Bersama

1137 Kata
Aliana sedang ditemani oleh Andrean untuk pulang ke rumahnya, ia menepati ucapannya untuk mengantar Aliana sampai ke rumahnya. Andrean tidak ingin menggunakan mobilnya untuk sekedar mengantar Aliana dan memilih angkutan umum bus sebagai kendaraan mereka. Awalnya Aliana tidak percaya pada perkataan Andrean jika ia akan diantar dengan menggunakan bus ataupun jalan kaki dan tidak menggunakan mobil yang Andrean gunakan untuk menculiknya sebelumnya. “Kau tidak berniat memberiku makan And?” tanya Aliana tiba-tiba pada Andrean yang duduk tenang di sampingnya. Pria tampan itu melihat Aliana dengan sudut ekor matanya. “Tidak,” jawab Andrean. “Kau ini hemat atau pelit sih, aku ini kelaparan,” keluh Aliana karena ia belum makan dari pagi hingga hari sudah malam. “Kau bisa makan di rumahmu, kita tidak jauh jadi tahanlah setangah jam lagi,” jawab Andrean. Andran tetap duduk tegap dengan matanya yang meperhatikan sekelilingnya. Aliana tidak bisa menjawab lagi karena benar kata Andrean jika rumahnya tidak jauh lagi hanya saja ia harus menunggu rasa laparnya selama setengah jam lagi. Dan satu hal tentang Aliana adalah, “tapi aku tidak bisa kelaparan And,” rengek Aliana. “Tahan untuk kali ini, aku tidak bisa membawamu ke tempat makan atau membelikanmu makanan sekarang,” balas Andrean yang tidak juga luluh dengan rengekan Aliana. “Tuan Andrean kasihani aku, aku kelaparan saat ini,” rengek Aliana lagi sambil menatap Andrean dengan wajah penuh harap meminta makan. “Dua hal yang membuatku tidak bisa memberimu makanan,” ujar Andrean dengan menunjukkan dua jarinya. “Apa saja?” tanya Aliana. “Pertama, aku tidak membawa uang saat ini, dan yang kedua lebih baik kita segera sampai ke kediamanmu dari pada berkeliaran seperti ini,” jelas Andrean. Aliana memandang Andrean dengan seksama. “Kau sedang mengkhawatirkanku?” tanya Aliana. “Tidak, tapi kita,” jawab Andrean mantap. Mereka kemudian duduk diam di dalam bus yang akan membawa mereka kepemberhentian berikutnya. Lampu-lampu jalan terang, serta lampu warna-warni dari toko yang buka pada malam hari karena malam belum begitu larut atau masih dini untuk dikatakan malam. Aliana tersenyum mengingat hari-harinya yang lucu, penuh tantangan, dan sulit diprediksi. Satu waktu ia ada di rumah, terjebak di dalam mobil sendirian dan bertemu orang asing,  kemudian bekerja, beberapa waktu berikutnya ia, dan waktu berikutnya ia berada di sekolah khusus wanita, dan untuk saat ini ia harus kembali ke rumah dengan cara penculikan. Hal-hal tak terduga terus terjadi di dalam kehidupan Aliana, ia tidak bisa mengatakan lelah, karena kemungkinan itu barulah awal dari lelah yang sebenarnya. “Kau harus kuat untuk hal-hal berikutnya,” seru Andrean tiba-tiba seakan Andrean bisa membaca apa yang sedang Aliana pikirkan tentang kehidupannya. Aliana melihat ke arah Andrean karena ia bingung. “Aku hanya belum terbiasa, mungkinkah kehidupanku akan menempuh dunia yang keras?” tanya Aliana pada Andrean. “Mungkin saja, dan nanti kau sendiri akan terbiasa dengan semua ini. Semoga kau menikmatinya, karena kita berdua tidak bisa menolak takdir untuk tidak berhadapan dengan semua ini, aku ingin tidak memperdulikannya tetapi jika kubiarkan maka aku hanya akan menanggung dosa yang tidak kuperbuat,” tutur Andrean yang juga muak dengan kehidupannya yang serba kekerasan sejak ia kecil. “Bukannya kita berbeda?” tanya Aliana pada Andrean, tatapan Aliana kini juga lurus ke dapan sama seperti yang dilakukan Andrean. “Ya berbeda tetapi kau diburu sedangkan aku memburu, kau paham maksudku?” balas Andrean lalu ia bertanya pada Aliana dengan ucapannya tersebut. “Sepertinya aku paham seperti yang kau jelaskan tadi, aku diburu karena dia menginginkan hak waris yang berhak atas pulau itu untuk mereka ambil alih, sedangkan kau, kau memburu mereka untuk menggagalkan semua penggunaan harta milikmu yang digunakan oleh mereka untuk bisnis gelap dan haram,” terang Aliana. Andrean mengangguk membenarkan. “Benar, itulah bedanya kita. Aku punya titik terang untuk menyerah jika aku tidak perduli dengan semua yang mereka ambil dariku tetapi kau tidak memilikinya, kau harus menyelamatkan hidupmu karena pilihanmu hanya dua lari dan melawan untuk hidup atau menyerah memberikan semua yang dia mau dan kau tentu saja mati,” tutur Andrean. “Apa dia benar-benar akan membunuh?” tanya Aliana kembali. Andrean mendengus. “Orang tuamu saja dia bunuh apalagi kau,” jawab Andrean dengan nada mengejek. “Apalagi kau, mungkin dia tidak membunuhmu langsung seperti menembak kepalamu atau menusuk perut dan dadamu. Tetapi dia akan menyiksamu, dia akan bermain terlebih dahulu denganmu. Bahkan mengingat dia menyiksa Mamaku dulu sudah membuatku sangat ingin menyincang tua Bangka itu,” tambah Andrean sambil memejamkan matanya menahan titikan amarahnya. “Aku bahkan tidak tau bagaimana wajah kedua orang tua kandungku, saat mencoba mengingat tentang pemakaman itu membuatku sakit kepala,” seru Aliana tiba-tiba dengan senyum sedih. “Selama 17 tahun lebih aku hidup dalam ketidak tahuan, aku tidak berhak marah pada Papa Hasbie karena dia bermaksud untuk melindungiku,” ujar Aliana. Andrean diam sejenak mendengar ucapan sedih dari Aliana yang tidak pernah mendengar wajah kedua orang tuanya. “Jika kau ingin melihat wajah mereka, kau bisa datang lagi ke apartemenku, aku memilikinya,” ujar Andrean tiba-tiba. Aliana mendengar ucapan Andrean langsung menolehkan kepalanya memandang Andrean dengan binar sedangnya. “Benarkah? Benar kau memilikinya?” tanya Aliana tidak sabar. “Ya, aku memilikinya karena suatu alasan,” balas Andrean. Andrean tetap memasang wajah  datarnya. Menatap lurus ke depan. Tepat hampir 20 menit perjalanan menggunakan bus kota, Andrean dan Aliana kini sudah sampai di halte yang sudah di daerah tempat  tinggal Aliana hanya saja masih membutuhnya 15 perjalanan kaki karena rumah Aliana berada di perumahan dengan jalanan mendaki. Karena perumahan itu berada di perbukitan. “Aku akan pulang sendiri, terimakasih sudah mengantarku sampai ke sini,” ujar Aliana sambil melihat Andrean yang ada di depannya sambil tersenyum. “Kau yakin pulang sendiri? Ini sudah hampir malam sekali,” balas Andrean dengan wajah tanpa senyumnya yang terkena sinar lampu mobil yang berlalu lalang. “Tidak aku mengenal daerah ini, setidaknya daerah ini cukup aman, aku hanya harus berjalan sekitar 15 menit jalan kaki untuk sampai ke rumah,” jelas Aliana sambil tersenyum. Kemudian Andrean tampak berpikir sejenak. “Baiklah jika itu keinginanmu, aku akan pulang,” balas Andrean, kini ia sudah membalikkan badannya untuk melangkah kembali pulang karena sudah selesai tugasnya. Aliana menganga tak percaya. “Astaga dia lempeng sekali, bahkan tidak memaksa untuk mengantarku begitu?” kesal Aliana, kini ia hanya dapat mendesah ketika punggung Andrean sudah berjalan menjauh dari tempat semula. “Aku benar-benar akan pulang sendiri? Perjalanannya masih 15 menit lagi, hiks mana aku tidak punya handphone untuk minta dijemput,” rengek Aliana mengingat ia tidak memiliki handphone di tangannya saat ini dan juga ia tidak memiliki uang chas yang bisa ia gunakan untuk menggunakan telpon umum. “Grukkkggg…” suara perut Aliana karena ia kelaparan. “Duh perutku, tenang dulu ya kita akan mencari makan terlebih dahulu baru pulang,” seru Aliana saat mendengar suara perutnya yang bergaduh meminta diisi. (a) ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN