Bertemu Mark

1671 Kata
Seorang pria paruh baya yang tak lain adalah tetangga yang tinggal di seberang rumah Jeanice, datang menghampiri Vincent. “Anda mencari Jeanice?” tanyanya pada Vincent. “Ya! Tapi, sepertinya dia tidak ada di dalam,” sahut Vincent cepat. “apa Anda melihatnya?” tanyanya dengan raut wajah cemas. “Dua hari yang lalu aku melihatnya pergi membawa dua koper besar, sepertinya dia akan pergi jauh. Saat aku ingin menghampirinya, dia sudah pergi naik taksi,” kata pria paruh baya itu. “Huh? Dia pergi?” Vincent tersentak mendengarnya. Bahunya merosot seketika. Sekali lagi, ia mencoba menghubungi nomer ponsel Jeanice. Namun, masih sama seperti tadi, nomernya tidak dapat dihubungi. Ia langsung kembali ke perusahaan. Namun, sebelum meninggalkan rumah Jeanice, ia memberikan nomer ponselnya pada pria paruh baya tadi, memintanya untuk segera menghubunginya jika Jeanice kembali. Setibanya di perusahaan, Vincent bergegas masuk ke ruangan Eryk untuk memberitahu perihal kepergian Jeanice. Tapi, ia tak menemukan keberadaan Eryk di sana. Dihubunginya Eryk yang ternyata pria itu sedang makan siang di luar bersama Rebecca. Vincent menghela napas kasar mendengar jawaban Eryk. Ia menghubungi Max dan memintanya untuk melacak keberadaan Jeanice. *** Dua hari yang lalu, Jeanice memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Wanita itu pergi tanpa tahu ke mana ia akan pergi. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari Eryk. Awalnya, ia berencana untuk menggugurkan kandungannya saja. Namun, ia kemudian berpikir, di dunia ini ia telah kehilangan orang yang paling dicintainya, yaitu sang ayah. Jika dia menggugurkan kandungannya, ia benar-benar sebatang kara, tak memiliki siapa pun lagi di dunia ini. Akhirnya ia memutuskan untuk mempertahankannya dan pergi jauh dari hidup Eryk. Dengan matanya yang sembab, ia duduk termenung di kursi tunggu bandara. Memikirkan ke mana dirinya akan pergi. Ia tak tahu harus pergi ke mana, ingin pergi ke Melbourne menyusul Nicole, sang sahabat. Namun, satu minggu belakangan ini, sahabatnya itu sedang tidak bisa dihubungi. “Jeanice!” Terdengar suara bariton seorang pria yang memanggilnya. Menyadari ada yang memanggil namanya, ia pun menoleh. Pria tampan dengan rambutnya yang berwarna brunette, dan mengenakan setelan jas berwarna maroon dan kacamata hitam, tengah berjalan menghampirinya. Menyadari orang tersebut adalah Mark Atkinson, klien perusahaan sekaligus sahabat Eryk, Jeanice bergegas menarik dua buah kopernya untuk menghindari Mark. Mark berlari, mencekal pergelangan tangan Jeanice, dan berdiri di hadapannya. Menghalangi jalannya, yang berhasil membuat Jeanice menghentikan langkah kakinya. “Kau mau pergi ke mana? Kenapa kau menghindariku?” tanya Mark dengan dahi yang mengernyit. “Tuan Mark, tolong jangan katakan padanya bahwa kau bertemu aku di sini. Aku mohon, Tuan,” mohon Jeanice dengan tatapan nanar dan penuh harap. Berharap Mark tidak akan memberitahu Eryk tentang keberadaannya. Air matanya kembali luruh di kedua pipi tirusnya. Ditangkupnya wajah Jeanice, ia gunakan kedua ibu jarinya untuk menghapus air mata Jeanice. “Ya! Aku berjanji, aku tidak akan memberitahunya. Tapi, kau harus memberitahuku, ke mana kau akan pergi?” tanya Mark lagi. Belum sempat menjawab pertanyaan Mark, pandangan Jeanice mendadak gelap. Dipejamkan kedua matanya, kemudian tubuhnya terasa lemah. Ia terhuyung dan hampir jatuh tersungkur. “Hei!” pekik Mark. Beruntung Mark berhasil menangkap tubuhnya. Diangkatnya tubuh Jeanice yang sudah tidak sadarkan diri ala bridal style. “Andrew, tolong hilangkan rekaman CCTV di bandara ini. Jangan biarkan Max menemukan jejak Jeanice!” titahnya pada asisten pribadinya. “Kalian! Bawa kopernya ke mobil! Kita pergi ke rumah sakit terdekat. Tapi, jangan rumah sakit milik Schwarz Groups!” titahnya lagi pada para pengawalnya. Pria itu berusaha menepati janjinya pada Jeanice untuk tidak memberitahu Eryk tentang keberadaannya. Ia yakin ada alasan kuat yang membuat Jeanice mengatakan hal itu. Lima belas menit berselang, mereka telah tiba di klinik Falco. Mark sengaja membawanya ke klinik agar jejak Jeanice tak mudah dilacak oleh Max. Ia sangat tahu orang andalan Eryk adalah Maximilian Spath. Karena dirinya pun menggunakan jasa Max jika sedang mencari keberadaan seseorang. Dua puluh menit berlalu, dokter cantik berusia tiga puluhan keluar dari ruang IGD, usai memeriksa kondisi Jeanice. Mark yang tengah menunggu di kursi tunggu di depan ruangan tersebut, bergegas menghampiri dokter itu. “Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Mark dengan raut wajah cemas. “Karena usia kandungannya baru memasuki enam minggu, pasien tidak boleh terlalu lelah dan stress. Tolong Anda lebih perhatikan istri Anda ya, Tuan. Jangan biarkan dia mengalami stress yang berlebih. Tolong lebih perhatikan kondisi psikisnya,” ujar dokter cantik itu ia mengira Mark adalah suami dari Jeanice. Mark tidak keberatan dokter itu mengira dirinya sebagai suami Jeanice. Yang lebih membuatnya terkejut adalah tentang pernyataan dokter itu tentang kehamilan Jeanice. “Hamil? Apa mungkin itu benih Eryk? Tapi jika itu benar, kenapa Jeanice tidak meminta Eryk bertanggung jawab? Kenapa justru dia memutuskan untuk menghindari Eryk?” tanyanya dalam batin. “Tuan!” panggil dokter itu, membuat Mark tersadar dari lamunannya. “Ya, Dok?” sahutnya. “Apa Anda mendengar apa yang saya katakan barusan?” “Ya, saya mendengarnya, Dok. Maaf, saya baru tahu jika istri saya tengah mengandung. Jadi, saya merasa sedikit terkejut,” jawab Mark, mengulas senyuman yang membuatnya semakin terlihat menawan, sambil menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Oh,” kata dokter itu tersenyum, “Ya sudah, temuilah istri Anda, Tuan. Tolong pastikan dia mengisi perutnya setelah terbangun. Saya harus memeriksa pasien lain. Permisi,” pamitnya pada Mark dan berlalu meninggalkannya. Usai menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, Mark masuk ke dalam ruangan itu. Ditatapnya wajah pucat pasi Jeanice yang dahinya nampak berkerut. “Daddy ...” ucap Jeanice terisak. Namun, kedua matanya masih terpejam. Wanita itu menangis dalam tidurnya. “Apa yang sebenarnya terjadi pada gadis ini?” pikir Mark dalam benaknya. Alisnya tampak menyatu. Ia sungguh merasa iba melihatnya. Diusapnya puncak kepala Jeanice dengan lembut. “Daddy!” teriak Jeanice dan duduk seketika. “Aakh!” pekiknya kesakitan seraya memegangi perutnya. “Kenapa? Apa perutmu sakit?” tanya Mark panik. “Sssst.” Jeanice berdesis menahan rasa sakit diperutnya. “Wait! Aku panggilkan dokter,” kata Mark bangkit berdiri. Namun, Jeanice meraih tangan Mark dan menggenggam jari kelingkingnya. “Tidak, Tuan. Aku baik-baik saja,” katanya dengan lirih. “Baik bagaimana? Kau terlihat kesakitan seperti itu,” omel Mark. “Tuan, kau tidak memberitahunya tentang keberadaanku, ‘kan?” tanya Jeanice. “Siapa yang kau maksud? Eryk? Apa Eryk yang menanam benih di rahimmu itu?” cecar Mark menatapnya tajam. Alih-alih menjawabnya, justru Jeanice kembali menangis terisak. “Jadi benar dugaanku … lalu kenapa kau tidak memintanya bertanggung jawab? Kenapa kau justru memilih untuk pergi?” Mark masih mencecarnya. Akhirnya Jeanice pun menceritakan semuanya. Mulai dari Eryk yang memintanya untuk menggugurkan kandungannya, sampai kehadiran Rebecca. Mendengar cerita Jeanice, Mark teringat akan perbincangannya dengan Eryk ketika dirinya berniat untuk mendekati Jeanice. Flashback On Sepanjang waktu meeting, Mark terus menatap Jeanice yang tengah duduk di kursi khusus para sekretaris. Ia terpesona akan kecantikan gadis bar-bar itu. “Di mana sekretarismu?” tanya Mark sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar ruang meeting. Karena ia baru saja kembali dari toilet. “Sekretaris?” Kedua alis tebal Eryk tampan menyatu, “kenapa kau menanyakannya?” tanya Eryk yang nampak tak suka. Mark terkekeh seraya menepuk sebelah bahu Eryk, “Kau sepertinya tidak suka aku menanyakannya? Kenapa? Kau juga menyukainya?” cecar Mark mengejek sahabatnya yang dingin itu. Eryk berdecak lalu terkekeh, “Aku?” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya, “menyukainya? Tidak mungkin! Kau tahu betul tipeku seperti apa,” jawab Eryk memutar bola matanya. “Seperti siapa? Rebecca? Untuk apa mengikuti tipe ideal tapi nyatanya justru dia mengkhianatimu!” ketus Mark, raut wajahnya nampak kesal. “Jangan bilang kau masih mengharapkannya!” hardiknya menatap tajam Eryk. “Memang apa masalahnya jika aku mengharapkannya? Dia menikah karena dijodohkan, Mark. Bukan karena keinginannya,” balas Eryk. “Dan kau percaya itu?” cecar Mark lagi, dahinya nampak mengernyit. “Of course! Aku yakin, sebentar lagi dia akan bercerai dengan suaminya itu, lalu dia akan kembali padaku,” Eryk menjawabnya tanpa ragu. Mark berdecak lalu menggelengkan kepalanya, “Stupid!” gumam Mark yang masih terdengar jelas oleh Eryk. “Apa maksudmu mengatai aku seperti itu?” tanya Eryk dengan mata yang memelotot dan dahinya nampak berkerut. “Sudahlah! Aku sedang malas berdebat denganmu! Ayo, kita ke ruanganmu! Aku ingin berkenalan dengan sekretaris mu yang cantik dan mempesona itu,” ajak Mark sambil merangkul Eryk. “Kau jangan mendekatinya!” larang Eryk seraya melepaskan diri dari rangkulan sahabatnya yang seorang pemain wanita itu. Mark terbahak, “Haha! Seperti dugaanku, kau itu jealous, Eryk! Kau menyukainya!” “Ini semua tidak seperti yang kau pikirkan! Itu karena aku dan dia memiliki perjanjian sebagai kekasih kontrak,” kilah Eryk cepat. “What’s? Kekasih kontrak? Yang benar saja! Mana ada kekasih kontrak. Jika istri kontrak itu masih masuk akal!” Mark menggelengkan kepalanya, tak mengerti jalan pikiran sahabatnya. Akhirnya Eryk pun menjelaskan padanya. Alasannya adalah karena ia ingin menepis rumor yang tengah menyebar bahwa dirinya adalah seorang homoseksual. Terlebih, kedua orang tuanya, Albert Schwarz dan Katherine Schwarz, selalu mengatur jadwal kencan buta untuknya setiap akhir pekan, entah sudah berapa wanita yang sudah ia tolak. Eryk menolaknya bukan karena paras wanita-wanita itu tak cantik. Namun, karena ia masih mengharapkan mantan kekasihnya bercerai dengan suaminya dan kembali padanya. Terdengar gila memang. Namun, memang sebesar dan sedalam itulah cintanya pada Rebecca Ferguson, mantan kekasihnya sekaligus cinta pertamanya. Bisa saja ia melakukan pernikahan kontrak. Namun, jika ia melakukan hal itu, ia takut Rebecca tak mau kembali lagi padanya. Menurut Eryk, dirinya sangat mengenali sifat Rebecca. Di matanya, wanita itu adalah sosok wanita yang lembut dan memiliki hati yang sangat baik. Rebecca tak akan mau kembali padanya jika mengetahui dirinya yang sudah beristri. Maka dari itulah, ia hanya meminta Jeanice untuk menjadi kekasih kontraknya saja. Bukan istri kontraknya. Usai mendengarkan penjelasan Eryk, Mark menghela napas kasar, lalu menggelengkan kepalanya, sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Eryk. “Okay! Aku akan diam-diam mendekatinya. Aku akan kencan di mansion ku dan akan bermesraan dengannya di sana. Bagaimana?” tutur Mark tersenyum sambil menaik-naikkan alisnya. “Jangan!” larang Eryk dengan cepat. “Ya ya ya … aku juga tidak mau terlibat cinta segitiga denganmu,” balas Mark terkekeh. Flashback off
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN