Diraihnya tangan sang ayah, tangisnya pecah menyadari ayahnya telah mengetahui fakta tentang kehamilannya. Dadanya terasa sesak hingga napasnya tersengal.
Menyadari kondisi sang ayah yang harus segera dibawa ke rumah sakit, dengan tangannya yang gemetar, ia merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya.
Dihubunginya Vincent untuk meminta bantuan.
Vincent yang kebetulan sedang berada tak jauh dari rumah Jeanice pun melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Membelah jalan yang terlihat cukup padat karena jam pulang kerja.
Setibanya di rumah Jeanice, Vincent berlari masuk ke dalam rumah yang hanya memiliki luas kurang dari 100 meter persegi itu.
Diangkatnya tubuh Ferdinand dan dibaringkan di kabin belakang mobilnya bersama Jeanice yang memangku kepala Ferdinand.
Vincent melajukan mobilnya menuju rumah sakit St. Maria. Namun sayang, setibanya di ruang IGD, dokter yang bertugas mengatakan jika Ferdinand sudah tidak bernyawa.
Bahkan saat dipasangkan alat untuk monitor detak jantung pun hanya terlihat flatline dan suara nyaring dari monitor detak jantung itu sungguh berhasil menghancurkan hati Jeanice.
“Tidak! Tidak mungkin Dadddy meninggalkanku. Daddy sudah berjanji akan pulih dan menjagaku seperti dulu. Daddy, please! Jangan berakting! Bangun Daddy … bangun!” jerit Jeanice sembari menggoyangkan tubuh Ferdinand, berhasil membuat Vincent, para tenaga medis, dan beberapa pasien yang ada di sana merasa iba mendengarnya.
“Jeanice, tenangkan dirimu. Kau harus merelakan kepergiannya,” kata Vincent berusaha menenangkan wanita malang itu seraya mengusap punggungnya dengan lembut.
“Jika daddyku benar-benar pergi, aku tidak memiliki siapa pun lagi di dunia ini, Tuan. Hanya dia yang aku miliki,” jawab Jeanice seraya memeluk tubuh Ferdinand yang mulai dingin.
“Ada aku! Kau bisa menganggap aku seperti kakak laki-lakimu. Aku akan menjagamu sama seperti daddymu menjagamu selama ini. I’m promise,” tutur Vincent yang terdengar tulus.
Pria itu menarik pelan tubuh Jeanice ke dalam pelukan. Jeanice benar-benar menumpahkan semua tangisnya di pelukan Vincent.
Vincent sungguh sangat iba melihat Jeanice yang sangat terpukul atas kepergian sang ayah untuk selamanya.
Mengingatkan dirinya ketika kehilangan ibunya karena kecelakaan 2 tahun silam.
Sama seperti Jeanice, Vincent pun tidak memiliki siapa pun lagi di dunia ini.
Beruntung, ia masih memiliki Eryk sebagai sahabat yang selalu ada untuknya.
Berbeda dengan Jeanice yang sungguh tidak memiliki siapa pun lagi. Karena sahabatnya Nicole, telah pindah ke Melbourne, Australia.
***
Keesokan harinya, Jeanice memutuskan untuk memakamkan Ferdinand secepatnya. Karena mereka hanya memiliki beberapa tetangga dekat saja.
Eryk beserta kedua orang tuanya turut hadir di pemakaman Ferdinand.
Di pemakaman, Eryk selalu berusaha mendekati Jeanice. Namun, wanita itu selalu menghindarinya. Tak mengizinkan Eryk menyentuhnya sedikit pun.
Acara pemakaman Ferdinand berlangsung dengan khidmat dan hanya dihadiri oleh tetangga dekat Ferdinand, Vincent, dan keluarga Eryk.
Semua menggunakan pakaian berwarna gelap. Di gereja, pastor membacakan riwayat hidup Ferdinand dan membagikan janji penghiburan untuk keluarga.
Seusai kebaktian mereka berjalan kaki mengantar peti Ferdinand ke tempat pemakaman yang berlokasi dekat gereja.
Setelah diberkati oleh pastor, Jeanice dan Katherine menabur bunga di pusara Ferdinand. Tidak ada tangisan lagi dari Jeanice, ia sudah lelah menangis, semua berjalan dengan tenang.
Jeanice masih berjongkok menatap nanar batu nisan yang tertera nama sang ayah dengan tatapannya yang kosong.
Di benaknya terlintas kepingan-kepingan memori indah dirinya dengan Ferdinand.
“Mommy turut berduka ya, Sayang. Ada Eryk, Mommy, dan juga daddy yang akan menjagamu mulai sekarang. Kami akan menyayangimu seperti kami menyayangi Flo,” tutur Katherine seraya memeluk Jeanice.
Jeanice tak bergeming. Namun, ia menggerutu dalam batinnya.
“Eryk menjagaku? Bullshit! Justru dialah penyebab kematian daddy!” batinnya.
“Bagaimana jika kita makan malam bersama? Sejak tadi pagi Mommy tidak melihat kau makan apa pun. Jangan sampai kau sakit, Sayang. Kau butuh energi lebih untuk menjalani hidup di masa depan,” bujuk Katherine pada wanita yang ia yakini akan menjadi menantunya itu.
Katherine sungguh kesal melihat Eryk yang tak nampak seperti pria yang sedang mengkhawatirkan kekasihnya yang tengah berduka.
Tak ada pelukan untuk Jeanice dari Eryk.
Meski awalnya menolak, Jeanice akhirnya ikut makan malam bersama keluarga Eryk dan juga Vincent di sebuah restoran mewah yang hanya dikunjungi oleh para kalangan elit, karena Katherine yang pantang menyerah dalam membujuknya.
Ketika yang lain sedang sibuk menyantap makanannya, Jeanice hanya menatap sambil mengacak-acak makanannya dengan kedua netranya yang tampak mengembun. Tak ada sedikit pun makanan yang masuk ke dalam mulutnya.
Katherine dan sang suami, Albert, saling menatap setelah melihat Jeanice. Kemudian menatap Eryk yang tengah melirik Jeanice.
“Eryk ... Mommy mau, kalian berdua segera melangsungkan pernikahan secepatnya!” kata Katherine dengan tegas, nampak tak ingin dibantah.
Eryk yang tengah mengunyah makanannya pun tersedak karena terkejut akan pernyataan sang ibu.
Ditenggaknya air putih untuk meredakan tenggorokannya yang terasa tak nyaman.
“Jika pekerjaan yang menjadi masalahnya, Mommy yang akan mengurus acara pernikahan kalian. Mommy akan mengurus segala sesuatunya,” imbuh Katherine menatap Eryk dan Jeanice bergantian.
“Tidak bisa, Mom. Kami belum siap,” tolak Eryk.
“Jika menunggu siap, kalian tidak akan pernah menikah,” hardik Katherine ada putranya.
“Tapi, kami ….”
“Hubungan kami sudah berakhir, Nyonya.” Jeanice akhirnya mengeluarkan suaranya, memotong kalimat yang akan diucapkan Eryk.
“What’s? Berakhir?” pekik Katherine menatap Jeanice penuh tanya.
Jeanice mengangguk kecil, kemudian kembali menundukkan pandangannya.
Eryk tak membantahnya, karena ia memang berniat mengakhiri perjanjian kontraknya dengan Jeanice sejak kejadian malam itu.
Makan malam itu pun mendadak terasa hening karena pernyataan Jeanice. Sampai tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggil Eryk.
“Eryk!” panggil wanita bertubuh sintal itu sambil berjalan anggun menuju meja mereka.
Gaun berwarna merah maroon yang hanya menutupi bagian d**a sampai lututnya pun terlihat sangat cantik dikenakan wanita itu. Rambut blondenya yang panjang dan curly tergerai indah, membuat penampilannya bertambah sempurna.
Mereka semua menoleh ke arah wanita tersebut, tak terkecuali Eryk.
“Becca?” pekik Eryk.
Kedua netranya terlihat berbinar menatap cinta pertamanya itu. Ia menatapnya penuh cinta.
Ya, dia adalah Rebecca Ferguson, cinta pertama yang sudah menjadi mantan kekasih Eryk.
Eryk seketika berdiri dan memeluk erat wanita yang sangat dirindukannya itu.
Jeanice memandang interaksi mereka dengan tatapan kosong. Ia mendesah pelan, lalu tersenyum miring melihatnya. Sungguh, ia sudah muak berada di ruangan yang sama dengan pria yang telah merenggut kesuciannya itu.
Katherine semakin geram melihat kelakuan putra sulungnya yang tidak menghargai perasaan Jeanice sedikit pun.
Diraihnya tangan Jeanice dan dibelainya lembut. Namun, Jeanice melepaskannya perlahan, kemudian berdiri.
“Maaf, Tuan, Nyonya. Aku permisi,” pamitnya pada Katherine dan Albert dengan membungkukkan sedikit badannya. Berlarilah ia keluar dari ruangan tersebut.
Jeanice langsung naik ke dalam taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya di depan lobi restoran.
Katherine yang sungguh muak pada kelakuan putra sulungnya, juga pergi meninggalkan restoran itu. Albert pun mengikutinya.
***
Tiga hari berlalu, Jeanice masih belum datang bekerja.
Eryk meminta Vincent untuk menghubunginya. Namun, ternyata nomer ponselnya tidak dapat dihubungi.
Vincent yang merasa khawatir pun pergi ke rumah Jeanice pada jam makan siang, untuk memeriksa keadaan Jeanice.
Akan tetapi, setibanya di sana, ternyata rumahnya terkunci. Diketuknya pintu itu beberapa kali. Namun, tidak ada jawaban dari dalam sana.