"Mas Rasya, peluk." Memeluknya di keramaian? Yang benar saja. "Ish. Kamu apa-apaan, siih?" "Mas Rasya, aku beneran takut. Ternyata naik kereta gantung begitu mengerikan. Sini Mas Rasya." Aku menyentak napas. Ish. Ada-ada saja si Bocah. Lihatlah. Matanya sekarang berkaca-kaca seakan hendak menangis. Memang benar-benar sangat cingeng. Aku menghela napas panjang lalu mendekat ke arahnya. Dia langsung memeluk lenganku erat seakan tak ingin dilepas lagi. Mirip ulat keket yang melekat di rambut. Aku bagai menikah dengan anak kecil saja. Kutarik napas panjang. Sabar Rasya. Sabar. Dia adalah istrimu. "Mas Rasya kenapa sangat membenciku?" Dia mendongakkan wajahnya, menatapku tak nyaman. "Mas Rasya kan tahu aku sangat mencintai Mas Rofi. Aku tak mungkin membunuh suamiku sendiri." "Tapi jika ka