Kecemburuan (Part 2)

1541 Kata
"Udah bebas? Beneran? Kabar dari mana?" "Di grup jurusan gue. Barusan banget nih. Ada yang lihat dia balik ke rumah kontrakannya dengan santai. Gilak gak tuh?" Salwa sempat kehilangan kata-kata. Ya jelas gilak lah. Ia baru selesai mandi dan sudah mendapatkan kabar seperti itu. Ahmad sudah keluar dari rumah sakit sejak hari ini. Ia tak tahu sih keluarnya kapan. Yang jelas, cowok itu tampaknya tak akan ikut rombongan mereka yang hendak berangkat ke Jakarta naik kereta. Makanya Salwa bersiap-siap sekarang. Ia sudah menyiapkan baju di dalam ransel. Toh ia akan pulang ke rumah dan tak ikut menumpang menginap di rumah kontrakan seperti yang lain. "Gilak banget itu. Tapi kayaknya emang udah ketebak sih. Dia itu anak pejabat itu kan? Dan Om-nya yang jadi Menteri BUMN?" Raisa mengangguk. Ia tentu tahu karena ia juga anak pejabat. "Dia itu sepupunya Kak Rano. Itu loh cowok b******k yang tersangkut kasus Farrel Adhiyaksa." Aaaah. Salwa mengangguk-angguk. Ia pernah membahas kasus itu bersama Papanya karena dramanya begitu menarik. Sempat mengecek rekaman CCTV yang beredar juga hanya untuk memastikan apakah itu editan atau tidak. Namun ya tentu saja bukan editan. "Yang sempet deketin kakak lo bukan?" Raisa mengangguk. "Jelek banget akhlaknya. Untung kakak gue selamat malam itu." Maksudnya kasus di mana kakaknya hampir menjadi korban Rano sih. Ya hampir dicekoki alkohol dan dibuat yaaa hamil. Sama seperti kasus Shabrina itu. Tapi waktu itu kakaknya berhasil kabur. Akhirnya ya balikan sama mantan dan sudah menikah juga. Lebih memilih mantan yang gak sebrengsek itu lah. "Ana sama July mana sih? Gak pada kelihatan?" "Kayaknya masih pada rapat di luar. Kalau gak yabg di perpustakaan atau nongkrong. Lo jadi berabgkat jam berapa?" "Abis ini nih. Sibuk gak? Kalo enggak, mau minta tolong anterin sampai Stasiun Lempuyangan." "Ada Bang Said gak?" "Sejak kapan abang gue gabung perdemoan heh? Dia itu anggota BEM tapi gak pernah kelihatan." Raisa tertawa. Ia tahu sih tipikal Said. Cowok yang aneh memang karena dingin dan misterius. "Palingan juga kalo gak di perpustakaan atau sudut fakultasnya ya di dalam kamar. Depan laptop doang cuma buat mengkhayal dan ngetik naskahnya." Raisa terkekeh. Ya ia sudah bisa membayangkannya. Justru itu sih yang ia suka dari Said. Bukan tipikal cowok berandal. Ya kalem juga. Baik juga. Penyayang pula. Ia tahu betapa sayangnya Said pada sahabatnya ini. Jadi iri karena ia tak punya kakak laki-laki. "Gue udah siap nih." "Oke. Gue pipis dulu." Ia juga sekalian ingin mengambil jaket dan mengenakan hijabnya. Dibandingkan Salwa, ia baru sih benar-benar menggunakan hijab. Ya bisa dibilang memang terpengaruh dari Salwa. Ada campur tangan Said juga karena ia pikir Said mungkin menyukai perempuan yang menutup aurat. Mungkin niatnya memang belum lurus. Tapi ya mudah-mudahan dengan perlahan bisa berubah. Begitu Raisa selesai bersiap, mereka berangkat. Rumah kontrakan dikunci dulu. Kemudian ya tancap gas menuju Stasiun Lempuyangan sesuai janji sih. Memang tempat berkumpulnya di sana. Tiba di sana ya, Salwa turun. Ia memberikan helm-nya pada Raisa dan segera masuk ke dalam stasiun. Sudah banyak yang datang tentunya. Terlihat juga sosok Renita yang sangat sibuk mengabsen. Bukan tugasnya sih. Tapi gadis itu kan memang tukang cari perhatian. Sementara itu, Zahra yang juga sudah di sana ya spontan menoleh begitu melihat kemunculan Salwa. Gadis itu memang menarik perhatiannya gara-gara kedekatannya dengan Ahmad. Ahmad? "Mas Ahmad datang gak, Thur?" Itu Renita sih yang bertanya. Ia kan sudah mengirim pesan pada Ahmad untuk mempertanyakan kehadirannya. Tapi tentu saja tak akan dibalas. Hahaha. Sejak kapan Ahmad mau meladeninya. Pesan dari perempuan-perempuan lain yang tak begitu penting juga tak diladeni kok. "Mas Ahmad nyusul besok, Re. Dia naik pesawat. Kan baru pulang juga tadi dari rumah sakit." "Yang penting datang kan?" "Datang lah. Kan dia yang harus bicara wakili kita semua." Ya memang Ahmad itu jubir sih. Meski jabatannya bukan ketua BEM. Mereka segera masuk begitu semua sudah datang. Suasana stasiun semakin ramai memang karena banyak anak-anak kampus. Bukan hanya dari UGM sih tapi juga beberapa kampus lain yang turut mengirim utusannya. Dari UGM kali ini membawa sekitar 80 orang. Ya itu hanya yang naik kereta. Sekitar 30 orang sudah berangkat dengan mobil. Ahmad dan beberapa temannya naik pesawat yang tentu saja ditraktir Ahmad. Jadi ya totalnya lebih dari seratus dan itu semuanya anak BEM baik yang level universitas maupun fakultas. Salwa duduk dengan beberapa teman satu divisi yang yah sesama anak baru. Ia tampak asyik mengobrol tanpa tahu ada yang memerhatikan. Siapa? Bukan Fathur. Karena cowok itu berada di gerbong lain bersama beberapa temannya juga. Jadi siapa yang memerhatikan? Tentu saja Zahra. Gadis itu kan memang benar-benar merasa terganggu. Yolanda menyenggol lengannya. Karena menurutnya, tatapan Zahra terlalu kentara tertuju pada Salwa. Si gadis cantik nan manis yang sempat dibicarakan karena suaranya yang unik dan memang bagus. "Dah lah. Gak perlu dilihatin sampai segitunya. Toh kamu juga pada akhirnya yang bakal bareng Mas Ahmad." Begitu bisik Yolanda. Ia sih berkata begitu karena ingin bersikap baik sama Salwa. Ya kan Salwa itu calon adik iparnya. Jadi harus baik-baik. Sementara Fatimah justru melirik ke arah lain. Ya mencoba mencari sosok cowok jangkung yang manis. Yang hari ini juga ikut perdemoan. Cowok itu terlihat duduk di kursi paling pojok. Ia tersenyum kecil. Senang karena bisa melihatnya. Di sisi lain, ada perempuan lain yang menatap semua itu. Yang menahan kedongkolannya sih. Ya kesal saja karena ia mendapati pacarnya berhubungan dengan Fatimah. Namun tak bisa berbuat apa-apa. Kalau hubungannya terekspos, bisa hancur semua imej yang sudah dibangun. Ini juga menyangkut nama baik pacarnya yang selama ini dikenal alim. Ia juga sama. Karena ya orang yang berteriak paling keras soal pacaran dan hubungan terlarang antara manusia bukan mahram namun ternyata menjadi orang yang melanggar itu. Bukan kah lucu? Ya namanya juga manusia. Banyak kok yang bersembunyi di balik nama agama. Tampaknya begitu soleh dan solehah. Padahal masih suka pacaran. Meski sering ikut pengajian tapi ya pulangnya berduaan. Itu kan lucu ya? Sementara itu, Zahra masih tak puas. Teman-temannya kan tak tahu kalau Ahmad belum memberikan jawaban apapun soal perjodohan itu. Ia sudah berulang kali mendesak Abahnya. Namun jawaban Abahnya masih sama. "Abah kan gak bisa maksa orang begitu saja. Sabar saja. Toh kalian juga masih perlu fokus dengan perkuliahan masing-masing." @@@ "Loh? Gak berangkat?" Said baru keluar dari kamarnya. Seperti tebakan Salwa, kakaknya ini memang ada di kontrakan. Tentu saja menyendiri di depan laptop. Sibuk dengan dunia imajinasinya. Kini baru keluar kamar sekitar jam sebelas malam. Ia mendapati Ahmad sibuk di depan komputer yang ada di dalam kamarnya. Ya mumpung kontrakan ini sepi. Ya ada kan hanya Said. Kalau Said kan tahu tuh pekerjaan utamanya apa. Ya mahasiswa hanya lah pekerjaan sampingan baginya. "Besok lah." "Terus gak rehat gitu? Kan besok acaranya, Mad. Kamu ini...." Ia terkekeh. "Satu jam lagi lah." Ada hal lain yang menurutnya jauh lebih penting. Ada banyak hal yang harus ia periksa. Yang paling penting sih menebak siapa kepala BIN berikutnya. Ia perlu tahu untuk antisipasi. Beberapa tahun terakhir, kehidupannya memang berubah banyak. Pemimpin berganti artinya dua hal baginya. Pertama ya aman kalau sejalan. Kedua? Ya terancam. Tak semua orang senang dengan keberadaannya. Terlebih tak ada yang bisa memerintahnya. Ia memang berbuat semaunya. Kalau pun disuruh ya hanya dikerjakan yang menurutnya memang tugasnya. Bukan di luar batas. Walau yang namanya Ahmad tak mungkin melanggar batas. Said geleng-geleng kepala. Ia mengambil air minum ke dapur. Kemudian masuk kamar mandi. Ya baru mencuci muka lalu kembaki lagi dan tentu saja masih mendapati Ahmad di posisi yang sama. "Peter sudah keluar. Paati udah tahu kan?" Ahmad terkekeh. "Itu bahkan tak perlu ditebak segala. Kita tahu pasti jawabannya." "Kalau aku menjadimu, aku sudah membantainya dengan keahlian yang ku punya." Ia tertawa. Ia tak mau menggunakan keahlian dan bakat ini untuk menghancurkan hidup orang lain seperti Peter. Menurutnya, Peter juga tak penting untuk dibantai. "Orang seperti Peter memang layak dihancurkan, Mad. Bayangkan sudah satu perempuan yang ia hancurkan." "Bukan cuma satu." "Kamu tahu lebih banyak." Ia terkekeh. Tentu saja ia tahu. Kan pekerjaannya adalah mencari tahu tentang seseorang. Walau paling susah ya mencari tahu soal Salwa. Ya mana mungkin ia berani juga sih. Banyak pertimbangannya. "Aku hanya kesal saja karena dia tak berurusan denganku." Ahmad tertawa. Tapi bisa saja jika menyangkut Salwa, Said pasti akan turun tangan. Namun ia tentu tak mau melibatkan siapapun untuk urusannya dengan Peter. Ia kan hanya ingin menolong Nayla. Kasihan gadis itu. Meski ya sudah ia serahkan urusan menjaganya pada Aidan. Toh tampaknya, Aidan tak keberatan melakukan itu. "Ah ya aku lupa!" Ia baru teringat kalau Salwa swmpat memint atolong padanya untuk mengantarkan gadis itu ke Stasiun Lempuyangan. Ya tahu sih kalau ini sudah sangat terlambat. Tapi ia ingin tetap mencoba menelepon Salwa. Biasanya kan bekum tidur karena belum tengah malam. Apalagi di kereta. Eh apa hubungannya? "Assalammualaikum, Dek. Udah berangkat ya?" "WAALAIKUMSALAM! UDAH TELAT TAUK NANYANYA!" Ahmad turut terkekeh mendengar suara itu. Ya sejak terakhir Salwa menjenguknya, ia sudah tak pernah bertemu lagi. Tak ada alasan juga sih. Alasan apa coba yang bisa ia gunakan? Ya kecuali besok sih. Pasti bertemu di gedung televisi itu untuk sebuah acara yang akan ia hadiri. Ah ya, sepertinya ia harus istirahat karena harus tampil keren besok malam. Hahahaha. "Ya maaf....." Said mengatakan itu sambil tertawa-tawa. Ahmad tersenyum kecil. Dari pada menguping walau ia ingin sekali melakukannya, ia lebih memilih ke kamar mandi sih. Harus benar-benar tidur karena ia akan berangkat pagi-pagi sekali dari sini ke bandara. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN