"Mad! Bangun, Mad!"
Ia dibangunkan paksa. Tahu-tahu sudah mendarat. Karena tak punya waktu yang banyak, ia buru-buru beranjak. Ya buru-buru keluar bersama yang lain. Mumpung tak menitipkan apapun di bagasi pesawat, mereka bisa langsung keluar. Ya masuk ke dalam taksi yang langsung mengantar mereka ke tempat tujuan. Tujuan kali ini ya stasiun televisi. Mereka sudah berjanji akan tampil bukan? Ya lebih tepatnya sih Ahmad.
Cowok itu belum sempat merapikan penampilannya. Tapi sudah harus buru-buru meninggalkan pesawat. Ketika tiba di stasiun televisi, ia setidaknya sempat merapikan penampilannya. Ya penampilan di depan tamu yang lain atau pembawa acara tak penting. Yang penting itu penampilannya di depan Salwa. Hahahaha. Ia lebih mengkhawatirkan hal itu.
"Disuruh masuk tuh."
Padahal ia setidaknya ingin melihat Salwa. Ya sudah lah. Memang harus masuk lebih dulu. Ia dipanggil karena mereka ada sesi pengarahan mengenai penampilan dan aturan selama acara berlangsung. Sementara di luar itu ya tentu saja para mahasiswa sedang mengantri untuk masuk. Termasuk Salwa yang kini turut berdiri.
Mata Zahra tak berhenti menatapnya. Ya tatapan tak suka padanya. Sebal dan benci yang bercampur menjadi satu. Ia hanya merasa belum tenang. Mau alasannya gadis itu adiknya Said pun tak cukup menghilangkan kekhawatirannya. Sementara dua sahabatnya justru santai. Apalagi kan salah satunya naksir Said tuh. Sejak perjalanan semalam tak henti mendekati Salwa yang tentu saja bingung dengan kelakuannya. Ada apa dengan perempuan yang satu itu? Ia jadi tak paham.
Ia mengalihkan tatapan dan seseorang berbisik di telinganya. Siapa?
Ya rekannya. Mereka membicarakan korban bully-an Peter yang mengenakan almamater biru milik kampus pertanian top di Bogor. Kebetulan berdiri di barisan sebelahnya. Tentu saja Salwa ikut menoleh ke arahnya.
"Kalo dia itu bukan korban pelecehan tapi murni bully-an. Parah banget si Peter!"
Nama Peter memang masih menghiasi gosip. Apalagi kan kelakuannya dan pacarnya yang yaah foto-foto yang luar biasa lah. Meski akun pacarnya sudah hilang dan tak ada satu pun yang tahu penyebabnya. Sementara pikiran Salwa ya melayang lah pada kejadian di mana Ahmad dihajar. Tentu ia tahu permasalahannya kan? Karena Ahmad menolong Nayla tempo hari. Orang-orang tak tahu soal itu. Karena ya Ahmad juga memintanya untuk tak membicarakan ini pada siapapun. Hal yang membuatnya berpikir. Kalau orang seperti Peter ini terus dibiarkan, alan berbahaya. Apalagi ia bisa berbuat semaunya hanya karena orangtuanya punya uang dan kekuasaan. Bukan kah tak adil bagi mereka yang tertindas?
Ya ia juga tak tahu Ahmad dan keluarganya seperti apa. Namun ketika berkunjung ke rumahnya, ia menyadari lelaki itu ya mungkin dari keluarga yang ah tak ia mengerti. Tapi tampaknya anak orang kaya juga karena punya mobil mahal dan rumah yang begitu luas. Hanya punya ibunya karena ayahnya sudah meninggal. Namun masih banyak yang misterius baginya soal Ahmad. Haaah keterlibatan lelaki itu juga membuatnya tak tenang. Apalagi Ahmad juga jadi khawatir karena keberadaannya yang tak disengaja malah membuatnya ikut terlibat di dalam masalah yang tak seharusnya.
Begitu diizinkan masuk, ia duduk bersama barisan almamaternya. Ada banyak kampus yang ikut sebagai penonton. Tapi tak semua perwakilan mereka bisa menjadi bagian dari acara. Ia menoleh ke kiri bawah dan tak sengaja melihat Fathur. Dibandingkan cowok itu, nama Ahmad jauh lebih populer. Namun kenapa cowok itu tak mau menjadi ketua BEM? Ia heran. Ya karena semua anak BEM semalam membicarakannya. Ah lebih tepatnya yang sebangku dengannya semalam di kereta.
"Mas Ahmad itu unggul dari pada Fathur. Ya soal ngomongnya lah. Ya soal prestasi. Ya Fathur juga keren dan pintar. Tapi Mas Ahmad itu tetep aja beda. Soal agama apalagi deh. Dari jadi muazin sampai tilawah Qurannya keren semua. Kalo ngomong juga bikin adem."
Salwa juga setuju dengan hal ini. Ya walau ia mengagumi Fathur sedari dulu. Ia memang naksir kan? Tapi ya memang kalah dari Ahmad. Lantas natanya tak sengaja bersitatap dengan Ahmad yang berdiri di depan sana. Cowok itu gugup tapi karena pembawaannya tenang, ia tampak biasa saja dimata orang lain termasuk Salwa. Walau ya sebenarnya semakin gugup karena melihat keberadaan Salwa di sana. Fokusnya hanya pada gadis itu. Apakah Salwa sadar kalau ia sedang ditatap oleh lelaki itu? Ohooo. Tentu saja tak tahu.
"Eh, aku mau duduk di sana deh."
Ia ingin duduk di dekat Said. Said memang terlihat karena ia ikut dengan Ahmad kan tadi pagi. Nah Yolanda baru melihat kemunculannya yang duduk di barisan paling depan. Karena tadi cowok itu memang keluar dari bagian belakang panggung usai menemani Ahmad di sana. Ia mencari adiknya tapi tak bisa melihat keberadaannya yang jauh di belakang sana. Makin di belakang, bangku makin tinggi karena memang berbentuk anak tangga. Sementara Fathur baru saja berhasil menemukannya. Ya Salwa. Tentu maunya menghampiri. Tapi ia tak mau terlalu kentara jadi akhirnya menahan diri untuk tetap duduk. Walau sesekali ia melihat ke arah Salwa.
Veronika, gadis yang duduk di kursi lain tampak fokus menatap ke depan. Ke arah Ahmad yang sedang berbicara. Cowok itu tampak tenang dan ucapannya paling lugas serta bisa dicerna dengan mudah. Ia tentu saja merekam perbincangan hari ini untuk dibuatkan berita kampus nantinya. Banyak hal juga yang menjadi pertanyaan baginya pada para bintang tamu yang diundang. Namun tak begitu yakin apakah ia bisa bertanya kejelasannya pada mereka. Namun harus ia upayakan. Ia fokus dengan tulisannya. Walau ya agak risih karena tak begitu jauh darinya ada Renita yang tak berhenti memberikan komentar kekaguman soal Ahmad.
Ahmad. Sosok lelaki yang menurutnya terlalu banyak punya penggemar. Ya termasuk dirinya yang mendadak masuk ke dalam barisan itu. Ia sednag penasaran sebenarnya dengan hubungan Ahmad dan Zahra yang dipenuhi banyak rumor. Hal yang membuatnya menoleh ke arah kiri atas di mana Zahra dan kawan-kawannya duduk.
"Cocok gak sih mereka?"
Ia menoleh ke kanan. Ya temannya yang menatap Zahra dan Ahmad bergantian.
"Sama-sama cakep. Sama-sama pinter. Sama-sama soleh dan solehah. Cocok kan ya, Ver?"
Meski dalam hati juga setuju, entah kenapa ada rasa tak rela. Ia suka? Mungkin ini hanya kagum yang mulai agak berlebihan sampai ia sulit untuk membedakannya.
"Wajar kalo mereka berjodoh. Karena mereka selevel."
Ia mengerutkan kening. "Selevel?"
Temannya itu mengangguk. "Selevel sama dengan sekufu atau ya mungkin sefrekuensi juga. Yang soleh ketemu yang solehah. Begitu."
"Tapi gimana kita bisa tahu seseorang itu soleh atau solehah?"
"Yaaa kelihatan kali kalo dari Mas Ahmad. Dari Kak Zahra juga. Lihat deh pakaiannya setertutup itu. Di juga jaga jarak sama cowok."
"Tapi banyak juga anak pesantren yang maaf pakaiannya tertutup tapi hamil di luar nikah."
"Ya itu beda lah, Ver."
"Tapi itu berarti, kita gak bisa nilai orang dari sekedar pakaiannya kan?"
Mau tak mau temanya itu mengangguk. Mungkin karena ia pengagum Zahra dan Ahmad jadi ya definisinya sesempit itu. Sementara Veronika beranggapan lain. Kenapa?
Karena ia pernah melihat seseorang yang berpakaian sama dengan Zahra dan juga terkenal alim. Ada juga seorang lelaki yang juga terkenal alim. Lalu? Ia melihat kedua orang itu berjalan bersama. Ah bermotor berdua. Berboncengan. Padahal bukan suami dan istri. Ia melihat kedua orang itu dengan jelas bahkan hadir di sini sekarang. Yang perempuan duduk di barisan ketiga dari depan. Yang laki-laki duduk di barisan paling depan, tak begitu jauh dari Ahmad. Dua orang yang katanya alim itu tampak aneh di matanya. Ya kalau sekarang, keduanya tampak berjarak. Namun malam itu, ia melihat jelas kok. Sangat jelas dan ia tak mungkin salah.
Usai acara, banyak yang mengerumuni Ahmad begiu keluar. Ya setelah para mahasiswa kabur usai berfoto ria dengan si pembawa acara dan juga puas foto di panggung acara. Kini semua perhatian tertuju pada Ahmad. Namun mata Ahmad?
Yang tak sengaja tertangkap Veronika. Cowok itu menatap cemburu ke arah Fathur yang sedang mengobrol Salwa. Matanya tertuju ke arah kedua orang itu karena Ahmad menatap ke sana. Dan bukan hanya Veronika yang melihat itu. Zahra yang hendak menghampirinya juga melihat arah tatapan Ahmad itu.
Ia berusaha menepisnya. Namun ternyata benar-benar firasat yang tidak bagus. Tidak mungkin Ahmad suka perempuan itu kan? Kenapa?
Ya ia cemburu lah. Selain cemburu, ia juga tak suka. Ya dari sekian banyak perempuan kenapa harus perempuan itu?
Salwa itu bukan anak pesantren sepertinya dan Ahmad. Bukan berasal dari keturunan kyai juga sepertinya dan Ahmad. Lihat saja pakaiannya yang jauh dari yang diperintahkan oleh agama. Tidak sepertinya yang sudah menutup diri sedemikian rupa. Ia tak yakin juga, gadis itu hafizah Quran sepertinya. Bahkan instingnya mengatakan kalau bacaan Qurannya mungkin tak lancar. Ya jauh lah dibandingkan dengannya. Lantas mau bersanding dengan Ahmad? Gak salah tuh?
Tapi bagi Veronika, soal inta itu benar-benar soal hati. Mungkin Salwa bukan Zahra. Si gadis yang dianggap selevel dengan Ahmad. Namun bagi Veronika, entah kenapa ada yang menarik dari gadis itu. Walau ia juga tak tahu apa. Namun ya ia ingat kok kalau tadi, Salwa yang menolongnya setelah hampir tersasar usai dari toilet dan akhirnya bergabung ke barisan. Gadis ramah yang bahkan tak kenal dengannya tapi akhirnya berkenalan dengannya tadi.
Dari tampilannya dinilai jauh dari kata solehah hanya karena ia masih mengenakan celana meski tak ketat yaa mengikuti tubuhnya. Memang tampak pas. Blousenya yang cantik dan pashmina yang melekat. Ya gaya pakaian anak remaja akhir lah. Namun anehnya, Veronika merasa berada di dekat Salwa jauh lebih nyaman dibandingkan dengan Zahra dan teman-temannya yang sangat gampang menilai manusia dan merendahkan mereka hanya karena tak sepaham dengan mereka.
"Thur!"
Ahmad akhirnya mendekat. Ya tentu saja berjabat ria dengan Fathur. Dari pada hanya berdiri dari jauh dan ia hanya menahan rasa penasaran tentang keduanya kan? Setidaknya melihat keduanya dari dekat, ia jadi tahu kalau keduanya pernah satu SMA dulu dan mengobrolkan beberapa hal yang tak ia tahu. Ya walau harus menyempil menjadi orang ketiga. Hahaha.
@@@