“Kok cepat?” Aliana malah bertanya.
“Kenapa? Tidak rela aku pulang ke Jakarta? Tadi mengusir…” ejek Ren pada Aliana memperlihatkan senyum miringnya sambil memperhatikan wajah Aliana.
“Ish bukan gitu, kalau mau pulang ya pulang saja tidak perlu kau bilang padaku,” kesal Aliana dengan muka yang ia buat marah.
“Kan aku juga akan ujian Al, nanti aku lulus aku akan langsung melamarmu,” celetuk Ren tiba-tiba membahas tentang lamaran. Tentu saja ucapan Ren tadi membuat Aliana terkejut dan membulatkan matanya tidak percaya. Pada akhirnya Aliana tersenyum kecil mengejek pada Aliana.
“Eh! Ngomongnya kaya aku mau saja di lamar olehmu,” balas Aliana tidak terima dengan ucapan Ren, Aliana masih tersenyum miring ia tahu jika ucapan Ren tadi hanya sebuah candaan saja.
“Mau tidak mau ya harus mau,” ucap Ren lagi dan mendapatkan jitakan keras dari Aliana dan secara bersamaan ia juga mendapatkan tepukan keras di punggungnya dan itu pelakukan adalah Hasbie yang tersenyum mengerikan pada Ren.
“Aku tidak mau dan tidak bisa dipaksa,” jawab Aliana tegas.
“Aku culik terus aku nikahin langsung,” kata Ren cepat.
Tiba-tiba tepukan di punggung untuk kedua kalinya, Ren pun memalingkan wajahnya untuk melihat ke arah pelaku yang menepuk punggungnya. “Hmmm anak om jangan main culik-culik, tidak akan selamat hidup kamu,” ancam Hasbie menyela ucapan dari Ren tadi. Sedangkan Annie tersenyum mendengar perdebatan anak bungsunya dengan anak bungsu tetangganya itu.
“Huh rasain, my hero here!” ucap Aliana bangga dapat pembelaan dari Hasbie.
“Aku juga akan jadi pahlawanmu nanti!” ucap tegas Ren menyembut dirinya akan menjadi seorang pahlawan untuk Aliana.
“Ren… ayolah senin kita ujian kau kenapa bertambah gila dan bodoh secara bersamaan seperti ini? Kebanyakan makan rumus ya di sana? Atau terbentur pintu kamar mandinya oma?” ejek Aliana dengan ekspresi sedih dan penasaran yang dibuat-buat oleh Aliana, Ren memang tinggal di Jakarta bersama omanya.
“Habis makan rumus, tapi rumus gimana caranya agar rindu tidak lagi berjarak,” jawab Ren sambil tersenyum menang.
“Ma pa, Aliana istirahat duluan saja ya?” ujar Aliana akan beranjak dari tempat duduknya.
“Yah Al gitu, aku pulang ada yang di urus jadi besok pulang lagi seninkan kita UN. Mampir sekalian ke sini sebelum berangkat besok pagi,” jelas Ren yang tidak terima Aliana pergi untuk istrahat dan meninggakannya.
“Nah…! kalau jelas gitukan enak,” kata Aliana dan kembali duduk.
“Kau akan lanjut kuliah kemana Ren?” tanya Hasbie membuka pembicaraan.
“Maunya ke UI saja Om, cuma lihat bagaimana rezekinya nanti. Ren tidak memaksa untuk kuliah soalnya,” jawab Ren.
“Lah kok gitu?” tanya Aliana terkejut dengan ucapan pasrah dari Ren.
“Kenapa ada yang salah?” Ren malah balik bertanya pada Aliana sambil menatap Aliana dengan tatapan penasaran.
“Tidak, cuma agak aneh aja. Kau seperti tidak memiliki niat besar untuk melanjutkan kuliah,” jelas Aliana menyenderkan dirinya di senderan sopa.
“Memang tidak, kalau masalah sukses tidaknya aku dibeberapa tahun ke depan itu tidak tergantung dari aku kaya atau tidak, dari aku mapan atau tidak, dari aku berhasil apa tidak Al. Kita punya defenisi sukses yang berbeda-beda dengan jalan yang berbeda-beda,” jelas Ren padanya, Ren memang memiliki tingkat berpikir logika yang lebih baik dari saudara-saudaranya, termuda tapi yang memiliki tingkat berpikir dewasa yang tinggi.
Aliana terdiam, yang artinya membenarkan kalimat yang barusan Ren utarakan. Sedangkan Hasbie dan Annie hanya mendengarkan percakapan dua anak bungsu di depannya itu, yang satu sudah berpikir dewasa dan yang satu sedang mencari arti dewasa.
“Kuliah memang berguna dan sangat berguna, tapi kita semua tidak harus kuliah dulu untuk bisa sukses, karena sukses sesungguhnya ada pada diri kita sendiri,” ujar Ren berikutnya. “Om tante, Ren pulang aja deh. Di kacangin sama Aliana tidak enak, mending kacangnya bisa dimakan ini kacang angin malah bikin kembung,” sindir Ren dan beranjak dari duduknya meninggalkan Aliana dan kedua orang tua Aliana di ruangan keluarga rumah Hasbie.
“Baiklah, selamat beristirahat Ren,” jawab Annie sambil tersenyum pada Ren yang sudah berdiri dan akan melangkan kakinya pergi
Setelah Ren pergi dari rumah keluarga Hasbie. Hasbie melihat Aliana termenung, mungkin saja Aliana terpikir dengan ucapan dari Ren tadi.
“Al? are you ok, baby?” tegur Hasbie, melihat anaknya termenung.
“Ha? Eh, aku tidak apa-apa Ma, Pa,” jawab Aliana, ia masih belum sadar sepenuhnya, “Ma Pa Al ke kamar duluan ya?” pamit Aliana berdiri dan menghampiri Hasbie untuk mencium pipi sang Papa dan begitu pula ia lakukan pada Annie. Annie juga membalas ciumanan anaknya pada pipi sang anak bungsunya itu.
“Mungkin karena dia anak orang kaya makanya mikirnya gitu, enak uangnya tinggal minta saja. Saudaranya dua. Beda sama aku,” batin Aliana sambil melangkahkan kakinya yang membawanya menuju kamar.
Ujian akhir yang Aliana jalani dengan sangat lancar. Ujian Nasional Aliana sudah selesai tiga hari yang lalu, dan sudah tiga hari pula Hasbie dan Annie tidak ada di rumah meninggalkan anak-anak perempuannya untuk melakukan perjalanan yang mereka bilang adalah honeymoon. Aliana hanya menghabiskan waktunya berada di rumah, berdiam diri, menulikan telinganya. “Kalian benar-benar bebas melakukan apapun pada saat Papa dan Mama tidak ada,” batin Aliana, sebabnya setiap hari Brian datang ke rumahnya tapi bukan untuk menemuinya karena itu sebuah kemustahilan, ia menemui Erisa.
Aliana tidak tahu hubungan apa yang mereka miliki namun mereka bebas bermesraan seakan mereka sudah memiliki ikatan. “Aku tidak tau apa aku ini berdosa, membiarkan mereka melakukan hal-hal itu di rumah ini,” ujar Aliana.
Tepat hari kedua, kedua orang tuanya tidak ada di rumah, Erisa pulang malam diantar oleh Brian dan Aliana mendapatkan pemandangan yang sulit ia terima, matanya tiba-tiba panas dan perih, penglihatannya berkaca-kaca, dadanya sesak. Pemandangan yang tidak ingin ia lihat itu. “APA YANG KALIAN LAKUKAN!” bentak Aliana.
Dua orang itu hanya melihat kearah suara keras itu, yang satu tampak kaget dan yang satu berwajah dingin menatap kea rah suara bentakan. “Berciuman apa yang salah?” ujar yang laki-laki, Brian.
“TOBATLAH, MENIKAH JANGAN KOTORI KAKAKKU! KALIAN SUDAH KETERLALUAN!” kata Aliana dengan suara keras, ia lagi-lagi membentak.
“Begini keterlaluan,” ucap Brian dan lagi-lagi mencium tepat pada bibir Erisa, Erisa memukul lembut bahu Brian.
“KALIAN BENAR-BENAR GILA‼‼” seru Aliana setelah mengucapkan itu Aliana berlari menuju kamarnya dan meninggalkan gelas di tanganya yang berisi air minumnya. Aliana sudah tidak tahan dengan mereka yang seakan mereka tidak perduli, ya memang mereka tidak perduli. Kegiatan mereka tidak salah jika mereka tidak berada di Indonesia atau mereka sudah menikah.
Aliana tidak habis pikir kakaknya akan berlaku begitu, ia menangis secara logika dan hati yang memiliki pendapat masing-masing namun sama-sama memerangi. Logikanya, “ada apa dengan logikaku!” kesal Aliana pada dirinya sendiri.
(b)
….