Secara hatinya, “Aku tidak tau kau dapat mengotori seorang wanita sebelum kamu sendiri memiliki ikatan dengan wanita itu, Brian betapa bodohnya aku yang pernah mengagumimu, mencintaimu, menginginkan akulah yang memiliki hubungan denganmu. Walau sekarang kebodohan itu belum hilang sepenuhnya,”-“buktinya aku masih menangis, merasakan sesak. Kau sendiri dulu pernah mengatakan maluku hilang, sekarang malumu pun hilang Brian,” kesal Aliana berbicara sendiri pada dirinya saat ia sudah menutup pintu kamarnya, ia masih bersandar di balik pintu menikmati rasa sesak yang muncul di dadanya. Harap-harap kalimat itu disampaikan langsung pada Brian, tapi itu hanya ia ucapkan di tempat ia menangis saat itu.
Kemudian Aliana berdiri dan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang berada satu lantai dengan kamarnya, kamar mandi yang ada di lantai dua karena ia turun pun akan percuma dan malah menambah rasa sesaknya. Kau mencintai orang yang salah dan tidak bisa melupakannya atau belum bisa. Sesak dan panasnya, ia guyur dengan air di kamar mandinya. Berharap semua akan kembali dingin, semua akan lenyap seketika. “Papa Mama, aku ingin kalian menghentikan ini,” batin Aliana.
Setelah beberapa lama ia membasahi dirinya sendiri dengan air dingin di malam hari, Aliana keluar dengan baju yang basah. Berjalan menuju pintu kamarnya dengan setiap langkahnya meneteskan air dari rambut dan pakaian yang basahnya. Sakit hatinya membuat ia tidak berdaya, orang yang ia cintai sudah terlalu jauh dari kata menjaga diri. Ia ragu untuk berhenti mencintai atau rasa itu masih ada, karena ia sendiri tidak dapat mengartikan perasaan yang ada pada dirinya.
Keesokan hari ke empat, “Hatcuhhs…!” hidung memerah, dengan kepala sedikit terasa sakit setelah satu hari yang benar-benar sakit tidak membuat ia tidak dapat untuk bangun dari tempat tidur.
Aliana berada di dapur menyiapkan sarapan untuk dirinya. “Aku harus mengurus diriku sendiri, aku tidak tau apa yang akan datang dikemudian nanti, jika flu saja aku tidak bisa tangani bagaimana dengan beratnya masa depannya kutangani,” batin Aliana sambil memasukkan irisan bawang ke dalam penggorengan. Setelah sarapan ia berencana untuk meminum obat yang diberikan Salsa padanya. Beruntung tetangganya itu menemukannya bergulung menggigil di kasur kamar, Aliana memang jenis mudah terserah flu dengan hari pertama yang mengenaskan.
Sedangkan Erisa, calon perawat itu sudah meminta maaf padanya dan harus berangkat ke kampusnya. Aliana memaafkannya, dan tidak mengambil pusing sisanya.
“Al….?” Suara Salsa dari arah depan memanggilnya.
“Ya! Mbak, aku di dapur!” sahut Aliana saat mendengar panggilan tersebut.
“Eh udah di dapur aja, itu hidung masing merah lho Al, masih pusing gak?” tanya Salsa, dirinya kaget karena Aliana sudah berada di dapur dengan baju kebesaran berlengar panjang dan juga celana kulot berbahan kain lembut menggantung di kaki jenjangnya hingga sepangkal betisnya.
“Tidak seberapa lagi mbak, bentar lagi juga hilang,” jawab Aliana sambil mendudukan dirinya di meja kursi mini bar dapur. -“Mbak gak kerja hari ini?” tanya Aliana.
“Mbak libur, oh iya kamu udah ngurus buat kuliah kamu?”-“Kuliah di mana?” tanya Salsa ikut duduk di kursi bar bersama Aliana.
“Aliana belum mutusin mbak, rada bingung mau lanjut kuliah apa tidak,” jawab Aliana sambil memasukkan bubur instan yang ia buat tadi ke mulutnya.
“Kenapa gitu? Mbak ada denger tante bilang mau di kedokteran spesialis,” tutur Salsa mengatakan apa yang ia dengan dari mama gadis yang duduk di sampingnya tersebut.
“Sepertinya tidak jadi mbak, Aku jadi ingin langsung kerja saja,” jelas Aliana pada Salsa, sambil memopang kepalanya yang masih terasa pening.
“Serius kamu?” tanya Salsa tidak percaya, pasalnya ia tahu keluarga ini bukanlah keluarga yang kekurangan, mereka memiliki banyak ternak di Negara lain, juga punya satu usaha lain. Untuk menguliahkan satu orang anak lagi saja dengan jurusan dokter spesialis tidak akan membuat mereka jatuh miskin dengan seketika.
“Iya,” jawab Aliana singkat.
Selesai sarapan, Aliana dibantu Salsa menyiram tanaman milik kedua orang tua Aliana. “Entah kenapa rasanya aku akan rindu tempat ini nanti,” batin Aliana.
“Mbak?” panggil Aliana saat mereka duduk di saung taman belakang rumah tersebut.
“Ya? Kenapa Al?” tanya Salsa saat mendengar Aliana memanggilkan dari tempat duduknya di teras belakang rumah, karena posisi bunga yang sedang Salsa siram adalah halaman belakang.
Aliana menghela nafasnya, ia ingin menanyakan sesuatu pada Salsa namun ia ragu. Aliana bukan orang yang mudah untuk bercerita dengan orang lain. Ia lebih memilih menyimpannya dan menyelesaikannya sendiri. Tapi untuk kali ini, “Mbak sebenarnya Aliana malu, cuma aku sudah lelah dengan ini,” ujar Aliana dengan suara pelan.
“Lelah kenapa? Ceritakan saja pada mbak Al,” pinta Salsa pada Aliana, ia menghentikan kegiatanya menyiramnya mendekati tempat duduk Aliana, ia ikut duduk di kursi teras berhadapan dengan Aliana.
“Mbak udah taukan, dari kecil bagaimana aku suka pada Brian?” ungkap Aliana jujur.
“Iya mbak tau, sampai sekarang masihkan?” dengan suara pelan Salsa menanyakan hal itu, ia menatap kasian pada Aliana. Salsa juga merupakan saksi perjuangan Aliana untuk dekat dengan Brian, berkali-kali ditolak dan didorong menjauh. Tetapi Aliana tetap pada rasanya.
“Aku tidak tau dengan itu,” ungkap Aliana.
“Mbak tau kok, bagaimana sifat Brian yang sebenarnya, berbeda dengan yang dia perlihatkan ke ayah sama bunda di rumah. Bilanglah dia munafik, mbak percaya suatu saat perbuatan dia akan ngejarin dia gimana menghargai orang lain,” jelas Salsa pada Aliana.
“Mbak sebenarnya aku tidak masalah Brian dengan mbak Erisa. Aku akan mendukung mereka bersatu dipernikahan. Hanya saja aku tidak rela Brian bisa merusak dirinya sendiri dan juga mbak Erisa,” papar Aliana, ia tidak ingin saudara satu-satunya rusak.
“Aku tidak memiliki hak untuk merubah dia, tidak memiliki hak untuk menentukan sikap dia. Aku cuma tidak mau Brian dan mbak Erisa memperburuk nama orang Papa, aku tau aku seperti mengatur-ngatur ada alasan lain selain tentang diriku sendiri yang aku sendiri tidak bisa menjelaskan,” jelas Aliana, berjuang ia untuk merangkai itu semua.
Belajar mengikhlaskan sudah lama ia persiapkan dan lakukan, “Hal terberat yang harus diambil pada saat kita bersedia mencintai adalah, suatu saat harus siap untuk mengikhlaskan cinta itu sendiri,” pikir Aliana.
“Mbak juga gak bisa ngomong banyak walau mbak adalah kakak, maafkan mbak ya…” ucap Salsa lalu Salsa memeluk Aliana, seperti pelukan hangat dari seorang saudara perempuan.
Setidaknya dengan itu sedikit unek-uneknya dapat ia keluarkan. Hari-hari berikutnya tidak ada yang spesial, Aliana tidak semata-mata tinggal di rumah untuk menjadi penunggu rumah tersebut.
Aliana dapat berada di mana saja, satu jam ia berada di perpustakaan sekolah, jam berikutnya ia sudah ada di lapangan voli sekolah, jam berikutnya ia sudah berada di jalanan dengan masih mengenakan baju seragam sekolah. Lalu di beberapa waktu berikutnya ia sudah ada di toko buku atau di taman kota atau jalan-jalan di mall sendirian bukan maksud berbelanja hanya saja ia ingin melihat-lihat, lalu barulah ia pulang, bahkan pada saat sore menjelang magrib ia akan ada di saung belakang rumahnya. Begitulah kegiatannya selama menunggu hasil dari kelulusannya dan menunggu orang tuanya kembali ke rumah.
(c)
….