“Eryk benar-benar bodoh!” umpatnya dalam batin.
Jeanice kembali memohon pada Mark untuk tidak memberitahu Eryk, terutama tentang kehamilannya.
Pria pemilik manik mata berwarna abu itu mengiyakan permintaannya. Namun, Jeanice juga harus mengikuti permintaannya untuk tinggal di pantai Kuhlungsborn, jika ingin Eryk tidak dapat menemukan keberadaannya.
Walaupun awalnya menolak, akhirnya Jeanice mau tinggal di pantai itu, tentu saja setelah Mark menceritakan alasannya.
Bukan tanpa alasan Mark membawanya ke sana, pria itu sangat tahu kelemahan Eryk. Eryk tidak pernah pergi ke pantai karena traumanya.
Di masa kecilnya, Eryk pernah hampir menjadi santapan ikan hiu ketika berenang di pantai. Beruntung penjaga pantai menolongnya tepat waktu, dan sebelah tangan penjaga pantai itulah yang terkena gigitan ikan buas itu, hingga pria paruh baya itu menjadi cacat karena kejadian hari itu.
Albert Schwarz menanggung biaya hidup keluarga pria itu hingga saat ini karena telah menyelematkan nyawa Eryk.
Juga, kebetulan Mark sedang membangun resort mewah di pantai tersebut. Maka dari itu, Mark pun ikut tinggal di sana agar bisa menjaga Jeanice.
Hanya saja, Jeanice menolak untuk tinggal di resort yang disewanya.
Jeanice lebih memilih menyewa sebuah rumah sederhana di tempat pemukiman warga yang tak jauh dari pantai tersebut.
***
Vincent yang melihat kedatangan Eryk di perusahaan, hanya diam saja. Tidak menegurnya sepatah kata pun.
Ketika meminta tandatangan Eryk pun, ia tidak berbicara apa pun.
Ia sungguh kesal pada sahabatnya itu, karena masih saja menerima Rebecca. Bahkan membawa wanita itu ke ruangannya.
Padahal dulu ia sudah mencoba memberitahunya tentang kebohongan Rebecca yang mengaku menikah dengan suaminya karena dijodohkan.
Faktanya, wanita itu menikah dengan selingkuhannya saat menjalani hubungan dengan Eryk. Namun, Eryk tak mempercayai perkataannya.
“Kau kenapa?” tanya Eryk menatap Vincent saat memberikan dokumen yang telah ditandatanganinya.
Vincent hanya menggelengkan kepalanya dan berlalu meninggalkan ruangan itu.
“Stupid!” umpatnya bergumam saat keluar dari ruangan Eryk.
Ia menghela napasnya kasar dan kembali ke ruangannya.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Vincent pergi meninggalkan perusahaan tanpa pamit pada Eryk. Ia kembali ke apartemennya.
Setibanya di apartemen, Vincent langsung menghubungi Max untuk menanyakan perihal keberadaan Jeanice.
“Max, bagaimana?” tanyanya pada Max.
“Taksi yang ditumpangi wanita itu terlihat menuju bandara. Tapi ada sesuatu yang aneh, rekaman CCTV di bandara pada hari itu di jam 11 sampai jam 1 siang menghilang. Sepertinya ada yang sengaja menghilangkan jejak wanita itu,” ujar Max dari seberang telepon.
Mendengar penjelasan Max, Vincent mengerutkan dahinya, mencoba berpikir tentang kecurigaan Max. Rasanya tidak mungkin jika Jeanice melakukan hal itu. Mungkin itu hanya sebuah kebetulan, pikirnya.
“Coba kirimkan nomer polisi taksi itu, Max. Kirimkan lokasi supir itu juga sekarang. Aku akan mencoba menemui driver itu,” pinta Vincent.
“Okay!” jawab Max dan mengakhiri panggilannya.
Tak lama berselang, terdengar suara notifikasi dari ponsel Vincent.
Vincent langsung bangkit berdiri dan menyambar kunci mobil untuk pergi menemui sopir taksi itu.
Akan tetapi, di basemen parkir, ia bertemu dengan Eryk. Karena mereka memang tinggal di apartemen yang sama, hanya beda lantai saja.
“Vincent, kau mau ke mana?” tanya Eryk mencekal pergelangan tangannya. “Oh ya, kau sudah menghubungi Jeanice belum? Apa besok dia sudah bisa kembali bekerja?”
“Jeanice menghilang!” jawabnya ketus.
“What’s? Apa yang kau maksud? Menghilang bagaimana?” pekik Eryk tersentak.
“Dia pergi! Siang tadi aku pergi ke rumahnya, tapi rumahnya kosong. Tetangganya mengatakan, dua hari yang lalu Jeanice pergi membawa dua koper besar!” jelas Vincent. “Apa yang sebenarnya kau lakukan padanya, Eryk? Jujur padaku!” hardiknya dengan tatapan sinis.
Eryk mengembuskan napasnya kasar, kemudian meminta Vincent untuk ikut ke apartemennya, ia akan menjelaskannya di sana.
Setibanya di dalam unit apartemennya, Eryk menceritakan semuanya tentang dirinya yang tak sengaja menyentuh Jeanice ketika dirinya tengah mabuk berat kala itu.
“Lalu, setelah kau melakukan itu semua, kau masih bersikap dingin padanya, bahkan kau memeluk Becca saat makan malam tiga hari yang lalu di hadapannya?” sambung Vincent memotong kalimat Eryk yang sedang menjelaskan kejadian itu.
“Kau sungguh keterlaluan, Eryk. Pantas saja malam itu dia langsung pamit pergi saat kau memeluk Becca. Apa kau tidak bisa menyadari perasaannya padamu, huh?”
“Perasaan? Apa maksudmu?” tanya Eryk tak mengerti.
“Stupid!” umpat Vincent, “sangat terlihat dari caranya menatapmu selama ini. Aku sudah lama memperhatikannya. Dia itu menyukaimu!”
Eryk terdiam. Entah kenapa, hatinya merasa sakit mengetahui hal itu. Apalagi jika mengingat kata-katanya yang tajam saat perdebatannya dengan Jeanice sebelum kepergian ayah Jeanice. Ia tiba-tiba menyesal sudah mengatakan semua itu pada Jeanice.
“Lihat saja! Aku yakin kau akan menggila setelah kepergiannya! Jangan pernah memintaku untuk mencarinya. Karena walaupun aku menemukannya, tidak akan pernah kuberitahu padamu. Lebih baik dia menjauh, dari pada harus dekat dengan pria bodoh sepertimu! Kau tidak perlu mencarinya. Kau urus saja wanita jalang itu!” hardiknya dan berlalu meninggalkan apartemen Eryk.
Ia yang sangat tahu karakter Eryk pun menyadari jika Eryk memiliki perasaan yang sama pada Jeanice dari cara Eryk menatapnya. Apa lagi jika Jeanice tidak pergi ke kantor sehari saja, Eryk terlihat sangat tidak tenang.
Hanya saja, Eryk tidak menyadari perasaannya sendiri, karena terlalu terobsesi dengan masa lalunya.
“Aarrgh!” teriaknya seraya melemparkan vas bunga yang ada di meja ke daun pintu yang baru saja ditutup oleh Vincent, hingga serpihan kacanya yang memantul berhasil menggores pipinya.
Pria arogan itu sungguh merasa kesal pada dirinya sendiri.
Ia tak mengerti mengapa hatinya merasakan sakit yang teramat sangat ketika mendengar kepergian Jeanice.
Terdengar dering ponselnya. Dilihatnya layar ponsel itu yang ternyata panggilan dari Rebecca. Ia mengabaikannya. Meletakkan kembali ponselnya di atas meja.
Ia bersandar pada sandaran sofa, memejamkan matanya sambil memijat pangkal hidungnya dengan kepala yang mendongak.
Terlintas kepingan-kepingan memori ketika Jeanice tinggal di apartemennya.
Flashback On
Hari pertama Jeanice tinggal di apartemen Eryk.
“Tuan! Tolong aku! Aku terkunci di kamar mandi!” teriak Jeanice dari dalam kamar mandi yang berada di kamarnya.
Eryk yang sedang duduk santai di balkon pun masuk ke kamar Jeanice dan berusaha mendobrak pintu itu.
“Hei! Kau memakai pakaian, ‘kan?” tanya Eryk saat hendak mendobrak pintu itu.
“Aku sudah memakai handuk!” sahut Jeanice.
“Menjauhlah dari pintu!” titah Eryk.
“Ya! Aku sudah menjauh, Tuan!” sahut Jeanice lagi.
Mendengar itu, Eryk mendobrak pintu itu dengan membanting tubuhnya ke daun pintu. Ketiga kalinya, pintu itu baru terbuka.
BRAAK!
Jeanice yang terkejut akan suara pintu yang terbuka dengan keras pun refleks menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Tanpa disadarinya, handuk yang menutupi tubuhnya terjatuh ke atas lantai, hingga tubuhnya terbuka sempurna.
Eryk yang berada di hadapan Jeanice pun membelalakkan matanya ketika melihat lekuk tubuh indah di depan matanya itu.
Lelaki itu memindai pandangannya dari ujung kepala hingga ujung kaki Jeanice. Namun, saat Jeanice mulai menyadari tubuhnya yang polos sedang ditatap intens olehnya, Eryk seketika menutup kedua matanya.
Jeanice memakai kembali handuknya, “Dasar m***m!” gerutu Jeanice, berlalu meninggalkan Eryk yang masih berdiri mematung dengan kedua matanya yang terpejam.
Flashback off
Senyuman tipis terukir di kedua sudut bibirnya, mengingat kenangan itu.
Diambilnya ponsel yang tadi ia letakkan di atas meja, dihubunginya Max untuk mencari keberadaan Jeanice.
Max menjelaskan jika Vincent sudah memintanya untuk melacak keberadaan Jeanice. Ia pun menjelaskan seperti apa yang tadi ia jelaskan pada Vincent.
“Benar kata Max, sepertinya ada yang menyabotase rekaman CCTV itu,” gumamnya setelah mengakhiri panggilannya, lalu mengembuskan kasar napasnya.
***
Satu minggu berlalu, Eryk bangkit seketika, saat merasakan mual di perutnya.
Ia berlari ke dalam toilet dan berusaha memuntahkan isi perutnya. Namun, karena perutnya yang kosong, hanya cairan kuning yang keluar, dan meninggalkan rasa pahit di lidahnya.
Tiga hari sudah ia merasakan hal seperti ini setiap paginya.
Bahkan sudah dua hari ini ia tidak berangkat ke perusahaannya, karena gejalanya yang semakin memburuk.
Tubuhnya terasa lemas, perut mual, dan kepalanya yang terasa sangat pusing.
Vincent sudah memanggil dokter pribadi untuk memeriksa kondisi Eryk. Namun, tidak ada penyakit apa pun.
Hanya asam lambung yang agak tinggi karena Eryk tidak sanggup untuk memakan makanan apa pun selain buah yang ada sedikit rasa masamnya.
“Gejalamu seperti ibu hamil saja,” ucap Vincent sembari memberikan satu gelas air putih hangat untuk Eryk.
Eryk hanya mendesah pelan mendengar ucapan Vincent. Tak ada tenaga untuk marah.
Detik kemudian, terdengar suara bel dari balik pintu unit apartemen Eryk.
Vincent segera membukakan pintunya, ia tahu jika yang datang adalah Katherine. Karena satu jam yang lalu Katherine meneleponnya, menanyakan perihal kesehatan Eryk.
“Di mana dia, Vincent?” tanyanya panik sambil melepas high heels yang dikenakannya.
“Ada di kamar, Nyonya,” jawab Vincent.
Katherine bergegas ke kamar Eryk.
“Kau kenapa, Son?” tanya Katherine seraya menyentuh dahi sang putra “Tidak demam.”
“Perutku mual sekali, Mom. Kepalaku juga sakit,” keluh Eryk.
“Vincent, apa kau sudah memanggil dokter?”
“Sudah, Nyonya. Kata dokter Richard, dia hanya asam lambung, itu pun karena dia makan buah yang masam,” jelas Vincent.
“Buah yang masam?” Katherine mengernyitkan dahi.
“Ya, Nyonya. Gejalanya seperti ibu hamil,” sahut Vincent terkekeh.
Eryk melemparkan bantal ke arah wajah Vincent.
“Sindrom Couvade! Kau sepertinya mengalami itu, Son. Sama seperti daddymu saat Mommy sedang mengandung Flo,” cetus Katherine dengan wajahnya yang berbinar.
“Tidak mungkin, Mom. Wanita mana yang mengandung benihku,” gerutu Eryk sembari menenggelamkan wajahnya di balik selimut.
“Tentu saja Jeanice! Kalian kan sempat tinggal bersama di sini, tidak mungkin kalian tidak pernah melakukannya. Jeanice pasti sedang mengandung benihmu, Son. Kau harus segera menemukan keberadaannya!” titahnya bersemangat.
Baru membayangkan memiliki cucu dari Jeanice saja membuat dirinya begitu bahagia.
Mendengar perkataan sang mommy membuat Eryk terbelalak, lidahnya mendadak kelu.
Ia teringat akan perkataan Jeanice saat dirinya meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya.
Ia teringat cek yang diberikannya pada Jeanice.
Seketika ia membuka selimut yang menutupi wajahnya itu.
“Vincent, belakangan ini apa Jeanice ada mencairkan cek dalam jumlah yang cukup besar?” tanyanya pada sahabat sekaligus asisten pribadinya itu.
“Tidak! Bahkan di nomer rekening atas nama Jeanice pun tidak ada jejak transaksi sejak kepergiannya hari itu. Terakhir Jeanice menggunakan kartu debitnya hanya di bandara, sebelum dia menghilang. Itu pun dia hanya menarik uang seribu Euro saja,” ujar Vincent.
“Kenapa kau menanyakan perihal cek, Son? Jangan bilang kau memberikan cek dan meminta Jeanice untuk menggugurkan kandungannya,” cecar Katherine memicingkan matanya pada Eryk.
Eryk membisu, kepalanya menunduk, tak memiliki nyali untuk menatap sang mommy.
“Eryk, apa itu benar?” Katherine mencoba memastikan dugaannya, “Jika kau benar-benar melakukannya, Mommy akan meminta daddymu untuk menghapus namamu dari daftar ahli waris Schwarz Groups!”