Eryk meletakkan jari telunjuk di bibirnya dan menatap Ferdinand, seraya menggelengkan kepalanya, memintanya untuk tidak membangunkan Jeanice.
Ia menyadari jika kedua kelopak mata Jeanice yang tertutup itu nampak bengkak, seperti sudah menangis dalam durasi yang sangat lama. Rasa bersalah kian menyelimuti hatinya.
Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membiarkan Jeanice beristirahat selama tiga hari ke depan. Ia akan membahas masalahnya ketika sekretaris cantik sekaligus kekasih kontraknya itu telah kembali bekerja.
Eryk pamit pada Ferdinand, lalu kembali ke perusahaannya.
***
Satu bulan telah berlalu dan baru hari ini Eryk bertemu kembali dengan Jeanice. Karena setelah Jeanice cuti selama 3 hari dan kembali bekerja, mendadak ada masalah di anak perusahaannya yang berada di Seattle, Washington DC, dan mengharuskan Eryk melakukan perjalanan bisnis bersama Vincent ke negeri Paman Sam itu selama 25 hari, untuk membereskan semua masalah di sana.
Menyadari kedatangan sang tuan, Jeanice yang tengah sibuk mengerjakan laporan arus kas perusahaan, tak bergeming apalagi menyambut kedatangan Eryk dengan sikapnya yang ceria seperti biasa. Kedua netranya hanya tetap fokus menatap layar monitor komputernya.
Jeanice sadar betul bahwa dirinya sedang ditatap intens oleh sang tuan. Namun, ia memilih untuk mengabaikan tuannya yang ia benci sejak kejadian malam itu.
Ia bangkit berdiri dan beranjak pergi keluar ruangan menuju pantry, membuatkan secangkir hot americano untuk Eryk dan meletakkannya di atas meja Eryk tanpa sepatah kata pun, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Jeanice, ada yang harus kita bicarakan,” tegur Eryk menatapnya tajam ketika wanita itu kembali duduk di kursinya. Ia memahami bagaimana perasaan wanita itu. Namun, ia sungguh benci diabaikan seperti ini oleh Jeanice.
Tak nampak sedikitpun seulas senyuman di wajah cantiknya, apalagi sikap ceria yang biasa Jeanice tunjukkan sebelum kejadian itu. Ia hanya bersikap dingin, bahkan belum mengeluarkan suaranya sedikit pun sejak kedatangannya.
“Maaf, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan,” jawab Jeanice tanpa menoleh, tetap sibuk menatap monitor komputer.
Eryk mendesah kasar, lalu bangkit dari kursinya, menghampiri Jeanice dengan raut wajahnya yang diselimuti kabut amarah, karena wanita itu benar-benar mengabaikannya sekarang, tidak hanya mengabaikan pesan dan panggilan darinya satu bulan belakangan ini.
Baru saja Eryk berdiri di depan meja kerja Jeanice, terdengar suara derit pintu ruangan mereka yang terbuka.
“Morning, Calon Menantuku!” sapa seorang wanita paruh baya yang nampak cantik dan masih terlihat muda itu pada Jeanice.
Ia adalah Katherine Schwarz, ibu kandung dari Eryk.
Jeanice seketika berdiri dan mengangguk kecil disertai senyuman manis yang membuatnya berkali lipat lebih cantik.
Katherine dan Jeanice saling menghampiri, Katherine memeluk erat wanita yang dianggap sebagai calon menantunya itu. Ia sampai mengabaikan keberadaan putra sulungnya yang baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya.
Sejak Eryk mengenalkan Jeanice sebagai kekasih empat bulan lalu kepadanya, Katherine sangat menyukai Jeanice karena pesona kecantikan juga sikap Jeanice yang ceria, sopan, dan ramah.
Hari ini adalah pertemuan ketiga kalinya ia dengan Jeanice.
“Bagaimana kabarmu, Cantik?” tanya Katherine pada Jeanice saat duduk berdampingan di sofa yang ada di ruangan yang didominasi warna hitam, abu-abu, dan putih itu.
“Baik, Nyonya,” jawab Jeanice tersenyum.
“Mommy! Panggil aku seperti itu. Aku tidak mau kau memanggilku Nyonya. Kau itu calon menantuku, bukan asistenku. Mengerti!” tegur Katherine. Ia sungguh gemas pada Jeanice yang masih saja memanggilnya dengan sebutan ‘Nyonya’. Padahal entah sudah ke berapa kalinya ia meminta Jeanice memanggilnya dengan sebutan ‘Mommy’.
“Baik, Mommy,” jawab Jeanice tersenyum. Katherine senang mendengarnya dan kembali memeluk wanita itu, mengusap punggungnya dengan lembut.
Merasakan hangatnya dekapan seorang ibu, membuat Jeanice seketika menitihkan air matanya. Pasalnya, ia yang sedari kecil sudah ditinggal pergi oleh ibu kandungnya, tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dicintai apalagi dipeluk oleh seorang ibu.
Akan tetapi, ketika bertemu Katherine, ia akhirnya merasakan bagaimana rasanya disayang oleh sosok seorang ibu yang lembut seperti Katherine.
Terlebih, belakangan ini ia memang sangat membutuhkan pelukan dari seseorang untuk sekedar meredakan hati dan jiwanya yang tengah terluka.
Mendengar suara isakan di balik punggungnya, Katherine mengurai pelukannya dan menangkup wajah Jeanice, menghapus air mata Jeanice di kedua pipi dengan ibu jarinya.
“Kenapa kau menangis, Sayang?” tanyanya dengan lembut.
Jeanice menghapus sisa-sisa air mata di kelopak matanya, lalu tersenyum manis.
“Tidak apa, Nyo … maaf, Mom,” jawabnya terkekeh kecil, “aku hanya tiba-tiba merasa rindu pada mommyku,” imbuhnya.
“Memang di mana mommymu? Apa dia sudah ….”
“Tidak, Mom. Dia tidak meninggal. Hanya saja, dia pergi meninggalkan aku dan daddy ketika aku masih bayi,” jawab Jeanice, masih berusaha mempertahankan senyumnya.
Eryk yang kini tengah duduk di sofa yang berseberangan dengannya pun mendengus kesal dan menatapnya tajam, melihat wanita itu terus berusaha mengulas senyuman kepada ibunya walaupun tengah menangis, sedangkan dirinya terus diabaikan.
“Ada apa denganmu, Son?” tanya Katherine saat menyadari tatapan Eryk pada Jeanice, “kalian bertengkar?” Katherine menatap Eryk dan Jeanice bergantian.
Tidak ada jawaban dari keduanya, Jeanice hanya menundukkan pandangannya, air mata kembali luruh dan menetes membasahi rok berwarna nude yang dikenakannya. Sedangkan Eryk masih terus menatap tajam Jeanice.
“Kau kenapa, Sayang? Apa Si lidah tajam yang keras kepala itu menyakiti hatimu? Ayo, ceritakan pada Mommy apa yang telah dia perbuat padamu,” tanya Katherine yang menyadari Jeanice kembali menangis.
“Mom! Tolong jangan ikut campur. Ini masalahku dengan dia. Biarkan kami menyelesaikan masalah ini berdua,” tegur Eryk tegas.
Pria itu sungguh takut jika sampai Jeanice menceritakan perbuatannya pada Katherine. Karena sudah pasti ibunya itu akan langsung menikahkannya dengan Jeanice. Ia tak mau, ia benar-benar masih mengharapkan Rebecca.
“Diam kau!” balas Katherine tak kalah tegas dengan putra sulungnya itu. Matanya memelotot.
“Ayo, ceritakan pada Mommy, Sayang. Apa yang sudah dia lakukan padamu?” pintanya pada Jeanice, mengusap lembut punggung tangannya. “Apa dia mengkhianatimu?”
Jeanice hanya menggeleng dengan kepalanya yang masih menunduk. Detik kemudian tangisnya semakin pecah hingga napasnya tersengal.
Katherine menghela napas berat seraya memicingkan matanya pada sang putra, kemudian kembali memeluk erat tubuh Jeanice.
Setelah tangis Jeanice mulai mereda, Katherine mengurai pelukannya dan menggenggam tangan Jeanice, mendesaknya untuk menceritakan apa yang telah putranya perbuat.
“Aku ….”
“Jeanice!” tegur Eryk yang berhasil menghentikan kalimat Jeanice yang baru saja membuka mulutnya.
“Eryk! Biarkan dia bicara!” hardik Katherine dengan mata yang memelotot kepada putra arogannya itu. “Ayo katakan, Sayang. Jangan takut pada Eryk, ada Mommy di sini,” bujuknya lagi pada Jeanice dengan lembut.
“Aku ingin mengakhiri hubungan ini, Mom,” tutur Jeanice masih menunduk.
“Oh, itu masalahnya? Pasti kau tidak tahan ya dengan sifat keras kepala dan mulutnya yang tajam itu?” cecar Katherine pada Jeanice sambil melemparkan lirikan sinis pada Eryk.
“Yang anak Mommy itu sebenarnya aku atau Jeanice?” tanya Eryk yang mulai kesal pada sikap Katherine yang terus menyerangnya.
“Mommy ingin tanya padamu, kau mencintai Jeanice atau tidak? Jika tidak, Mommy akan meminta Alden untuk menikahi Jeanice. Dia pasti tidak akan menolak gadis secantik dan sebaik Jeanice. Walaupun tengil, adikmu itu tipe laki-laki penyayang. Tidak seperti kau yang bermulut tajam itu!” hardiknya lagi pada sang putra.