Hamil

1146 Kata
Eryk menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, “Mom, tiga puluh menit lagi aku dan Jeanice ada meeting dengan klien penting, tolong tinggalkan kami, ada beberapa dokumen yang harus kami selesaikan sebelum meetingnya dimulai,” kata Eryk mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Katherine menatap Jeanice, memastikan apa Eryk tengah membohonginya atau tidak. Setelah mendapat anggukan dari Jeanice, akhirnya Katherine keluar dari ruangan Eryk dan pergi ke ruangan komisaris, tempat sang suami berada. Jeanice kembali duduk di kursinya dan memulai memeriksa dokumen-dokumen untuk meeting. Sedangkan Eryk kembali ke meja kerjanya, merobek selembar kertas kecil yang sudah ia tandatangani, dan dihampirinya Jeanice. Diletakkannya kertas kecil itu di atas meja kerja sang sekretaris. Jeanice yang sedang menatap layar monitor komputernya, refleks mendongakkan wajahnya menatap Eryk yang tengah menatapnya intens sambil berdiri tepat di depan mejanya. Ditatapnya selembar kertas kecil itu oleh Jeanice. Hatinya kian terasa hancur ketika menyadari bahwa kertas tersebut adalah sebuah cek kosong yang sudah ditandatangani oleh Eryk. Ia melemparkan tatapan tajam pada sang tuan dengan sorot matanya yang penuh kebencian, napasnya pun terdengar memburu. Ia hanya diam tanpa kata. Ingin mendengar apa yang ingin dikatakan oleh pria arogan di hadapannya ini. “Jangan pernah mengatakan tentang apa yang terjadi malam itu pada mommyku. Kau isi nominal yang kau inginkan di cek itu,” tutur Eryk yang terdengar amat menyakitkan bagi Jeanice, membuatnya kembali menitikkan air mata. Namun, dengan cepat Jeanice mengusapnya kasar. “Apa kau tidak bisa menghargai perasaan orang lain sedikit saja?” tanyanya masih dengan tatapan memburu. Karena yang Jeanice harapkan hanyalah sebuah kata ‘maaf’ dari pria yang telah merenggut kesuciannya itu. “Ya karena aku menghargai mu, maka dari itu aku berikan kau cek itu, dan kau bisa menuliskan nominal sesuai dengan yang kau inginkan,” jawab Eryk, tak terlihat perasaan bersalah di wajahnya. Jeanice berdecih lalu tersenyum miring, “Tidak semua hal di dunia ini bisa Anda beli dengan uang, Tuan Eryk yang terhormat!” Dahi Eryk nampak mengernyit, “Lalu, apa yang sebenarnya kau inginkan? Jika kau ingin aku menikahimu, jangan bermimpi. Aku tidak akan mungkin melakukannya.” Jeanice berdecih seraya mengulas senyuman sinis, “Percaya diri sekali! Aku juga tidak sudi jadi istrimu!” gerutunya pelan yang masih terdengar samar oleh Eryk. Namun, pria itu hanya diam tak bergeming. “Aku ingin kau mengembalikan apa yang telah kau renggut secara paksa dariku malam itu. Apa kau bisa, huh?” tantang Jeanice dengan kedua netranya yang kembali mengembun. Eryk membisu, mendadak lidahnya terasa kelu, tak kuasa menjawab pertanyaan wanita yang terlihat sudah sangat membencinya itu. Tok … Tok … Tok … Terdengar suara ketukan pintu dari Vincent dan langsung masuk begitu Eryk menjawabnya. Eryk kembali ke meja kerjanya. Pria berwajah oriental itu menatap Jeanice yang nampak tengah menghapus air matanya dan fokus menatap layar monitor komputernya, kemudian menatap Eryk bergantian. “Pasti Eryk sudah sangat menyakiti hatinya,” batin Vincent sambil melangkah menuju meja kerja Eryk. Ia sangat hafal seberapa tajamnya lidah Eryk jika sudah memarahi para stafnya. Namun, ia sedikit bingung, tidak biasanya Jeanice tersinggung dan menangis karena perkataan Eryk. Biasanya wanita itu selalu berani membalas perkataan Eryk yang menyakitkan dengan sikap konyolnya yang selalu berhasil membuat Eryk kesal. Usai berkas yang dibawanya sudah ditandatangani Eryk, Vincent lebih dulu bergegas pergi ke ruang meeting karena Eryk yang memintanya. Pria itu ingin melanjutkan perbincangannya yang belum selesai dengan Jeanice. Setelah Vincent keluar, ia kembali menghampiri Jeanice yang sudah berdiri dan tengah merapikan dokumen yang akan dibawanya ke ruang meeting, karena lima menit lagi meetingnya akan segera dimulai. “Maaf,” ucap Eryk sangat pelan. Terdengar gengsi saat mengucapkan kata ajaib itu. Jeanice hanya meliriknya sinis dan hendak keluar dari ruangan itu melewati Eryk. Namun, dengan cepat Eryk mencekal pergelangan tangannya, berhasil menghentikan langkah kaki Jeanice. “Aku minta maaf telah melakukannya padamu malam itu. Aku tidak sadar. Saat itu aku mengira kau adalah Rebecca, aku sungguh tidak bermaksud melecehkanmu,” tuturnya sambil menatap punggung Jeanice. Jeanice masih belum menoleh pada Eryk, hanya seulas senyuman getir yang terbit di wajahnya dengan air mata yang kembali mencair di kedua pipi. Jeanice menghempaskan tangannya kasar agar terlepas dari cengkeraman Eryk. Namun, gagal. Cengkeramannya terlalu kuat. “Aku mohon padamu, jangan pernah mengatakan pada mommyku tentang kejadian malam itu. Dia pasti akan memintaku untuk menikahimu. Kau sangat tahu siapa wanita yang aku cintai. Hanya Rebecca wanita yang akan aku nikahi kelak, hanya dia yang pantas mendampingiku,” imbuh Eryk memohon pada Jeanice. Mengetahui fakta bahwa lelaki itu tidak akan pernah bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat kepadanya, membuat rasa sakit di hati Jeanice kian memuncak. Sungguh, ia sangat membenci pria ini. Wanita itu memejamkan kedua matanya sambil menghela napas perlahan mencoba mengatur emosinya yang hampir meledak. Kemudian menoleh pada Eryk setelah menghapus air matanya. “Bagaimana jika aku hamil?” tanya Jeanice dengan tatapan nanar, “apa aku masih tidak boleh memberitahu mommymu?” Eryk melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Jeanice, ia terkekeh mendengar pertanyaan Jeanice, “Aku melakukannya hanya satu kali, tidak mungkin kau hamil. Dulu aku sering melakukannya dengan Becca, dia tidak pernah hamil,” jawabnya meremehkan pertanyaan Jeanice. “Jika itu terjadi padaku, bagaimana?” tanya Jeanice lagi. Kali ini tatapannya terlihat seperti ingin membunuh pria di hadapannya itu. “Gugurkan saja! Aku akan menanggung semua biayanya. Aku juga akan membayar kompensasinya untukmu. Kau tulis saja nominal yang kau inginkan di cek yang tadi aku berikan padamu,” jawab Eryk santai. Tidak nampak rasa bersalah sama sekali di wajahnya. Sekali lagi, perkataan Eryk hanya membuat hatinya semakin hancur. Jeanice berlalu meninggalkan pria egois itu ke ruang meeting. Bukan tanpa alasan Jeanice bertanya seperti itu. Ia mengatakannya karena pagi tadi ia sudah memeriksanya menggunakan testpack. Dua garis merah terlihat jelas di alat kecil tersebut. Dunianya seakan runtuh, mimpinya untuk mendapatkan seorang pasangan yang akan mendampinginya seumur hidup, sirna sudah. Keinginannya untuk memiliki pasangan sudah tak terpikir lagi di benaknya. Ia merasa tak pantas untuk pria mana pun. Eryk tidak hanya merenggut kesuciannya, ia benar-benar sudah menghancurkan masa depannya. Juga dengan tega pria itu memintanya untuk menggugurkan darah dagingnya sendiri. *** Jeanice kembali ke rumah kecilnya setelah menyelesaikan pekerjaannya. “Daddy! Aku pulang!” teriaknya pelan ketika masuk ke dalam rumah kecilnya dengan raut wajah yang lesu. Ferdinand sudah diperbolehkan untuk pulang sejak satu minggu yang lalu, karena keadaannya sudah jauh membaik. Hanya perlu kontrol satu minggu sekali ke rumah sakit. Tak mendengar jawaban sang ayah, Jeanice panik. Berlarilah ia ke kamar Ferdinand, juga ke dalam toilet. Namun, Jeanice tak mendapati pria paruh baya itu di sana. “Ke mana Daddy? Apa mungkin dia pergi ke luar?” gumamnya mendesah pelan dan berlalu meninggalkan kamar sang ayah. Diraihnya sling bag yang tadi ia letakkan di atas meja ruang tamu, kemudian masuk ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhnya. “Daddy!” pekiknya ketika masuk ke dalam kamarnya dan mendapati sang ayah terbaring tak sadarkan diri di atas lantai sembari memegang testpack milik Jeanice.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN