak berminat dengan drama rumah tangga kalian. Apapun itu, tidak ada urusannya denganku."
"Sha, beri aku kesempatan untuk membesarkan Cello bersamamu. Aku akan berusaha jadi ayah yang baik untuk anak kita."
"Kalau kamu mengatakan ini enam tahun yang lalu, aku pasti akan menangis bahagia. Sayangnya, sekarang kami tidak lagi membutuhkan kehadiranmu."
"Apa hubunganmu dengan Abimanyu?"
"Bukan ranahmu untuk mengurusi kehidupan pribadiku. Kepada siapa aku jatuh cinta, itu sama sekali bukan urusanmu."
"Kamu pikir keluarganya mau menerimamu juga Cello?"
"Tutup mulutmu!"
Aku menatap nyalang laki laki di hadapanku ini, tubuhku terasa panas dengan nafas memburu tersulut emosi yang mulai membakarku.
"Kalau kamu mau menikah dengan laki laki itu, serahkan Cello padaku! Kamu bisa memulai kehidupan barumu, Cello juga tidak akan menjadi penghalang kebahagianmu."
Plaakk
Aku berdiri dan menampar keras wajahnya. Sudah cukup aku mendengar ocehannya yang tidak masuk akal itu. Inilah maksud dia sebenarnya, ingin mengambil Cello dariku. Rena yang kebetulan masuk dan melihat semua, tampak menjerit terkejut.
"Coba saja merebut Cello dariku kalau kamu bisa dan lihat apa yang akan aku lakukan untuk menghancurkan kalian!!"
"Tidak seharusnya aku datang ke sini, orang seperti kalian memang tidak lebih berharga dari sampah."
"Aku tidak peduli! Aku tetap menginginkan Cello, dengan ataupun tanpamu!"
Aku mengangguk paham, jadi mereka mulai menunjukkan wajah aslinya.
"Kalau begitu ayo kita buktikan! Toh aku tidak takut kehilangan apa apa selain anakku. Tapi Pradipta tentu saja tidak sama, apa kalian siap kehilangan semua?!"
"Anak perempuannya menjadi pelakor dan hamil di luar nikah, Ibunya melakukan pemukulan pada pengacara dan sekarang kebejatan anak laki laki mereka di masa lalu juga akan diumbar di depan publik."
"Waahh, bukankah keluarga Pradipta memang luar biasa busuknya. Bahkan sekarang kalian mencoba merebut anak yang dulu sudah ingin kalian bunuh sejak di dalam kandungan."
"Sha, jangan kayak begini. Kita bicara baik baik, Kak Aksa tidak punya niat merebut Cello dari kamu."
Aku menatap mereka bergantian, Aksa yang masih duduk terpaku menatapku dan Rena yang sudah ketakutan melihat kemarahanku.
"Aku mempertaruhkan seluruh hidupku untuk anak yang tidak pernah kamu inginkan. Kalau sekarang kamu ingin merebutnya, bukankah sama saja kamu ingin membunuhku?"
Air mataku mulai jatuh bercucuran, dadaku turun naik menahan amarah yang semakin membakarku.
"Lakukan saja semua rencana di kepalamu itu, jangan sebut aku Sasha kalau aku tidak bisa menghancurkan keluarga Pradipta. Camkan itu!"
"Dan kamu Rena, kalau ingin aku mencabut tuntutanku, boleh saja. Suruh mamamu datang dan meminta maaf pada bundaku. Kamu juga melihat dengan mata dan kepala sendiri, bagaimana dia dulu menginjak injak harga diri kami."
Tanpa menoleh lagi, aku langsung pergi dari tempat itu. Tidak peduli mereka yang terus berusaha mengejar dan memanggil manggil namaku.
Brengsek! Sialan! Sampah! Bagaimana mungkin ada manusia seperti mereka. Ingin merebut anakku, langkahi dulu mayatku!