1
"Mas, aku hamil."
"Astaghfirullah!" Lelaki yang berdiri di hadapanku terlonjak kaget. Gelas teh yang ia bawa terlepas dari tangan, jatuh berserak di dekat kakinya. Ia melompat mundur dengan wajah meringis. Tampak kepanasan oleh tumpahan air teh yang melebar menyentuh kaki telanjangnya.
"Astaghfirullah." Ia kembali mengusap-usap dadanya dengan wajah luar biasa kaget. Juga kecewa.
Ya. Aku tahu kenapa lelaki tampan memesona ini terlihat luar biasa geram. Lima bulan lebih, kami tak pernah berhubungan suami istri. Bukan karena kami ada masalah, ya, tapi karena si Qila belum lama menikmati dunia. Suamiku tak pernah meminta melayaninya di tempat tidur karena tak ingin menyakitiku. Aku baru melahirkan 5 bulan lewat.
Kami menikah 6 tahun lalu tapi baru dikaruniai Qila setelah tak putus-putus berdoa diiringi ihtiar. Puluhan kali kami ganti dokter kandungan dan akhirnya lahirlah Qila, bocah mungil berbadan montok yang tengah tengkurap di ranjang tak jauh dari kami. Bocah menggemaskan itu tengah berceloteh sambil mengisap ibu jari. Sungguh menggemaskan bayi mungilku itu, bukan? Matanya yang bundar jernih dan pipinya yang gempil membuat tetanggaku selalu ingin menggendongnya.
Kami hidup berbahagia. Sangat. Mas Rofi lelakiku tercinta ini amat lembut dan begitu penyayang. Aku pun sebaliknya, jadi semakin manja. Maklum, aku bungsu dari tiga bersaudara. Cewek sendiri, pula. Jadilah aku dimanja orang tua dan dua kakak lelakiku. Tak sungkan, aku dan Mas Rofi bermesraan di depan Ibu atau Bapak mertua. Sampai kadang kakak iparku yang galak dan pendiam itu menegur. Ah. Sudahlah. Tak usah bahas kakak iparku yang jutek itu sekarang. Bisa membuat darting. Iya darting. Darah tinggi.
"Kamu hamil sama siapa?!" Terlihat lelaki gagah ini menahan amarah. Tatapannya tertambat pada Qila yang terus berceloteh riang. Eeeh. Eeeeh.
Ah bocah itu lucu sekali sampai aku ingin berlari untuk menggendongnya, mendaratkan ciuman bertubi-tubi.
"Jawab kamu hamil sama siapa?!" Suamiku mengusap-usap dadanya dengan wajah seperti singa tengah mengintai mangsa.
Enam tahun bersama, tak pernah kulihat suamiku semarah ini. Suamiku selalu lembut.
Aku berpaling. Lantas tersenyum kecil. Kena, kamu, Mas. Ya. Ini adalah hari ulang tahunnya. Aku tak mau memberinya kejutan monoton yang biasa-biasa saja seperti tahun sebelumnya. Aku menghitung mundur dari 10. Sebentar lagi, lagu selamat ulang tahun akan menggema memenuhi ruangan lalu Ibu mertua dan Bapak akan keluar dari kamar membawa kue tar.
"Jawab kamu hamil sama siapa?!" Nada suamiku semakin mengentak-entak. Aku menahan diri agar tak tersenyum. Di ranjang, si Qila tengah salah paham. Bocah itu menangis kencang, barangkali mengira tengah dimarahi ayahnya.
Delapan.
Tujuh.
Enam.
Suamiku menggigit bibir lalu kedua tangannya mengurut-urut d**a. Wajahnya yang tadi sangat geram terlihat begitu kesakitan.
"Mas. Mas. Mas kamu kenapa! Maas!" Aku berlari ke arahnya hendak menolongnya yang terhuyung, tapi dia menepis kuat tanganku dengan tatapan memancar sinis penuh kebencian.
"Mas. Mas aku hanya bercanda. Mas!"
Suamiku mengurut-urut d**a sambil menggigit bibir tampak sangat kesakitan.
"Ibuuu! Bapaak!" teriakku histeris. Kedua mertuaku langsung keluar dari kamar dengan kue ulang tahun di tangan.
"Mas aku hanya bercanda, Mas!"
"Fi! Rofi!" Teriak ibu mertuaku panik, melempar kue dari tangannya begitu saja.
Keringat membasah di wajah suamiku yang kini memucat. Tiba-tiba, menggema lagu yang tadi kunanti-nantikan.
Selamat ulang tahun
Selamat ulang tahun
Panjang umurnya
Panjang umurnya
"Mas! Mas!" Teriakku histeris.
"Fii! Rofiiii!" Ibu tak kalah histeris.
"Oeeeeek. Oeeeeek. Oeeeeek." Qila menangis keras setelah sempat terdiam.
"Ayo bawa ke rumah sakit. Ayoo!" Teriak Bapak yang juga terlihat syok.
Selamat ulang tahun
Selamat ulang tahun
Panjang umurnya
Panjang umurnya
Lagu itu mengiringi langkah kami yang tergesa menuju mobil.
***
"Ibu, Bapak, kami sudah berusaha. Tapi ...."
Ucapan dokter yang menggantung membuatku sangat yakin ada yang tak beres. Aku langsung mendorong pintu lalu menerjang masuk. Mas Rofi terbaring dengan mata terpejam dan kedua tangan bersidekap di d**a. Wajahnya begitu pucat. Aku memeluknya dan menangis kencang.
"Mas! Mas! Mas bangun mas! Aku hanya bercanda! Mas bangun!"
Aku menoleh saat Ibu dan Bapak menyusul masuk. Ibu langsung mengusap-usap bahuku, berkata menenangkan seolah begitu tabah tapi mata Ibu basah.
"Mas bangun Mas! Bangun Mas! Bangun Mas! Maaaas!" Kuguncang-guncang tubuh suamiku yang hanya diam. Aku kian terisak kencang.
Pintu didorong kasar dari luar, tampak kakak iparku yang galak itu terpaku di ambang pintu. Menatapku penuh kebencian.
"Mas bangun Mas, kenapa tinggalin aku! Jangan tinggalin aku dan Qila, Maas! Maaas!" Kupeluk erat tubuhnya sambil tak henti berseru menyuruhnya bangun. Air mata di pipi kuseka cepat, tapi kembali mengalir deras, menetes membasahi wajah suami tercinta.
Aku tercekat memandang wajahnya. Jantungku berdetak kencang membayangkan hari yang harus tetap dilalui setelah ini. Membesarkan Qila sendirian, mana aku bisa? Selama ini, seringnya Mas Rofi yang terbangun tengah malam menjaga anak semata wayang. Ia hanya akan membangunkan istrinya ini saat Qila menangis minta ASI. Kugigit bibir kuat dan tersengal, seolah batu sangat besar ditindihkan di dadaku. Amat sakit dan sesak rasanya sampai aku kesulitan bernapas.
"Mas, mas. Lihat aku, Mas. Jawab ucapanku!" Kuguncang-guncang tubuh lelakiku yang tak juga bergeming. Kenapa tega tinggalin aku, Mas? Mana janji yang selalu mengatakan akan setia dan mendampingiku sampai tua?
Masih terpahat segar dalam ingatan, beberapa tahun lalu saat aku merebah di dadanya dan berkata dengan manja seperti biasa. Tanganku bergerak naik turun di dadanya yang tak berbusana. "Kalau aku gak hamil jugaa, kalau aku gak bisa lahirin anak buat Mas, bakalan tinggalin aku nggak? Atau bakal poligami?" Aku menatapnya ingin tahu.
Tangannya membelai lembut rambutku, ia tertawa kecil dan menggelengkan kepala. "Cintaku sudah terkunci di kamu. Gak bisa ke mana-mana lagi. Kita akan selalu bersama sampai tua dengan atau tanpa anak." Dikecupnya keningku lembut, dengan tatapan penuh sayang yang membuatku selalu betah di dekatnya, merebah di dadanya menikmati bunyi detak jantungnya yang teratur. Suamiku sangat lembut, bukan? Selain itu, ia juga sangat perhatian.
"Kalau poligami?" Aku memperhatikan wajahnya, ingin melihat reaksinya atas pertanyaanku.
Suamiku langsung terpingkal-pingkal, membuat tubuhnya di mana wanitanya sedang merebah sedikit berguncang. "Satu saja sudah membuatku repot banget apalagi dua? Tak pernah terpikir." Ia menyentil hidungku dengan tatapan menggoda.
Mengingat itu semua membuat jantungku bagai diremas kuat-kuat, sakit tak terkira. Membayang di benakku tatapan tak suka Mas Rasya saat kuutarakan ide ingin memberi suami kejutan yang tak biasa. Mas Rasya berkata tak perlu neko-neko. Lelaki jutek itu memang selalu tak suka tindakanku.
"Mas." Serak, saraku terdengar, menggema di ruangan yang sepi ini. Bapak terdiam. Sementara Ibu terisak kecil. Anak sulungnya menatap Mas Rofi tampak begitu kehilangan.
Kudaratkan kecupan ringan di pipi suamiku, lalu ciumanku merambat di keningnya, bibirnya, sambil berkali-kali menyusut air mata yang akan kembali timbul dan jatuh di wajah suamiku. Sesekali, tanganku mengguncang-guncang tubuhnya yang tak bereaksi. Suamiku tak pernah seperti ini. Ia selalu sensitif. Bahkan hanya kecupan ringan di pipi akan membangunkannya.
"Sabar, Pus, sabar. Perbuatanmu menyakiti Rofii." Ibu mengusap bahuku, memelukku dari belakang. Kuusap air mata yang membasah di kedua pipiku. Qila dalam gendongan lelaki tua yang terlihat begitu menyimpan kesedihan tengah berceloteh riang. Bibir mungil bayi itu melekuk senyum manis saat aku menatapnya.
"Eeeh. Eeeeh. Eeenenen. Eeeh. Enen."
Qila terus berceloteh, bibir mungilnya bergerak-gerak lucu sementara matanya yang jernih cemerlang terus memandangku. Lagi-lagi, senyum bocah itu terkembang lebar. Di ambang pintu, Mas Rasya menatapku penuh kebencian. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di sebelahku yang terus mengharap Dia mau bermurah hati membuat Mas Rofi kembali bersama kami. Tapi harapan yang musykil. Lelaki tercintaku ini tetap tak bergerak. Ada sisa kemarahan di wajahnya yang putih bersih.
"Aku kan sudah bilang tak perlu memberi kejutan aneh-aneh!" Sinis. Saat lelaki bertubuh tegap menoleh menatapku.
"Ibu setuju ide Puspita karena ... ya karena ... ibu bayangkan wajah senang Rofi saat ibu keluar membawa kue dan hadiah."
"Dan ini yang terjadi!" kata Mas Rasya sinis.
Ibu mengusap air mata di pipinya dengan wajah terlihat sangat menyesal. Tatap penuh kehilangan lekat di wajah keriput Ibu dan Bapak. Juga Mas Rasya yang lagi-lagi memandangku jutek.
Mas Rasya dan suamiku sangat dekat. Suamiku selalu menurut pada apa yang dikatakan Mas Rasya. Mas Rasya tulang punggung di keluargannya. Sejak perusahaan bapaknya bangkrut saat ia baru masuk di perguruan tinggi, Bapak jadi sakit-sakitan dan akhirnya ia mengambil alih. Ia juga yang membiayai kuliah Mas Rofi. Tapi, saat pertama bertemu dengannya dulu Mas Rasya tak begini. Ia begitu ramah meski terkadang tersenyum mengejekku. Sifatnya mulai berubah setelah Mbak Ndari meninggal usai melahirkan anaknya.
"Sudah, Pus. Sudah. Yang telah pergi tak akan kembali lagi." Ibu merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Aku tersengal-sengal. Bagaimana hidupku nanti tanpa mas Rofi?
Bahkan jika ini dalam mimpi, aku belum tentu sanggup. Yaaa Tuhan, kenapa bisa seperti ini?
Aku sungguh tak menyangka niat baikku ingin membuat kejutan yang tak biasa, malah membuat Mas Rofi tutup usia, pergi untuk selama-lamanya.
"Eeeeh. Eeeeh. Eeeh. Eeeh. Eeeh. Eeeh." Si Qila terus berceloteh riang dalam gendongan Bapak. Aku menahan pedih yang berdenyar di d**a saat menatap bocah itu.
Maafkan Bunda, Sayang. Secara tak langsung telah memisahkanmu dengan ayahmu.
Kugendong Qila, mendekapnya erat di dadaku sambil menangis. Tangan Qila kuraih lalu kusentuhkan ke wajah suamiku. Qila tertawa dan berceloteh.
"Eeeh. Eeeh. Eeeeeh."
Air mataku menetes, jatuh membasahi wajah suamiku yang tampak marah. Lelakiku, sebelum ini tak pernah terlihat sangat kesal.
"Eeeh, eeeh. Eeeeh." Lagi-lagi, Qila berceloteh seolah ingin mengajak ayahnya bercanda. Tapi lelaki yang terbaring kaku di pembaringan, sama sekali tak bicara.